Tiga Aksi Protes Sambut Presiden Jokowi di Belanda


Presiden Joko Widodo ditemani ibu negara Iriana tiba di Bandara Internasional Schipol, Amsterdam, Belanda, Kamis (21/4/2016).

Kunjungan Jokowi ke Belanda ini merupakan rangkaian dari lawatan ke empat negara di Eropa. Sebelumnya, Jokowi berkunjung ke Jerman, Inggris, dan Belgia.

Seperti dilaporkan BBC, Jumat nya (22/4), Presiden Jokowi menghadiri pertemuan bisnis yang dihadiri pengusaha-pengusaha Belanda di Hotel Kurhaus, di pinggir pantai Scheveningen, Den Haag.

Di halaman hotel, sekitar 100 orang lebih menunggunya, di balik barikade pengaman dan penjagaan ketat polisi Belanda. Walau berada dalam barisan yang sama, aksi massa itu terbagi tiga dengan kepentingan yang berbeda.

Di sebelah kanan, tampak orang-orang yang mengibarkan bendera merah putih. Mereka adalah warga Indonesia pendukung Presiden Jokowi di Belanda. Dengan semangat mereka menyanyikan yel-yel yang mendukung Jokowi dan melantunkan lagu perjuangan Indonesia, sebagaimana dilaporkan oleh wartawan Indonesia di Den Haag, Rika Theo.

Di sebelahnya, kontras berdiri para aktivis, pelajar, dan eksil* yang menyuarakan tuntutan untuk rekonsiliasi dan pengungkapan kebenaran tragedi 1965.


"Tak satu pun dari kami, para eksil, yang diundang dalam pertemuan masyarakat dengan presiden kemarin, padahal beberapa dari kami sudah mendaftar, tapi undangan tak datang. Maka lewat aksi ini kami menyatakan aksi kami," kata Sungkono, seorang eksil yang tinggal di Belanda setelah tragedi 1965 membuatnya tak bisa kembali dari Moskow ke tanah air.

Para eksil yang tergabung dalam Perhimpunan Persaudaraan Indonesia ini bertekad menyampaikan surat terbuka kepada presiden hari ini.

"Simposium di Jakarta positif karena korban bisa ngomong. Tapi lebih penting pelaksanaannya. Kalau pemerintah tak mau minta maaf itu melanggengkan impunitas. Rekonsiliasi itu harus jelas, siapa pelaku dan korban. Kalau tidak mengaku salah, bagaimana kita harus memaafkan," ujarnya.

Sementara di barisan paling kiri, sekelompok orang yang lain mengibarkan bendera Republik Maluku Selatan dan bendera Papua Merdeka. Keduanya menuntut agar Jokowi menegakkan hak asasi manusia di Maluku dan Papua. Uniknya, tak terlihat satu pun anak muda di antara para pendemo di barisan ini. Ini ternyata lantaran antisipasi keamanan dari pemerintah Belanda.

"Hanya yang 60 tahun ke atas yang boleh masuk di sana. Itu politik Belanda, mereka takut terjadi sesuatu lagi. Padahal kami punya pikiran sekarang demonstrasi modern, bukan lempar batu sepeprti dulu lagi," kata Ferry Rinsampessi, juru bicara demonstrasi RMS dan Papua Merdeka hari ini.


Alhasil, para anak muda pun harus menggelar aksi sendiri tepat di seberang hotel Kurhaus dengan penjagaan ketat dari polisi Belanda.

Seorang ibu yang membawa bendera Papua dengan kesal harus melepaskan bendera dari tongkatnya. Jika tidak, polisi tak mengizinkannya masuk barisan.

Akhirnya seorang pendemo lain membawakan buluh untuk memasang benderanya sehingga ia pun diperbolehkan masuk.

__
*Orang-orang eksil Indonesia, yakni orang-orang Indonesia yang terpaksa tidak bisa pulang kembali ke Indonesia karena situasi politik pada tahun 1965 (G30S/PKI), khususnya mereka yang bermukim di Eropa Barat, dan lebih khusus lagi yang di Belanda.



Subscribe to receive free email updates: