[Sejarah Turki Utsmani] Sultan Sulaiman Al-Qanuni dan Semut Istana


Oleh: Zainal Mutaqin

Sultan Sulaiman Al-Qanuni adalah sultan Turki Utsmani yang paling lama memerintah diantara para sultan-sultan lainnya. Ia bertahta selama 46 tahun dengan prestasi yang luar biasa. Salah satu jasanya adalah memperkuat peraturan perundang-undangan (Qanun) Daulah Turki Utsmani (Ottoman) dengan mengadaptasi dari Al-Qur’an dan as Sunnah. Karena jasanya itulah ia dijuluki Al-Qanuni.

Film “KING SULAIMAN” yang sempat tayang di salah satu TV swasta di Indonesia -padahal presiden Turki Erdogan sudah melarangnya tayang di stasiun TV di Turki – sempat menjadi polemik karena menggambarkan seorang Sultan Sulaiman yang tergila-gila dengan tahta, mempunyai banyak selir, dan tenggelam hidupnya dalam kelezatan dunia. Cukuplah sebagai bukti bahwa beliau seorang yang sholeh, alim, dan zuhud adalah delapan Mushaf Al-Qur’an yang beliau tulis dengan tangannya sendiri.

Ia dikenal beramal sholeh, banyak berpuasa, qiyamul lail, dan keadilannya terhadap masyarakat, termasuk kepada semut sekalipun.

Perhatikanlah bagaimana ia mengakhiri hidupnya -karena akhir kematian sesorang adalah akumulasi dari  kehidupannya.

Ketika ia mendengar salah satu Negara bagian kekuasaan Ottoman mendapatkan serangan dari raja Austria, maka ia memutuskan langsung ekspansi ke jantung Austria Kota Wina (Ibu Kota Austria) sedangkan ia dalam keadaan sakit keras, para dokter istana menasihatinya agar ia mengurungkan niatnya untuk memimpin sendiri demi kesehatannya, namun Al-Qanuni menolaknya seraya berkata:

“إنني لأرجو الله أن أستشهد في ساحات الجهاد غازيًا في سبيله”

“Sungguh aku berharap mati Syahid di medan jihad.”

Maka tak ada pilihan lain kecuali mengikuti titah Sang Sultan, tentara memikul Al-Qanuni ke medan jihad karena ia nyaris tak bisa bergerak karena sakit keras.

Ketika pasukan Muslimin sampai ke Benteng Szigetvar (sekarang di Hungaria) yang merupakan salah satu benteng terkuat di dunia saat itu, berkecamuklah perang antara kaum muslimin dengan pasukan Kristen. Kokohnya Benteng Szigetvar nyaris membuat tentara Islam putus asa setelah berperang selama lima bulan. Dalam suasana putus asa para tentara itu terdengar lantunan do’a Sultan Sulaiman Al-Qanuni agar Allah Subhanahu Wata’ala memberikan kemenangan kepada kaum muslimin.

Kemudian para tentara Islam mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk menguasai benteng itu, dengan izin Allah Subhanahu Wata’ala dan semangat jihad yang tulus pasukan Islam akhirnya mampu memenangkan pertempuran dan menguasai Benteng Szigetvar yang legendaris itu.

Ketika Sultan Sulaiman Al-Qanuni mendengar kabar bahwa benteng sudah ditaklukan dan bendera Islam sudah berkibar di atasnya beliau berkata:

" الآن طاب الموت " (Sekaranglah saatnya kematian yang menyenagkan itu datang).

Kemudian suara itu hilang pelan-pelan dan sang Sultan “The Magnificent” Sulaiman wafat ditempat dalam suasana yang ia cintai, yaitu Jihad Fi Sabilillah.

Ketika berita kematian Sultan Sulaiman sampai kepada Kaum Muslimin, maka seluruh penjuru Negara Islam dihujani tangisan kesedihan, bukan karena tidak menerima ketentuan Allah Subhanahu Wata’ala, tapi karena cinta itu sudah memenuhi  jiwa mereka selama 46 tahun.

Suasana berbeda terjadi di Barat, mereka bersuka ria atas kematian Sultan yang mereka sendiri memberikan julukan “The Magnificent” atau sang fenomenal, lonceng-lonceng gereja dibunyikan, dan mereka jadikan hari itu hari bersejarah buat mereka.

Di tengah-tengah pemakaman Sultan Sulaiman, terdegar wasiat bahwa sebelum kematiannya beliau meminta dikuburkan dengan sebuah kotak yang terkunci miliknya, keluarga dan orang terdekatnya tidak berani membuka apa isi kotak itu gerangan.

Para ulama khawatir jika yang ada dalam kotak itu adalah intan berlian yang haram dikubur bersama jasad mayat, maka akhirlah sepakatlah para ulama untuk membuka kotak itu.

Setelah dibuka, ternyata yang ada dalam kotak itu adalah kumpulan kertas-kertas usang yang merupakan fatwa-fatwa para mufti dan ulama, karena ia dikenal tidak berani membuat suatu pelaturan kecuali meminta fatwa dari para mufti daulah dan para ulama.

Salah satu fatwa yang ada dalam kotak tersebut adalah permintaan Sultan Sulaiman kepada Mufti Daulah Utsmaniyah saat itu  Abi Sa’ud Afandi untuk menjelaskan tentang hukum meletakan kapur di ranting-ranting pohon di istana kekhalifahan agar semut tidak masuk, menyebar dan mengotori istana. Kapur-kapur ini bisa jadi membunuh semut-semut itu.

Maka Abi Sa’ud Afandi saat itu memfatwakan bolehnya pemakaian kapur itu agar semut-semut tidak menyebar ke Istana.

Setelah membaca lembaran fatwa itu Mufti Abi Sa’ud Afandi menangis tersedu-sedu seraya berkata:

“أنقذت نفسك يا سليمان،أنقذت نفسك يا سليمان، أي سماء تظلنا وأي أرض تقلنا إن كنا مخطئين في فتيانا”

“Engkau telah menyelamatkan dirimu wahai Sulaiman, Engkau telah menyelamatkan dirimu wahai Sulaiman, langit yang mana yang akan menaungiku? Dan bumi yang mana yang menerima kami semua jika kami salah dalam fatwa –fatwa kami?”

Itulah sosok sultan yang sholeh, yang persoalan semut pun sampai harus meminta fatwa ulama dulu. Maka  bagaimana bisa orang-orang mengatakan dia dituduh tenggelam dalam euforia harta dan wanita?*(Hidayatullah)

*Penulis adalah anggota MIUMI Batam.




Subscribe to receive free email updates: