Melacak Sejarah Indonesia-Turki Usmani


Oleh: Frial Ramadhan*
Mahasiswa Pascasarjana di Istanbul University, Turki

Para sejarawan, baik dari Turki, Indonesia atau Barat sudah banyak yang menguak hubungan antara Aceh dengan Usmani pada abad ke-16. Sebut saja mulai dari Safvet Bey, Ismail Hakki Kadi, Ismail Hakki Goksoy, Anthony Reid, Salih Ozbaran, Denys Lombard, Giancarlo Casale, sudah meneliti tentang hubungan ini. Mereka meneliti dari dokumen tertulis yang ada di Istanbul, Indonesia, maupun Belanda. Dokumen-dokumen itu mampu menggambarkan hubungan Indonesia-Usmani, sehingga sedikit demi sedikit mulai terkuak sejarah hubungan keduanya.

Istanbul dan Usmani sudah hidup dalam memori orang-orang yang tinggal dalam wilayah yang kini disebut Indonesia. Hubungan pertama dengan Usmani dimulai dengan Aceh. Hubungan tersebut diperkuat oleh surat menyurat antara Usmani dan sultan Aceh, Alaudin Riayat Syah.

Saya -Sebagai alumni jurusan sejarah dari universitas di Indonesia, sekarang pun masih mahasiswa sejarah- melihat dengan kagum bagaimana Usmani mencatat berbagai kegiatan adminstrasinya dengan sangat rapih. Bahkan dapat dikatakan Usmani adalah negara administrasi yang arsipnya sangat banyak dan melimpah.

Luasnya wilayah Usmani dari Afrika Utara, Balkan (Eropa Tenggara), Anatolia, Arab bahkan hingga Yaman, juga meliputi hubungan dengan negara-negara Eropa seperti Prancis, Portugal, Inggris, Italia, Belanda, Jerman, Rusia, dan wilayah-wilayah Afrika juga Melayu, membuat sejarah Usmani menjadi sebuah kajian yang sangat rumit dan kompleks. Merekonstruksi sejarah Usmani bukan hal yang mudah, bahkan sejarawan kondang Halil Inalcik mengatakan jika kita ingin menulis sejarah Usmani, minimal, kita harus mengetahui lima hingga enam bahasa. Bahasa Usmani (Turki-Usmani), Arab dan Persia menjadi bahasa wajib. Lalu ditambah dengan bahasa-bahasa Eropa seperti Jerman, Prancis dan Rusia karena kuatnya hubungan Usmani dengan negara-negara Eropa.

Namun dibalik kerumitan tersebut tentu kita akan mendapatkan hasil yang tidak sederhana karena menulis sejarah Usmani sama dengan menulis sejarah dunia. Banyak wilayah-wilayah yang terkait dengan Usmani. Seperti Giancarlo Casale dan Salih Ozbaran, keduanya merupakan sejarawan yang menekuni sejarah Usmani di Samudera Hindia pada abad ke-16.

Dengan menulis sejarah Usmani bukan berarti kita melupakan negara Indonesia. Indonesia merupakan negara yang penting di wilayah Asia Tenggara. Kajian Anthony Reid mengenai perdagangan global di Asia Tenggara abad ke-16 membuktikan bahwa sejarah Indonesia bukanlah sejarah yang statis.

Siapa bilang belajar sejarah Indonesia harus melulu datang ke Belanda? Memang Leiden, Belanda penting untuk menulis sejarah Indonesia namun ternyata Istanbul pun tidak kalah penting. Di Istanbul pun kita dapat menikmati sejarah Indonesia dan wilayah-wilayah Melayu. Manuskrip dan dokumen-dokumen mengenai sejarah Indonesia dapat kita jumpai di sini. Tentu dengan syarat kita dapat membacanya dengan kemampuan bahasa Arab dan Turki.

Perpustakaan Sulaimaniye di kompleks Sulaimaniye Istanbul, menyimpan koleksi berharga dari ulama besar Ibrahim al-Kurani, guru para ulama Nusantara di abad ke-17. Ini sedang diteliti oleh rekan saya. Kemudian arsip Usmani yaitu Başbakanlık Osmanlı Arşivi di wilayah Kağıthane menyimpan banyak dokumen-dokumen mengenai wilayah Asia Tenggara, khususnya Indonesia.

Dalam dokumen-dokumen tersebut kita akan menemukan hal yang berkaitan mengenai Indonesia. Saya lebih banyak meneliti mengenai periode akhir Usmani, bukan klasik (1300-1600). Untuk penelitian periode akhir, peluang menemukan sejarah Indonesia cukup banyak, karena pada abad ke-19 banyak surat-surat permintaan bantuan dari penguasa Indonesia kepada Usmani untuk menghadapi Belanda. Selain itu Usmani pun membuka konsulatnya di Batavia pada akhir abad ke-19, sehingga laporan-laporan mengenai kejadian peristiwa dan  pandangan mengenai kolonialisme hadir disana.

Namun, tentu saja kemampuan bahasa Usmani adalah yang utama, meski ada juga dokumen berbahasa Arab, Prancis, dan Melayu, namun itu sedikit jumlahnya. Selain itu koran-koran dalam perpustakaan Beyazit pun merekam berita-berita mengenai Asia Tenggara pada abad 19 dan awal abad ke-20.

Jadi, ternyata sejarah Indonesia itu sangat luas sekali. Sejarah Indonesia tidak hanya dapat kita temukan di Belanda atau di Indonesia saja, namun di berbagai negara seperti Turki. Belum lagi negara-negara lain seperti Mesir atau Portugal. Sehingga saya pikir, untuk mendorong perkembangan sejarah Indonesia agar lebih menarik, unik dan beragam perlu menggali dokumen-dokumen historis dari negara-negara yang tidak pernah kita duga. Pemerintah seharusnya menyiapkan fasilitas yang menunjang agar para sejarawan mampu mengembangkan ilmu sejarah secara maksimal. Dan tentu saja kemampuan linguistik menjadi kunci bagi “pintu kemana saja” untuk dapat membuka sejarah Indonesia dengan lebih maksimal. (bersambung)

*Sumber: http://ift.tt/1KEbyNn




Subscribe to receive free email updates: