Pasal Penghinaan Presiden yang diusulkan pemerintahan Jokowi untuk diberlakukan lagi mendapat banyak sorotan. Menghidupkan kembali pasal yang sudah dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006 itu dinilai sebagai bentuk kepanikan Presiden Jokowi atas banyaknya kritik yang mendera saat usia pemerintahnya belum genap setahun.
Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang di masa 10 tahun pemerintahannya kenyang dengan 'penghinaan' akhirnya ikut bersuara terkait pasal penghinaan presiden ini.
"Kalau pemimpin tak tahu perasaan & pendapat rakyat, apalagi media juga diam & tak bersuara, saya malah takut jadi "bom waktu"," ujar SBY melalui akun twitternya @SBYudhoyono, Minggu (9/8/2015).
"Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely. Kekuasaan tidak utk "menciduki" & menindas yg menentang penguasa," lanjut SBY.
Berikut isi twit lengkap @SBYudhoyono:
Menanggapi apa yg sedang diperdebatkan masyarakat, penghinaan thdp Presiden, izinkan saya menyampaikan pandangan saya. *SBY*
Prinsipnya, janganlah kita suka berkata & bertindak melampui batas. Hak & kebebasan ada batasnya. Kekuasaanpun juga ada batasnya. *SBY*
Di satu sisi, perkataan & tindakan menghina, mencemarkan nama baik & apalagi memfitnah orang lain, tmsk kpd Presiden, itu tidak baik. *SBY*
Di sisi lain, penggunaan kekuasaan (apalagi berlebihan) utk perkarakan orang yg dinilai menghina, tmsk oleh Presiden, itu jg tdk baik. *SBY*
Penggunaan hak & kebebasan, tmsk menghina orang lain, ada pembatasannya. Pahami Universal Declaration of Human Rights & UUD 1945. *SBY*
Dlm demokrasi memang kita bebas bicara & lakukan kritik, tmsk kpd Presiden, tapi tak harus dgn menghina & cemarkan nama baiknya. *SBY*
Sebaliknya, siapapun, tmsk Presiden, punya hak utk tuntut seseorang yg menghina & cemarkan nama baiknya. Tapi, janganlah berlebihan. *SBY*
Pasal penghinaan, pencemaran nama baik & tindakan tidak menyenangkan tetap ada "karetnya", artinya ada unsur subyektifitasnya. *SBY*
Terus terang, selama 10 th jadi Presiden, ada ratusan perkataan & tindakan yg menghina, tak menyenangkan & cemarkan nama baik saya. *SBY*
Foto resmi Presiden dibakar, diinjak2, mengarak kerbau yg pantatnya ditulisi "SBY" & kata2 kasar penuh hinaan di media & ruang publik *SBY*
Kalau saya gunakan hak saya utk adukan ke polisi (karena delik aduan), mungkin ratusan orang sudah diperiksa & dijadikan tersangka. *SBY*
Barangkali saya juga justru tidak bisa bekerja, karena sibuk mengadu ke polisi. Konsentrasi saya akan terpecah. *SBY*
Andai itu tjd mungkin rakyat tak berani kritik, bicara keras. Takut dipidanakan, dijadikan tersangka. Sy jd tdk tahu apa pendapat rakyat *SBY*
Kalau pemimpin tak tahu perasaan & pendapat rakyat, apalagi media juga diam & tak bersuara, saya malah takut jadi "bom waktu". *SBY*
Sekarang saya amati hal seperti itu hampir tak ada. Baik itu unjuk rasa disertai penghinaan kpd Presiden, maupun berita kasar di media *SBY*
Ini pertanda baik. Perlakuan "negatif" berlebihan kpd saya dulu tak perlu dilakukan kpd Pak Jokowi. Biar beliau bisa bekerja dgn baik. *SBY*
Kita semua harus belajar gunakan kebebasan (freedom) secara tepat. Jangan lampaui batas. Ingat, kebebasanpun bisa disalahgunakan. *SBY*
Ingat, liberty too can corrupt. Absolute liberty can corrupt absolutely. Saya pendukung demokrasi & kebebasan. Tetapi bukan anarki. *SBY*
Sebaliknya, pemegang kekuasaan jangan obral & salahgunakan kekuasaan. Kita sepakat, negara & penguasa tak represif & main tangkap. *SBY*
Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely. Kekuasaan tidak utk "menciduki" & menindas yg menentang penguasa. *SBY*
Para pemegang kekuasaan (power holders) tak boleh salah gunakan kekuasaannya. Presiden, parlemen, penegak hukum, pers & juga rakyat. *SBY*
Kesimpulan: demokrasi & kebebasan penting, namun jangan lampaui batas. Demokrasi juga perlu tertib, tapi negara tak perlu represif. *SBY*