Oleh Canny Watae
Kepemimpinan Negara sedang mengalami “krisis moneter”. Setingkat di bawah “krisis ekonomi”. Masih cukup jauh dari “depresi ekonomi”. Dan semoga tidak sampai ke “depresi besar” (great depression). Amit-amit.
Persoalan yang dihadapi Presiden RI saat ini masih-lah persoalan internal dia, yaitu, urusan mengisi pos-pos para pembantu, yang adalah hak dan kewenangan dia. Yang paling menonjol adalah urusan mengisi pos Kepala Kepolisian RI. Sepanjang Presiden tidak menominasikan seorang Komisaris Besar langsung melompat menjadi Calon Kapolri, saya pikir bukanlah sebuah persoalan.
Sebagai pemegang Hak Suara (Voter) yang tidak memberi suara kepada Joko Widodo (saya memberi kepada Prabowo Subianto), saya tidak dalam kapasitas menuntut pemenuhan janji-janji kampanye beliau. Termasuk, ikut-ikutan menolak komposisi pembantu Presiden. Bahwa orang yang dinominasikan oleh Presiden bersangkut-paut permasalahan hukum, itu menjadi urusan sang Presiden sendiri. Ia hanya akan dinilai apakah konsisten dengan janji kampanye atau tidak. Yang menilai adalah masyarakat secara keseluruhan, yang nanti akan menghakimi dia saat pemilu berikutnya. Artinya, resiko ditanggung si Presiden sendiri.
Sebagaimana yang pernah saya tulis, Presiden RI saat ini adalah Joko Widodo. Atas nama Konstitusi, kita semua tanpa kecuali wajib mengakuinya. Atas dasar itu pula nasib kita semua sebagai sebuah Negara-bangsa berada di tangan Joko Widodo. Nah, di sinilah masalahnya.
Hipotesa masa kampanye Pilpres bahwa Joko Widodo adalah “boneka” semakin mendekati kenyataan ketika kita memungut kejadian-kejadian 3 bulan pertama masa kepresidenannya ini dan meletakkannya pada kolom indikator penguat hipotesa. Ada konjungsi kuat antara hipotesa dan indikator. Jika kolom kita tambah satu lagi di bagian ujung, kita mulai dapat menempatkan nama-nama definitif yang kiranya pada judul kolomnya dapat ditulis besar-besar: “dalang”.
Berbicara keselamatan Negara-bangsa berarti kita semua, baik yang sudah punya KTP atau tidak, yang sedang berada di luar negeri tetapi tetap menyandang status WNI, keturunan etnis nusantara atau luar nusantara (Arab, Tionghoa, India, dll), sepanjang kita mengakui Indonesia sebagai tumpah-darah, maka kita semua berhak untuk bersuara. Ini berbicara keselamatan Negara-bangsa. Jangan anggap remeh. Negara-bangsa sekuat Uni Soviet saja bisa runtuh berkeping-keping karena krisis kepemimpinan Negara.
Tantangan yang dihadapi Joko Widodo sebagai nakhoda Negara saat ini adalah pertahanan negara, era pasar bebas, dan isu disintegrasi.
Sedang perang-kah kita dengan bangsa lain sampai harus menempatkan soal pertahanan negara di sini? Tentu bukan berpijak dari situ. Negara dengan kemajuan ekonomi tinggi butuh pertahanan negara yang kuat. Tidak ada negara di dunia ini yang maju secara ekonomi tanpa dukungan pertahanan yang kuat. Kecuali negara-negara yang berada dalam protektorat militer negara lain. Contohnya Jepang dan Taiwan (dalam protektorat Amerika Serikat).
Era pasar bebas. Negara-negara besar sudah kelar membangun pondasi untuk bersaing. Negara-negara Eropa menyatukan diri menjadi satu komunitas tunggal Ekonomi. Amerika Serikat telah terbiasa (karena mereka pula yang menularkan sistem pasar bebas). Inggris dan imperiumnya (Kanada, Australia) saling melengkapi diri. Tiongkok, dengan sistem pemerintahan otoriternya, dengan mudah mengorganisir kemampuan internal mereka. Kita? Kita masih pada tingkat seminar.
Isu disintegrasi. Singkat saja. Joko Widodo dituntut untuk piawai menangani isu Papua. Di luar negeri supporter disintegrasi Papua dari NKRI makin kuat. Disintegrasi Papua (kalau itu terjadi) bukan hanya akan menjadi kejadian tunggal. Pulau lain bisa bubar juga dari NKRI dan bisa jadi Republik Indonesia hanya tersisa wilayah dengan cakupan jaman Perjanjian Linggajati.
Bisakah Joko Widodo mengatasi tantangan-tantangan di atas? Saya khawatir jawabannya adalah tidak. Tiga bulan ini sudah menunjukkan kapabilitas beliau yang sebenarnya dalam memimpin pada level negara. Blusukan saja tidak-lah cukup untuk menjawab tantangan-tantangan di atas. Ini negara, bukan (tingkat) kota.
Joko Widodo berada pada posisi untuk dibantu. Demi Negara-bangsa kita. Kita harus mendorong agar dia benar-benar menjadi Presiden-yang-sesungguhnya. Kita sudah semakin dekat pada kesimpulan bahwa dia benar “boneka” dari segelintir pihak yang sudah tak laku lagi tapi masih pegang pengaruh. Kita coba balik kesimpulan itu. Kita teriakkan “Biarkan Joko Widodo dengan langkah dan keputusannya sendiri”. “Jangan dikte Joko Widodo”. “Jangan mempertaruhkan keselamatan Negara di atas kepentingan pemuasan syahwat politik segelintir pihak”.
Jika tidak begitu, maka “krisis moneter” dalam kepemimpinan Joko Widodo dapat berkembang ke skala “krisis ekonomi”, yaitu krisis ke arah eksternal yang bukan lagi melibatkan dia dan internal pengusungnya. Yang akan membuat dia semakin ter-obok-obok. Yang, pada ujungnya, membuat kita sebagai Negara-bangsa berada pada posisi terancam.***