Kalau boleh memilih, tentu orang ingin BBM murah. Malaikat saja akan membeli BBM murah apalagi manusia, tapi harga BBM harus sering-sering naik. Jangan langsung naik 30% karena beban masyarakat akan sangat berat. Kalau sejak dulu Indonesia mengikuti mekanisme harga pasar maka penaikan harga BBM pun akan secara bertahap.
Begitulah kata Faisal Basri saat berbicara di acara "Perspektif Wimar", 5 Mei 2008.
Tiga tahun sebelum Faisal muncul di acara Wimar, pemerintah sudah menaikkan harga BBM. Saat itu, Februari 2005, harga bensin dinaikkan dari Rp 1.800 menjadi Rp 2.400 dan memantik kontroversi. Beberapa hari sebelumnya, koran "Kompas" memuat iklan sehalaman penuh berisi pernyataan dukungan dari 36 orang kepada pemerintah untuk tidak ragu menaikkan harga BBM.
Iklan yang dibayari oleh Freedom Institute [milik Keluarga Bakrie] itu, diinisiasi oleh Rizal Malllarangeng, yang masa itu sedang naik ke puncak popularitas. Nama sejumlah ekonom, wartawan, bekas penyiar televisi, pengacara, tercantum di iklan itu. Mereka semua mendukung penaikan harga BBM, meski sebagian, kemudian malu-malu membantah. Mendaku, namanya telah dicatut dalam iklan Freedom Institute.
Delapan bulan kemudian, pemerintah kembali mengerek harga BBM hingga ke tingkat Rp 4.500 [Oktober 2005]. Isu neolib pun semakin menjadi perdebatan publik.
Di mana Faisal?
Menulis di milis Forum Pembaca Kompas [Juni 2009], Faisal mengaku geram dan merintih ketika pemerintah menaikkan harga BBM hingga 114% itu, tapi dia tidak terima orang-orang menyalahkan dan mencerca Boediono yang ketika itu digadang-gadang jadi calon wakil presiden sebagai biangnya neolib. Dunia kata Faisal, bukan hitam-putih. Dia setuju dengan pendapat yang menyatakan negera ini belum berdaulat dalam banyak hal, tapi dia tak inginmusuh dalam selimut tertawa terbahak-bahak. Entah apa maksudnya.
Tiga tahun berikutnya, giliran PDIP yang menolak penaikan harga BBM. Di masa SBY, partai ini paling sering dan selalu menolak penaikan harga BBM atas nama rakyat kecil, tapi belum pernah menerbitkan “buku merah” penolakan penaikan harga BBM seperti yang terjadi 30 Maret 2012. PDIP menilai rezim SBY neolib.
Saat itu Rieke Diah Pitaloka menangis. Puan Maharani menangis. Megawati mungkin masih mengisi ulang air matanya. Jokowi yang masih menjabat walikota Solo juga menolak, tapi tidak menangis. Mereka semua, konon membela rakyat. Menyelamatkan dari kepentingan neolib.
Tahun lalu di musim pemilu yang sengit, Faisal yang pernah bersaing dengan Jokowi di pilkada Gubernur DKI Jakarta, membuat pernyataan: pasangan Prabowo-Hatta adalah neolib sejati. Katanya, ibarat sedang cacingan dan sakit kepala, rakyat disuruh berlari cepat.
Langsung-tak langsung, Faisal ingin mengatakan, pasangan Prabowo-Hatta tidak layak dipilih, karena mereka neolib. Dan ketika Jokowi jadi presiden, Faisal ditunjuk sebagai ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang konon ditugaskan untuk membasmi mafia perminyakan dan gas.
Sekarang, Faisal sudah tidak di tim itu, dan kemarin dia menuding Jokowi penganut neolib yang lebih parah ketimbang SBY. Pemerintah dinilainya semena-mena dan ugal-ugalan mengambil kebijakan dan keputusan menaikkan harga BBM bersubsidi. Masyarakat dan pelaku industri jadi kuatir, karena penaikan BBM bisa terjadi sewaktu-waktu.
Orang-orang PDIP yang dulu menangis setiap harga BBM dinaikkan oleh rezim SBY, tentu tidak terima. Mereka balik menuding: Faisal yang neolib.
Pertanyaannya: apakah neolib adalah sejenis kolak untuk buka puasa?
*dari fb mas Rusdi Mathari