Islam (Tanpa) Liberal


Oleh: A Kholili Hasib

Bergulirnya gerakan liberalisasi di dunia Islam dibarengi dengan tawaran tampilan ‘baru’ Islam. Mereka – pengusung liberalisasi – manamakan gerakannya ini dengan tajdid (pembaharuan). Yang biasa ditampilkan adalah; toleransi, kasih-sayang, ramah dan lembut kepada semua manusia apapun agamanya, mengubah hukum, dan lain-lain. Tetapi pembaharuan –versi liberal – dilakukan dengan dekonstruksi (membedol) pokok-pokok agama.

Tampilan ini diusung dengan kesombongan. Kaum Muslim yang menolak dekonstruksi segera dicap; radikal, fundamentalis, kaku dan lain-lain. Kelompok yang toleran dan ramah diklaim (hanya) liberal. Sedangkan kelompok yang bukan barisan liberal adalah radikal dan keras. Benarkah?

Kesombongan hanya menggiring kepada kebodohan. Stigmatisasi ini tidak benar. Menyempitkan dan mereduksi Islam.Islam yang sempurna sejatinya tidak membutuhkan liberal. Juga tidak pula memerlukan bentuk radikal. Untuk menjadi Muslim yang toleran tidak perlu menjadi seorang pluralis. Bersikap ramah kepada makhluk, baik Muslim maupun kafir tidaklah tepat harus menjadi seorang liberal.

Kerugiannya amat besar jika ingin menjadi seorang yang humanis, ramah, dan toleran sampai membedol syari’ah. Perkataan ‘Islam tanpa liberal pasti menjadi radikal’ hanyalah khayalan. Mitos yang tidak terbukti. Faktanya, kaum liberal sangat intoleran.

Islam sudah sempurna. Ajaran kebaikan apa saja dapat dicari dalam khazanah Islam. Dalil-dalil tentang toleransi, cinta, kasih-sayang, berakhlak, ramah, disiplin, kebersihan dan lain-lain cukup banyak. Ajaran sosial pun menumpuk dalam petuah-petuah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam. Mulai adab kepada teman, tetangga, saudara, orang tua, guru, bahkan terhadap orang yang membenci kita ada etikanya. Jadi, Islam sudah tidak membutuhkan ideologi-ideologi Sosialis, Marxis dan Komunis.

Persoalannya adalah, terkadang kaum Muslimin mudah kagetan dengan pemikiran impor. Tidak percaya diri dengan khazanah keislamannya. Mental minder masih kuat. Mudah terprovokasi. Masalah lainnya adalah, ada sifat kemalasan untuk menggali kembali khazanah ‘emas’ Islam yang tertuang dalam turats-turats Islam.

Kita harus fahami, bahwa dalam dakwah Islam, ada perintah untuk bersikap ramah dan ada perintah bersikap tegas. Kita lihat misalnya, Yahudi bani Quinuqa’ dan bani Nadzir pernah diusir oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam dari Madinah. Gara-garanya, mereka mengkhianati perjanjian. Bahkan, beberapa orang Yahudi dari bani Quraidzah dieksekusi karena ganasnya mereka memusuhi dan mengancam fisik para sahabat. Kecuali wanita dan anak-anak, mereka dilindungi dan diperlakukan dengan lembut. Inilah contoh sikap Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam yang tegas tapi sekaligus lembut (Sirah Ibn Hisyam jilid 3).

Beberapa di antara mereka juga dibiarkan hidup bebas di Madinah karena tidak tersangkut pengkhianatan. Nabi dan para sahabat pun melindunginya. Ada pula yang masuk Islam seperti Amr bin Sa’ad. Amr tidak termasuk kelompok yang melanggar perjanjian. Ia melarikan diri dari kaumnya dan mendapat perlindungan dari Nabi (Ibn Hajar, Fathul Bari jilid 7 penjelasan hadis no. 475).

Sosok Abu Bakar al-Siddiq yang terkenal lembut dan ramah pernah bertindak tegas. Pada saat menjadi Khalifah pertama, nabi-nabi palsu seperti Tulaihah, dan Musailamah diperangi. Musailmah terbunuh oleh seorang budak bernamaWahsyi atas perintah khusus Abu Bakar. Nabi-nabi palsu ini diperangi karena melakukan penyesatan dan mengancam kaum Muslimin.

Abu Bakar memang terkenal ramah, tawadhu’ dan rendah hati, namun beliau tidak lemah menyikapi pelecehan agama. Seorang Yahudi bernama Finhas pernah dipukul oleh Abu Bakar karena Finhas memperolok-olok Allah Subhanahu Wata’ala. Di depan beliau, Finhas mengejek sambil berkata: “Bukan kita yang memerlukan Tuhan, tapi Dia yang  memerlukan kita. Bukan kita yang meminta-minta kepada-Nya,  tetapi  Dia yang meminta-minta kepada kita. Kita tidak  memerlukan-Nya”. Sontak Abu Bakar memukul sekeras-kerasnya.

Dari kisah tersebut kita tahu bahwa dalam dakwah ada saat kita bersikap lembut dan ada masanya kita menunjukkan ketegasan, bukan kekerasan. Semua ada tempatnya masing-masing. Seorang da’i wajib tahu mana-mana tempat yang benar.

Apa yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam yang mengusir orang Yahudi, dan Abu Bakar yang memerangi orang-orang yang menghina agama tidak dilakukan berdasarkan kebencian dan nafsu. Beliau juga tidak serta merta tanpa prosedur sebelumnya. Diberi peringatan terlebih dahulu dan diminta taubat kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Setelah itu baru ditindak. Sikap ini namanya tegas, bukan kekerasan.

KH Hasyim Asy’ari mewajibkan umat Islam Indonesia untuk membela agama Islam, berusaha keras menolak orang yang menghina al-Qur’an, dan sifat-sifat Allah Swt, dan memerangi pengikut ilmu-ilmu batil dan akidah yang rusak (KH. Hasyim Asyari, al-Tibyan, hal. 33). Kyai Hasyim menyeru bukan karena benci kepada para penista agama itu, justru sayang kepada agama, pemeluk agama, dan para pembencinya agar berhenti melakukan penodaan. Sebab, jika terus-terusan menodai Islam hingga mati, pertolongan Allah tidak didapatkannya.

Dalam interaksi Muslim dengan non-Muslim atau kepercayaan yang berbeda, Islam memiliki dua konsep penting; toleransi dan berdakwah. Toleransi (samahah) merupakan ciri khas dari ajaran Islam. Islam mempunyai kaidah dari sebuah ayat Al-Qur’an yaitu laa ikraaha fi al-dien (tidak ada paksakan dalam agama).

Namun bukan artinya tidak menyebarkan Islam. Tetapi, dakwah dalam Islam bersifat mengajak, bukan memaksa. Dari kaidah inilah maka ketika non-Muslim (khususnya kaum dzimmi) berada di tengah-tengah umat Islam atau di negara Islam, maka mereka tidak boleh dipaksa masuk Islam bahkan dijamin keamanannya karena membayar jizyah sebagai jaminannya.

Toleransi antar umat beragama dalam muamalah duniawi, Islam menganjurkan umatnya untuk bersikap toleran, tolong-menolong, hidup yang harmonis, dan dinamis di antara umat manusia tanpa memandang agama, bahasa, dan ras mereka. Allah berfirman;

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah: 8-9).

Imam al-Syaukani dalam Fath al-Qadir berkata, bahwa maksud ayat ini adalah Allah tidak melarang berbuat baik kepada kafir dzimmi, yaitu orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan umat Islam dalam menghindari peperangan dan tidak membantu orang kafir lainnya dalam memerangi umat Islam. Ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah tidak melarang bersikap adil dalam bermuamalah dengan mereka. Kafir dzimmi itu dilindungi karena taat pada kepemimpinan Islam dan tidak menyebarkan kesesatan kepada umat Islam. Bahkan umat Islam dilarang mendzalimi ahl al-dzimmi ini.

Namun tidak ada kompromi terhadap penyimpangan agama, penistaan atau pencampur adukkan agama atas nama toleransi. Jika ada penyimpangan dan penistaan – yang bisa memancing konflik sosial – Islam segera mencegahnya, tidak boleh dibiarkan.

Islam menjamin kebebasan beragama dan mengakui kemajemukan. Tempat ibadah non-Muslim dan kepercayaan aliran lain tidak boleh diganggu. Islam juga terbuka membuka dialog-dialog cerdas. Namun, jika ada aktifitas dan gerakan publik menista kesakralan, aparat harus bertindak tegas. Sebab, masing-masing agama memiliki nilai kesakralan yang jika diusik memantik emosi pengikutnya. Segala bentuk penodaan dan pelecehan nilai-nilai sakral mestinya dilarang, apalagi digelar secara publik. Pengikutnya jelas memiliki hak untuk melakukan pembelaan.

Walhasil, wajah Islam itu tegas tapi tidak radikalis. Ramah tapi tidak liberalis. Toleran tapi tidak pluralis. Tidak ekstrimis, tidak juga liberalis. Ketika masuk khazanah Islam, maka akan kita temukan sikap tegas, ramah, toleran dan lain sebagainya. Semuanya dibungkus dalam Tauhid yang bersih.*

*Penulis adalah pengurus MIUMI Jawa Timur

Sumber: Hidayatullah




Subscribe to receive free email updates: