"Gaduh Freeport Mata Najwa Melotot"
Oleh Yons Achmad*
Pengamat Media
Saya menonton acara Mata Najwa edisi “Pejabat Pemburu Rente” (18/11/2015). Isinya tentang kasus Ketua DPR Setya Novanto yang diduga mencatut nama Jokowi-JK dengan meminta saham Freeport.
Saya tak ingin membahas kasus Freeport karena tentu saya tak punya kompetensi tentang itu. Lagi pula ini kasus “tingkat tinggi”.
Peneliti Indonesia Today, Ferdy Hasiman menulis di Kompas (20/11/15) dengan judul “Freeport dan Bisnis Orang Kuat”. Menurutnya, pada akhir 2010 saja Freeport menghasilkan penjualan 6,72 miliar dollar AS. Tambang ini juga menghasilkan laba kotor 4,17 miliar dollar AS. Cadangan tembaga mencapai 33,7 pound dan emas mencapai 33,7 juta ons, selain sekitar 230.000 ton ore milled perhari. Saking kayanya tambang ini, setiap orang ingin mendapatkan keuntungan dari Freeport.
Pemimpin redaksi Republika, Nasihin Masha menulis kolom di Republika “Freeport Akhirnya Gempa Juga” (20/11/15). Menurutnya, Kisah ini sebenarnya sudah didengar para pemimpin redaksi lebih dari sebulan lalu. Yang bercerita adalah Sudirman dan Ma’roef sendiri, dalam dua pertemuan terpisah. Namun mereka meminta off the record. Dalam wawancara dengan Kompas TV, Sudirman bercerita ihwal pencatutan nama presiden dan wapres tersebut. Memang dia tak menyebut nama. Namun kabar ini segera disambar banyak pihak. Sudirman diminta untuk membuka saja informasi tersebut. Di antara yang menyuarakan itu adalah Luhut B Panjaitan, seperti dimuat media massa. Sedangkan Adhie Massardi menyebut Sudirman bisa dikenai pasal ujaran kebencian. Adhie dikenal memiliki kedekatan dengan Rizal, demikian pula Luhut.
Rumit persoalannya. Itu sebabnya saya hanya ingin sekadar mencatat bagaimana media mengangkat kasus ini. Salah satunya lewat acara Mata Najwa di Metro TV itu.
Dalam acara tersebut, empat orang yang hadir. Dua diantaranya Fadli Zon dan Ruhut Sitompul. Anda sudah bisa bayangkan bagaimana kalau keduanya berdebat, pasti sangat gaduh. Tapi apa boleh buat, dari sisi media, inilah yang menarik perhatian publik untuk menontonnya. Tapi, saya sedikit mencatat, Najwa sangat tendensius dalam acara itu, dia begitu memberikan kesempatan Ruhut untuk bicara apa saja tapi kerap betul memotong pembicaraan Fadli Zon. Sebagai wartawan senior, saya kira, dalam hal ini Najwa perlu mendapatkan catatan buruk.
Dalam acara itu Fadli Zon menilai rekaman yang diduga Setya Novanto rapat dengan pimpinan Freeport beserta salah satu pengusaha tidak ada yang secara langsung mencatut nama presiden. Saat ingin menjelaskan lebih lanjut dipotong oleh Najwa “Jadi menurut Anda tidak ada yang tidak wajar dalam rekaman ini”. Dijawab oleh Fadli Zon “ Yang tidak wajar itu Sudirman Said yang justru membuat surat jaminan perpanjangan kontrak dengan Freeport” . “Bang Fadli Anda cepat sekali mengalihkan pembicaraan kesitu, malam ini temanya pejabat pemburu rente”, “Saya tahu frame Anda adalah ini” sahut Fadli Zon, ‘Saya tidak ada framing apapun” lanjut Najwa terlihat panik. Dan debatpun berlangsung antara keduanya, sampai dalam bahasa saya, Mata Najwa melotot. Najwa berusaha menstop Fadli Zon membahas surat Sudirman Said yang justru membuat surat kontrak perpanjangan Freeport tapi tak berhasil, Fadli Zon tetap terus berbicara tentang hal itu.
Dalam hal ini, terlepas dari kasus tersebut, sangat dominan apa yang dinamakan kuasa media. Benar bahwa Mata Najwa mengundang Fadli Zon ke acaranya secara khusus, tapi hal ini tak membuat Fadli Zon mau disetir oleh media, disetir oleh Najwa. Hasilnya, kali ini kuasa media kalah telak. Fadli Zon dengan gaya retorikanya yang khas, bicara blak-blakan, tak mau tunduk pada agenda media, disertai bukti surat perpanjangan kontrak menteri ESDM itu menjadikan acara yang barangkali dikemas untuk menghancurkan citra Setya Novanto itu gagal total. Saya melihatnya begitu.
Saya kira, kita sebagai konsumen media juga perlu melakukan hal yang sama. Melawan kuasa media yang digunakan bukan untuk kepentingan publik luas, tapi hanya sekadar digunakan sebagai misalnya corong penguasa atau melindungi kelompok-kelompok tertentu.
Kalau kita punya komitmen terhadap sebuah kasus agar terang benderang, tentu tak boleh ada sesuatu yang ditutup-tutupi, buka seterang-terangnya agar masyarakat tahu kejadian yang sebenarnya.[]
*Sumber: kanetindonesia.com