Oleh Ahmad Dzakirin
Atraksi pesawat tempur Turki membelah angkasa Istanbul, memperagakan manuver-manuver sulit di udara. Sorak gegap-gempita jutaan pasang mata seolah terkunci menatap dan mengikuti setiap liukan pesawat tempur sambil melambai-lambaikan bendera Turki.
Sementara narasi kegagahan dan kebesaran Turki yang dibacakan dari sudut podium melengkapi kebanggaan dua juta warga Istanbul yang hadir dalam perayaan 562 Tahun Penaklukan Kota Konstantinopel oleh pasukan Islam yang dipimpin Muhammad Fetih pada 1432 dari Imperium Romawi. “Kekuatan militer dan kepiawaian strategi menjadi jalan kemenangan Sultan Mehmet II”, pesan tersiratnya.
Berakhirnya atraksi udara, bersambung dengan pembacaan ayat suci Alqur’an. Sungguh mengejutkan bagi saya, pertama, untuk sebuah negara yang secara formal sekuler, acara yang diselenggarakan pemerintah provinsi dibuka dengan pembacaan ayat suci Al qur’an dan kedua, pilihan ayat-ayat yang dibaca tergolong min Ayatus Saif (ayat-ayat perang), surat Al Fath (48) 27-29.
“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidilharam, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.
Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Kendati relevan, namun saya membaca pesan tersendiri. Erdogan tidak hanya mempersiapkan sebuah kegiatan seremonial besar, namun lebih dari itu membawa pesan penting bagi Turki dan dunia Islam.
Kurang lebih ada dua fragmen penting disepanjang rangkaian acara yang membawa pesan penting tersebut. Fragmen pertama berupa atraksi udara, kumandang lagu kebangsaan “Istiklaal Mars” dan dilanjutkan pembacaan ayat suci Alqur’an.
Rangkaian ini mengundang pesan bahwa merujuk sejarah, Islam dan Nasionalisme Turki adalah dua mata koin yang tidak terpisahkan. Turki bangkit menjadi raksasa dunia dan mampu bertahan lebih dari 500 tahun karena Islam dan kembali merosot reputasinya karena tidak bersama dengan Islam. 8 dekade Turki sekuler tidak cukup mampu menarik pandangan pesona dunia, bahkan sebaliknya menempatkan Turki sebagai bangsa pariah diantara Eropa yang kuat.
Bangkitnya Nasionalisme Turki
Dalam pidatonya, Erdogan kembali menegaskan bahwa Turki yang kuat tidak dapat dipisahkan dari agama. Jika versi nasionalisme Erdogan bercirikan Islam, namun yang cukup menarik, perayaan yang dihadiri lautan warga Istanbul ini mampu menarik segmen nasionalis non relijius. Disepanjang 5 km jalan kaki menuju lokasi, saya berjumpa dengan rombongan pendukung Erdogan dari segmen tersebut.
Diantara mereka, para perempuan tidak berhijab, berpakaian ketat dan bahkan bertato sembari berteriak-teriak, “Recep Tayyip Erdogan”. Diantara mereka, saat melintas jembatan Marmaray menyapa saya dan meminta difoto dengan ikat kepala dan bendera bergambarkan Erdogan, “Where are you from?” “Are you Muslim?”. “Ya, Indonesia” jawab singkat saya. Perbincangan singkat ini cukup menjelaskan ekspresi keakraban dan sambutan suka cita mereka. “Good”, sahut mereka senang, walau sebagian mereka tidak tahu dimana Indonesia dan jengkelnya, menyebutnya bagian dari China. Syukurnya, Islam masih menjadi faktor garansi. Lumayan.
Mereka tidak merefleksikan kelompok relijius dan mungkin tepatnya bagian dari segmen nasionalis sekuler. Hanya saja, mereka sangat menyukai Erdogan. Saya menyebutnya, “Nasionalisme pragmatis”, yang dapat didefinisikan sebagai refleksi kebanggaan terhadap kejayaan Turki tanpa memperhatikan faktor ideologis atau etnisitas. Mereka akan mendukung orang atau suatu partai sepanjang mampu membawa Turki kuat dan dikagumi dunia.
Hal serupa yang yang saya jumpai pada dua pemuda Kurdi di kawasan turis, Sultanahmet. Sebut saja, salah satu diantaranya, Malik. Ketika saya tanya apa pilihannya untuk pemilu 7 Juni mendatang. Dia spontan menjawab, “Erdogan, I like him very much,” untuk alasan yang rasional. Ekonomi kuat dan posisi Turki yang dihormati dunia Islam. Ketika saya tanya kenapa tidak memilih HDP atau Salehetin Dermitas. Dia segera menyahutnya, “I don’t know, He is crazy”, tanpa bersedia memberikan alasan.
Kenyataannya, memang Erdogan dan AKP sukses membawa Turki dalam posisi ini. Turki dikagumi dunia Islam karena posisi regionalnya yang semakin menguat dan derajat kepeduliannya atas dunia Islam. Sempat setback pasca Arab Spring, namun bergeliat kembali. Irisan Islamisme dalam nasionalisme versi ini terlihat sebagai faktor unisitas lainnya, seperti terungkap dalam komentar mereka, “Musluman is good”.
Berbeda dengan rejim sebelumnya, Erdogan mengangkat derajat Turki dengan simbol Islam dan kali ini dinilai berhasil. Segmen ini tidak peduli siapa lokomotif dibalik sukses tersebut, Islamisme atau Turanisme.
Mungkin alasan itu juga tidak sepenuhnya benar, karena banyak pula dijumpai perempuan-perempuan tidak berhijab yang mengenakan ikat kepala yang bertuliskan kalimat “Lailahailla Muhammadur Rasulullah” dan beberapa pemuda western style dengan rokok dan coke secara berkelompok membentangkan spanduk bertuliskan, “Kami Semua Hasan Ulubatli, Apapun yang terjadi kami tetap memegang bendera”, merujuk kepada prajurit Islam yang memegang panji Khalifah Usmani walau harus meregang nyawa.
Segmen lainnya adalah nasionalisme relijius, yang menjadi pendukung tradisional Erdogan. Separo lebih perempuan yang hadir di lapangan Yenikapi mungkin didominasi perempuan berhijab. Mereka menjadi pemandangan jamak diseluruh sudut lapangan Yenikapi. Namun yang menarik, diantara mereka terdapat perempuan berjubah hitam dan bercadar atau jika tidak, membelitkan jilbab sedikit keatas sehingga menutupi dagu. Mereka termasuk perempuan yang menjaga diri, ketika saya ambil fotonya, segera menutupi wajah atau menundukkan pandangan. Mereka ini biasanya dari kalangan Mili Gorus.
Bagi saya, ini menarik, karena performan Erdogan atau mungkin AK Parti pada akhirnya menarik gerbong Strong Islamism yang menjadi tradisi kelompok ini. Jika pada awalnya, mereka tidak menyukai langkah pragmatis Erdogan dan AK Parti, namun pada akhirnya mendukungnya. Dalam kerumunan tersebut, simbol-simbol Islamisme tampak kuat, ikat kepala bertuliskan Kalimat Tauhid, bendera hijau dan teriakan-teriakan takbir yang bersahutan. Gema-gema takbir yang diorganisir mereka berkumandang di sebagian sudut lapangan.
Namun yang jelas, perayaan ini tampak menjadi perhelatan akbar kebangsaan, yang mengumpulkan pelbagai segmen nasionalis di Turki. Seiring dengan kebangkitan AK parti dan sukses kepemimpinan Erdogan, tampaknya versi Nasionalisme ini yang dianggap cocok menjadi jalan bagi Turki yang besar dan kuat untuk dua alasan. Rasional dan jejak rekam sejarah. Rasional karena Turki kini maju dan kuat secara ekonomi. Jejak rekam sejarah karena Turki lebih dari 500 tahun jaya dengan Islam. Wallahu A’lam.
*Ahmad Dzakirin, seorang pengamat Timteng, penulis buku 'Kebangkitan Pos-Islamisme AKP Turki', berbagi catatan seputar Pemilu Turki -- langsung dari Turki. Turki akan menggelar Pemilu Legislatif 7 Juni mendatang.