Menyoal Memori Aceh 26 Maret 1873 | Perang Belanda Terlama dan Termahal






Oleh Chaerol Riezal*

(Mahasiswa Unsyiah)



Rabu 26 Maret 1873, Komisaris Pemerintah Hindia Belanda, Nieuwenhuijzen, berdasarkan kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Belanda, menyatakan PERANG terhadap Kerajaan Islam Aceh.



Pernyataan Nieuwenhuijzen inilah yang menyebabkan kehidupan rakyat Aceh tidak menentu hingga saat ini. Perlawanan dan pengkhianatan telah bercampur aduk di sana. Belanda dengan segala kelicikannya, harus menemukan taktik khusus perang untuk menaklukkan Kerajaan Aceh. Bahkan orientalis terkenal Prof. Dr. Snouck Hurgronje (Abdul Gaffar) sebagai konspirasi dikirimkan dari Belanda ke Arab Saudi dan ditempatkan di Aceh untuk mempelajari watak dan karakter kaum muslimin Aceh.



Perang menundukkan Aceh merupakan perang Belanda yang terlama, dan perang termahal yang harus dilakukan Belanda untuk tidak bisa menundukkan Aceh. Sebuah perang dimana dalam catatan sejarah Belanda, merupakan perang yang begitu panjang dan yang paling pahit (mungkin) melebihi pahitnya pengalaman mereka di Eropa. Kenyataan bahwa perang Sabil terus berkobar dan berkecambuk hampir di seluruh Aceh, Belanda tidak mampu menaklukkan Aceh. Bagi Belanda, Perang di Aceh merupakan kegagalan mereka menerka Aceh. Itu sebabnya mengapa Aceh dijuluki sebagai “Daerah Modal” bagi Indonesia, satu-satunya daerah yang tidak pernah dijajah oleh Belanda. Peperangan yang panjang dan melelahkan ini telah mengorbankan ratusan ribu nyawa manusia dari kedua belah pihak, baik Belanda maupun Aceh.



Demikian juga dana perang sedemikian besar telah dikeluarkan Belanda, dan nyaris membuat bangkrut kas Hindia Belanda sehingga menyebabkan semua perusahaan-perusahaan sebagai sumber ekonomi Belanda terpaksa gulung tikar sebagai konsekuensi logis dari perang yang dahsyat dan paling lama dalam sejarah Belanda. Bagi Belanda segalanya sudah menjadi tidak terkendali lagi. Bangsa Belanda tidak pernah menghadapi satu peperangan yang lebih besar dari pada peperangannya di Aceh. Menurut kurun waktunya, perang ini dapat dinamakan sebagai perang delapan puluh tahun. Menurut korbannya, lebih seratus ribu orang yang mati, perang ini adalah suatu kejadian militer yang tidak ada bandingannya dalam sejarah bangsa Belanda. Di lain sisi, rakya Aceh menganggap bahwa tersebut sebagai bentuk surga kiriman Tuhan, dimana orang Aceh seperti berlomba-lomba untuk mati syahid karena aqidah Islam sudah masuk ke dalam tulang sumsumnya. Itulah sebabnya mengapa perang ini melibatkan seluruh lapisan masyarakat Aceh, tak kecuali perempuan Aceh.



Menggugat Penyebutan Perang Aceh



Perang Aceh atau Perang Aceh dengan Belanda, itulah yang selama ini seringkali kita dengar bukan? Dalam buku-buku sejarah, artikel, opini, acara seminar, atau apapun yang terkait dengan itu, jika sedang membicarakan sejarah Aceh, pastilah ada pembicaraan tentang Aceh pada masa perang dengan Belanda. Kemudian pembicaraan tersebut yang dikategorikan salah satu dalam babak sejarah Aceh ini disebut sebagai Perang Aceh. Penyebutan Perang Aceh sudah menjadi senjata andalan (kata-kata) tersendiri bagi kita. Ketika tanggal salah satu peristiwa dalam sejarah perang itu tiba, entah itu tentang Sultan Alaiddin Mahmud Syah, Panglima Polim, Tengku Chik Ditiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, dan sebagainya, sebutan Perang Aceh tak pernah lekas dalam ingatan kita. Anggapan tersebut bisa saja benar. Namun, pengecualian tersebesar bagi mereka yang tak paham cerita tentang jalannya perang tersebut, sekalipun perang itu terjadi di Aceh.



Tak bisa dipungkiri lagi bahwa penyebutan tersebut sudah menjadi kebiasaan bagi kita. Berulang kali saya menahan diri dan berpaling agar tidak mendengar dan ikut dalam penyebutan perang Aceh. Tapi akhirnya saya tak tahan juga. Semenjak kuliah di jurusan Pendidikan Sejarah Unsyiah Banda Aceh, sudah 4 tahun yang lalu saya meninggalkan penyebutan “Perang Aceh”. Semula karena memang tidak paham saya menyebutnya sebagai “Perang Aceh”, namun berkat pengetahun, jarak dan waktu mulai perlahan menghilangkan ingatan tentang penyebutan Perang Aceh. Bahkan saya juga sempat mengkritisi kalangan mahasiswa sejarah tentang sebutan perang Aceh. Anda tahu, memang begitulah seharusnya (saya lebih senang menyebutnya sebagai Perang Belanda di Aceh atau perang Fisabilillah ). Apa yang kita sebut selama ini (perang Aceh) sudah jamak dilakukan oleh masyarakat Aceh dan Indonesia, bahkan dunia. Yang saya heran dan menganggapnya pembodohan adalah masyarakat Aceh yang mengetahui seluk beluk perang tersebut masih menyebut perang Aceh. Perbedaan mendasar antara perang Aceh dengan perang Belanda di Aceh adalah dapat dilihat dari ultimatum perang.



142 tahun silam atau tepatnya 26 Maret 1873 yang lalu, siapa yang menyangka bahwa di Aceh akan terjadi peperangan yang maha dasyat dengan perputaran uang dan memakan korban jiwa yang sedemikian besar? Tidak pernah ada yang menyangka. Berawal dari nafsu yang tak mampu lagi dibendung, dari situlah kisah perang dimulai. Dan jika ditarik lebih jauh lagi yaitu sebelum angka 1873, terdapat ada banyak alasan mengapa perang itu terjadi. Melalui surat menyurat, diancamnya hubungan diplomatik serta dicaploknya beberapa daerah di Aceh, akhirnya perang tersebut meletus. Selain perjanjian Traktat London (1824) dan Traktat Sumatera (1871) yang dijadikan acuan sebab akibat terjadinya perang Belanda versus Aceh, beberapa alasan lainnya menyatakan bahwa perang tersebut meletus disebabkan karena, Belanda merasa janggal apabila wilayah Aceh yang letaknya cukup strategis sekaligus merupakan gerbang masuk ke Nusantara tidak dikuasai seluruhnya dan takut di ambil alih oleh pihak asing.



Sebelum pernyataan atau ultimatum perang itu dicetuskan, pihak Belanda terlebih dahulu melakukan surat-menyurat dengan Kerajaan Aceh. Surat-menyurat tersebut termaktub di Kapal Perang Citadel van Antwerpen pada tanggal 22, 23, 24, 25, 26, 27, 30 Maret dan 01-02 April tahun 1873. Kedua belah pihak saling membalas surat-surat tersebut. Belanda sebagai pihak pertama yang melayangkan dakwaan, kerapkali menggunakan bahasa provokatif yang ditujukan kepada Aceh. Rincinya, kesimpulan dari isi surat tersebut adalah agar Aceh dapat mengakui kedaulatan dan tunduk kepada pemerintah Hindia Belanda. Akhirnya, Belanda dengan kekuasaann yang ia punya mengeluarkan ultimatum perang kepada kerajaan Aceh.



“Dengan ini, atas dasar wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh pemerintah Hindia Belanda, ia atas nama pemerintah, menyatakan PERANG kepada Sultan Aceh. Dengan pernyataan ini setiap orang diperingatkan terhadap beradanya mereka dibawah akibat perang dan kewajiban yang harus dipenuhi dalam pereng”, demikianlah bunyi pengkalan surat pernyataan perang Belanda kepada Aceh, termaktub di kapal perang Citadel van Antwerpen yang berlabuh di Aceh Besar, pada hari Rabu tanggal 26 Maret 1873 yang tertanda Komisaris Pemerintah Hindia Belanda Nieuwenhuijzen.



Pernyataan perang yang dilayangkan Belanda pada 26 Maret 1873 disikapi dengan serius oleh Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan Alaiddin Mahmd Syah. Setelah menerima laporan terperinci dari Balai Siasat Kerajaan (Kapala/Badan Intelijen Negara), Sultan langsung mengadakan musyawarah/rapat akbar bersama seluruh pejabat dan pemuka negeri Aceh. Sultan juga turut mengambil sumpah setia seluruh penduduk negeri menghadapi perang Belanda. Artinya, dalam rapat akbar tersebut telah diambil satu keputusan bulat bahwa Aceh akan melakukan perang total jika tetap Belanda menyerang Aceh. “Tidak ada putusan lain yang kita ambil, kecuali menghadapi ancaman Belanda dengan semangat jihat”, demikian titah Sultan. Segenap lapisan masyarakat juga diserukan ikut serta dalam perjuangan mempertahankan kehormatan dan kedaulatan dari setiap serangan. Berkatalah Sultan: “Udep merdeka, mate syahid, langet sihet awan peutimang, bumoe reunggang ujeuen peurata, salah narit peudeueng peuteupat, salah seunambat teupuro dumna.”



Sementara itu, pasukan Belanda telah memasuki wilayah Aceh melalui pantai Ceureumen dan Meugat. Pihak Belanda dengan kekuatan penuh telah berada di pantai Ulee Lheue – dengan 3.200 serdadu yang dipimpin oleh Mayor Jenderal J.H.R Kohler, Belanda siap mengeksekusi pernyataan perang yang ditujukan kepada Aceh. Kekuatan Belanda dalam ekspedisi pertama ini terdiri dari berbagai pasukan, seperti Satu Detasemen Cavaleri, Bataliyon Kesatuan Barisan Madura, barisan meriam, barisan Genie, staf tatausaha dan pemandu kesehatan. Mayor Jenderal Kohler, yang dibantu oleh Kolonel C.E van Daalen dan Kolonel A.W. Egter van Wisserkerke selaku kepala staf, siap menyerang dan menduduki Kerajaan Aceh. Dalam hal ini, Kerajaan Aceh tidak melakukan penyerang sebagaimana dilakukan pasukan Belanda, kecuali Belanda benar-benar menyerang Aceh secara total.



Dengan demikian, jelaslah bahwa perang tersebut bukanlah “Perang Aceh melainkan “Perang Belandi di Aceh”, mengingat yang menyatakan perang adalah Belanda, bukan Aceh. Lalu, mengapa sampai saat ini kita masih menyebutnya sebagai “Perang Aceh”? Dasar sejarah apakah yang kita pegang sehingga kita berani mengklaim itu sebagai “Perang Aceh”? Apakah Aceh juga pernga menyerang negeri Belanda? dan, apakah Sultan Aceh saat bersamaan juga melayangkan surat pernyataan perang sebagaimana yang didalilkan Belanda? Sebutan untuk Perang Aceh sama sekali tidak pantas sebagaimana yang dikatakan selama ini. Perang Aceh, sama halnya dengan penyebutan bagi perang Padri, perang Diponerogo, dan sebagainya. Fakta di atas agaknya sudah cukup untuk membuktikan bahwa perang tersebut bukan perang Aceh melainkan perang Belanda. Jadi, sangat naif sekali kalau dikatakan memori Aceh 1873-1942 sebagai “Perang Aceh” sekalipun perang tersebut terjadi di Aceh. Ini sangat jelas a-historis ! Membalikkan fakta dan sejarah Aceh. Tak lebih dari konspirasi politik sejarah yang sesat dan menyesatkan. Dengan segala hormat, hentikan sebutan yang selama ini kita sebut sebagai “Perang Aceh”, apalagi menganggap biasa-biasa saja, sepele dan sudah terlanjur.



Puk-Puk Perang Belanda di Aceh



Empati dan simpati adalah dua hal yang terbaik untuk menggambarkan perang Belanda di Aceh pada masa kini, dan (mungkin) di masa yang akan datang apabila tak kunjung berubah. Rasa kasihan yang timbul di dalam hati setiap melihat orang lain di timpa kemalangan adalah sesuatu yang membuat manusia berada dalam kodrat sosialnya yang paling hakiki. Mencoba turut merasakan penderitaan orang lain ke dalam peristiwa sejarah perang Belanda di Aceh, mengingatkan kita bahwa banyak orang yang tidak seberuntung kita. Adalah wajar untuk merasa iba terhadap mereka yang kesusahan seperti orang-orang yang hidup pada masa perang Belanda di Aceh, meraka yang baru kehilangan kebahagiaan (harta, tahta keluarga bahkan nyawa) atau....., para pejuang kaum muslimin Aceh.



Tidak ada sejarah di dunia ini yang lebih kasihan dibanding mereka yang hidup dalam masa peperangan. Entah itu mereka yang ikut berperang, ibu-ibu yang dirumah, prajurit perang, musuh, atau siapa saja, bahkan sekalipun bocah-bocah yang sedang beranjak. Mereka yang hidup di masa itu tidak pernah berhenti melihat perang, di keheningan malam mereka selalu mendengar teriakan nyawa dan letupan moncong bedil. Semenjak berakhirnya peperangan di Aceh, hingga dalam rentetan waktu selanjutnya, dimana Aceh mendapat Otonomi Khusus, rawut wajah Aceh dimasa damai adalah lelucon 2 kata yang seketika mengundang gelak tawa tanpa perlu pendahuluan. Perang Belanda di Aceh memang telah lama berkahir, sebagian perang itu diselesaikan di atas hitam dan putih, sebagian lagi tak ada ujungnya dan dikelabui. Namun, perang yang telah lama berlalu itu hampir mati dalam kaca mata sejarah.



Ya benar. Perang Belanda di Aceh hampir mati. Seperti bom waktu, jejak perang itu hanya menunggu waktu untuk punah dan dipunahkan. Perang itu hanya bertahan di dalam buku-buku sejarah. Faktanya pun mengisyaratkan demikian. Setiap kali tanggal peristiwa sejarah Aceh tiba, seperti terbuang sia-sia – hanya sebagian menyorot. Masyarakat Aceh larut dalam euforia kejayaan masa lalu (cuma berbicara) dan kelihatan seperti seorang ABG yang butuh pelukan dan puk-puk. Tidak ada tanggal khusus, tidak ada peringatan sejarah, apalagi sepetak tanah yang berisikan tentang replika-replika perang atau sejarah Aceh. Yang ada hanyalah cerita-cerita mulut (tradisi?) yang tak pernah terealisasikan, bahwa Aceh pernah mengalami kegemilangan di masa lalu, kata mereka.



Memang, ada beberapa momen dimana perang Belanda di Aceh dapat terlihat sekilas, seperti adanya seminar, buku sejarah, sejarawan dan media massa, atau Kerkhof dan makam pejuang. Namun, selama bertahun-tahun Aceh lebih sering mengingkari reputasinya sebagai bangsa hebat dengan penampilan sejarah yang telah dipanggungkan dalam kancah nasional dan internasional. Kita semua tahu bahwa selama 1 dekade ini, Aceh dipimpin oleh orang-orang yang kelak akan menjadi pelaku dan sumber sejarah. Hampir sebagian dari mereka adalah orang-orang yang terlibat dalam perang, dan mereka pernah memberikan motivator kepada pasukannya tentang “Perang Belanda di Aceh”. Namun ketika masa damai, prospek gemilang tinggal kenangan dan ia tetap menjadi lelucon yang makin lama makin tidak jenaka.



Yang mengherankan adalah ketika hujan empati 4 Desember diperingati dan diberikan kepada Aceh untuk mengingat momen masa lalu, kita tidak merasakan sentimen yang sama terhadap “Perang Belanda di Aceh”. Kita juga sama-sama tahu bahwa sejarah adalah milik penguasa, lalu apakah orang-orang yang gugur dimasa perang Belanda di Aceh akan bangkit kembali untuk menghidupkan sejarah mereka? Butuh usaha lebih dan selera yang tak lazim. Puk-puk, “Perang Belanda di Aceh”.



Menghidupkan Perang Belanda di Aceh



Tidak ada sambutan, tidak ada bendera setengah tiang, tidak ada kenangan untuk menyambut memori kelam Aceh 26 Maret 1873 di masa kini. Anda tahu, mereka kaum muslimin Aceh pergi berperang karena telah diperintahkan oleh negara. Tidakkah kita menghargai jasa-jasa perjuangan dan pengorbanan mereka? Saya tidak punya kata-kata untuk mengungkapkan pada anda tentang kesedihan atas gugurnya pejuang Aceh. Kini Aceh tidak indah lagi tanpa kehadiran mereka. Tapi saya sangat yakin, mereka kaum musilimin Aceh yang syahid di medan perang, sekarang telah bersama Tuhan dan para malaikat-Nya. Dan bahkan surga menjadi indah dengan kehadiran mereka di sana.



Lihatlah, apa yang kita temukan dii pantai Ulee Lheue, pantai Ceureumen, pantai Meugat dan pantai-pantai tempat pendaratan berlabuhnya kapal perang Belanda dan kapal-kapal Eropa? Disana kita hanya menemukan sepasang kekasih yang sedang menengak air minuman dengan tontonan sampah yang berserakan. Seharusnya diberbagai tempat dan pantai seperti itu telah didirikan monumen-monumen bersejarah. Adalah ironis bahwa semakin lama saya menjajaki peninggalan sejarah perang Belanda di Aceh dibeberapa tempat seperti di Banda Aceh dan Aceh Besar, bahkan mencarinya di internet, semakin saya merasa kehilangan “roh” perang Belanda di Aceh. Tentu saja bukanlah roh perang sesungguhnya yang kerapkali memakan korban jiwa sedemikian besar itu, tetapi roh dalam bentuk fakta-fakta dan bukti-bukti perang baik yang original maupun buatan manusia yang direplikakan kembali. Bohong kalau saya mengatakan bahwa bukti sejarah perang Belanda di Aceh tidak ada. Bohong pula jika saya mengatakan tidak pernah melihat bukti-bukti perang tersebut. Tapi adalah benar jika saya katakan bahwa di Aceh tidak ada replika-replika perang yang maha dasyat itu.



Kebesaran dan agungnya sebuah sejarah tak lepas dari kontribusi para sejarawan, dari awal pengumpulan data hingga merekontruksi segala peristiwa masa lalu yang berkaitan erat dengan manusia, menjadi seperti yang kita ketahui sekarang. Di samping itu, peranan dan kontribusi pemerintah, akademisi, masyarakat, bahkan media massa sangat dibutuhkan untuk kepentingan sejarah. Dan bagi mereka yang mengamini sejarah sebagai pelajaran dan inspirasi yang tak lekang oleh waktu, menghormati warisan dan pembuatan sosok-sosok penting dalam sejarah menjadi keharusan.



Sejarah perang Belanda di Aceh yang termaktub di kapal perang Citadel van Antwerpen pada hari rabu tanggal 26 Maret 1873, tidak harus disusun rapi dalam bundelan-bundelan dokumen yang tertata rapi di museum, perpustakaan dan ruang arsip. Banyak cara agar sejarah perang Belanda di Aceh terus hidup, tetap dikenang dan dikenalkan kepada generasi terbaru yang masih muda dan anak-anak. Tujuannya jelas: generasi baru mesti mengenal betul seluk-beluk perang Belanda di Aceh dan para leluhurnya, atau.... Aceh.



Pembuatan monumen bersejarah, seperti patung prajurit perang, prasati surat perang, atau replika jalannya perang Belanda di Aceh, bisa dijadikan suatu alternatif untuk mengabadikan suatu momen dan sejarah. Dengan cara seperti itulah ingatan dan kenangan memori Aceh 1873-1942 terhadap sejarah tetap terjaga dan terjamin kelangsungannya hingga generasi-generasi yang akan datang. Tentu saja untuk membangun monumen bersejarah tersebut, selain dana yang diperlukan, juga dibutuhkan lahan kosong dan tim arsitek yang handal demi menghidupkan kembali jejak-jejak perang Belanda di Aceh yang sangat memprihatinkan ini.



Hampir seabad setengah (1873-2015) perang Belanda di Aceh berlalu, ingatan dan kenangan tentang sejarah tersebut makin lama semakin terkikis. Bahkan kita juga tak pernah melihat dan menyaksikan adanya monumen atau replika perang yang berdiri megah dihadapan kita. Sepengetahuan saya, selain Kerkhof, Masjid Raya Baiturrahman, dan makam-makam pahlawan, hanya ada prasasti Kohler yang dibangunkan dibawah pohon Geulumpang tepat digerbang kiri Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Selebihnya, barangkali masih bersemayam di daerah lain dan dalam mimpi serta imajinasi kita. Kita juga tidak pernah tahu dimana letak pemakaman pasukan dan pejuang Aceh yang gugur selama perang Belanda di Aceh, seperti halnya pemakaman Kerkhof.



Pada akhirnya, kita semua sadar bahwa Aceh tak pernah menghargai sejarahnya, hanya terbuai dan larut dalam euforia kejayaan masa lalu. Dengan dana yang digelontorkan sedemikian banyak itu, pemimpin kita masih buta tentang sejarah. Parahnya, pemimpin di negeri ini hanya memanfaatkan sejarah sebagai alat politik; Aceh adalah bangsa besar dengan kebesaran sejarahnya, pernah mencapai puncak kejayaannya, juga pernah dipimpin oleh 4 ratu, negeri yang melahirkan pemimpin-pemimpin yang handal, serta sebagainya – sungguh ironis. Kepada yang terhormat; seluruh pemilik kekuasaan rakyat Aceh, hidupkan kembali momen-momen perang Belanda di Aceh untuk mengenang perjuangan 1873-1942.



Kiranya hal tersebut tidak dapat diwujudkan, satu-satunya cara agar perang Belanda di Aceh tetap hidup dan menghidupkan kembali adalah; Datanglah ke Aceh, atau tepatnya Banda Aceh dan daerah sekitarnya suatu hari nanti. Disana kenangan-kenangan akan perang Belanda di Aceh masih dapat disaksikan secara jelas. Kerkhof, Rumah Cut Nyak Dhien, Masjid Raya Baiturrahman, Pohon Kohler, makam-makam tempo dulu, dan sebagainya, masih berdiri kokoh untuk dijadikan bukti bahwa di daerah ini memang benar pernah terjadi perang yang maha dasyat antara Belanda dan Aceh. Datanglah ke area perkuburan Belanda yang disebut Kerkhof suatu waktu nanti. Letaknya di daerah Blower, Banda Aceh, tidak jauh dari pendopo Gubernur Aceh, yang memang agak terbentang lurus dari arah situ dan tepat dibelakang Museum Tsunami Aceh. Banyak hal menarik dapat Anda temui di kompleks pemakaman ini. Seperti kisah para prajurit semasa hidupnya sampai pada saat dikubur. Semuanya diceritakan hanya sekilas pada batu nisan, sehingga makam ini seolah-olah sedang bercerita kepada Anda tentang masa hidupnya. Selain makam Kohler, masih terdapat banyak lagi makam-makam Jenderal Belanda dan orang terkenal lainnya di pemakaman Kerkhof ini, seperti warga setempat yang beragama Kristen dan orang-orang Tionghoa juga dikuburkan di situ. Jika ada waktu, ada baiknya anda sesekali berlibur ke Kerkhof untuk menikmati ratusan simbol yang ada di dalam sana.



Sebuah Catatan Kecil Kami Bagi Mereka



Dari mereka yang menganggap perang Belanda di Aceh sudah mati, kita tidak mendengar lagi kenangan-kenangan tentang perang ini. Logis memang. Yang lainnya, bagi mereka yang menganggap perang Belanda di Aceh belum sepenuhnya mati, masih sesekali menulis bahwa peringatan tentang perang Belanda di Aceh tampaknya sudah mati; sebuah peristiwa maha dasyat dimasa lalu yang benar-benar sudah mati. Mereka sama sekali tidak menyesalinya, karena kita tidak bisa belajar apa-apa dan mengambil pesan yang terkandung di dalam perang ini, begitu pendapat mereka. Sementara yang setengahnya lagi, para literatur dan sejarawan (amatir), dengan fakta-fakta kosongnya juga telah membuat perang ini seolah mati, sekalipun mereka sebagai pihak pertama yang menghidupkan perang ini. Dan sementara sisanya, mahasiswa sejarah – dengan sombongnya bercerita dan berbicara tentang peristiwa maha besar ini, yang kemudian diwujudkan dituangkan abjad-abajd palsu, lalu di arsipkan dirak kamar kos. Begitu tanggal peristiwa itu tiba, mereka yang mengatasnamakan mahasiswa sejarah, lebih memilih bungkam dan tubuhnya tak bergerak untuk memperingati tanggal tersebut, sesuatu yang dianggap bisa diselesaikan dengan kata-kata.



Selama ini kita hanya membanggakan perang Belanda di Aceh dengan kata-kata yang keluar dari mulut kita. Sampai pada akhirnya kita tidak sempat berpikir, bagaimana nasib sejarah Aceh ini. Kapan hari untuk peringatan sejarah perang Belanda di Aceh atau sejarah Aceh lainya? Adakah lagu wajib untuk mengenang peristiwa itu? Sudahkan generasi ini berbangga dengan tokoh sejarahnya? Entahlah!! Yang pasti sampai saat ini kita hanya mengetahui peringatan sejarah luar. Kita semua tidak pernah mengenal adanya hari peringatan perang Belanda di Aceh, hari perempuan perkasa Aceh ataua hari sejarah Aceh lainnya. Akan tetapi jikalau sekedar menanyakan nama-nama pahlawan Aceh, In Shaa Allah dengan lancar lidah akan keluar semua nama itu. Tapi jika ditanyakan kapan peringatan hari dan tanggal peristiwa sejarah Aceh, semuanya akan bungkam dan sedikit menggelengkan kepala. Lainnya halnya ketika kita dilontarkan pertanyaan kapan peringatan hari R.A Kartini, dan dengan fasih kita akan menyebutnya.



Apakah Aceh dipaksa untuk mengenal tokoh sejarah dari luar, sedangkan Aceh sendiri memliki ratusan tokoh sejarahnya? Kita tidak tahu. Iya atau tidak, memang begitu realitasnya yang terpampang dihadapan kita sekarang. Realita yang memaksa kita untuk bertanya, mengapa. Patutkah kita berbangga memiliki sejarah Aceh yang besar ini? Patutkah kita membusungkan dada seraya berkata akulah generasi bangsa Aceh darah pahlawan, pejuang dan pemberani? Anda tahu, sebagian pahlawan Aceh kerapkali disebut sebagai musuh dalam buku-buku sejarah Aceh yang ditulis oleh orientalis Belanda. Sepertinya ada yang salah dengan pandangan kita tentang perang Belanda di Aceh atau sejarah Aceh lainnya. Mungkin karena sejarah tidak menceritakan secara detail, maka ingatan tentang itu masih dibawah tingkat kepopuleran.[]



*Penulis adalah Mahasiswa Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Program Studi Pendidikan Sejarah, angkatan 2011, Darussalam – Banda Aceh. Sekaligus Pengurus Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah se-Indonesia (IKAHIMSI) Koordinator Wilayah VIII Aceh dan Sumatera Utara.








Subscribe to receive free email updates: