Mohamed Khairullah menyebut dirinya sebagai “seorang walikota AS yang Muslim.” Sebagai walikota Prospect Park, New Jersey selama tiga periode, dia meyakini kotanya yang berpenduduk 6.000 orang merupakan contoh bagaimana keragaman etnis dan agama bisa hidup berdampingan secara damai.
Laki-laki kelahiran Suriah, Mohamed Khairullah mulai menetap di kota kecil Prospect Park di negara bagian New Jersey sejak tahun 1991, pada saat berusia 16 tahun. Ketika itu, dia tidak pernah membayangkan suatu saat nanti akan menjadi seorang walikota di kota tersebut. Tetapi, suatu hari dia melihat sesuatu yang menggugahnya.
“Ketika sedang berjalan kaki ke sekolah, saya melihat sebuah papan politik dengan tulisan nama Arab. Saya terkejut dan jadi merasa tergugah," ujarnya.
Tahun 2001, setahun setelah menjadi warga negara AS, dia mencalonkan diri sebagai pejabat publik. Keyakinannya sebagai seorang Muslim tidak pernah dipermasalahkan oleh para pemilih.
“Meskipun kami berbeda, kami tidak menyerang satu sama lain berdasarkan agama atau etnis. Etnisitas itu hanya bagi kami, keluarga, atau orang terdekat. Dan agama adalah sesuatu yang (bersifat) pribadi,” katanya.
Agama baginya memberikan fondasi moral. Ia menambahkan, “Ketika sedang memimpin kota, saya tidak pernah memaksakan agama saya, tetapi agama saya memberikan rambu-rambu terkait nilai-nilai moral yang perlu saya pegang.”
Khairullah menghabiskan banyak waktunya berbincang dengan warga di telepon, atau merangkul komunitasnya lewat media sosial.
Khairullah juga tak pernah melupakan masa lalunya. Dia pernah mengunjungi Suriah selama beberapa kali dalam misi kemanusiaan, untuk menyumbangkan pangan dan pasokan kepada mereka yang membutuhkan di negara yang dilanda konflik itu.
“Meski banyak bahaya, kami akan terus membantu orang-orang yang telah diabaikan oleh masyarakat internasional dan dunia,” tuturnya.
Mereka yang mengenal Khairullah, yang seorang mantan guru, menggambarkannya sebagai laki-laki yang dekat dengan keluarga.
“Komunitas yang berorientasi pada keluarga, perlu orang yang berorientasi keluarga juga seperti Walikota Khairullah," kata Intashan, seorang bekas muridnya.
“Dia sangat kalem, dan mengingatkan saya akan ayah. Dia selalu berbicara kepada kami dengan sopan,” ujar Priscilla, seorang bekas murid Khairullah lainnya.
Kondisi di New Jersey ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Jakarta. Kota Jakarta yang didominasi umat muslim, dipimpin oleh seorang Gubernur non muslim yang represif dan terkenal kerap melontarkan kata-kata kotor dan kerap bertindak kasar.
Gubernur Jakarta dikenal tidak toleran terhadap umat muslim. Tengok saja larangan takbir keliling pada malam takbiran yang akan terselenggara beberapa hari mendatang.
Bahkan, Pemprov DKI tak segan mengancam warga yang nekad takbir keliling. Jika warga nekad dan tetap melakukan takbir keliling, maka akan berhadapan dengan polisi.