Nusantara pernah dan banyak berhutang budi terhadap kekhalifahan Turki Utsmani.
Bantuan Turki Untuk Aceh Melawan Portugis
Pada sekitar tahun 1565 Sultan Aceh mengirimkan utusan untuk Sultan Turki Ustmani yang meminta dukungan Turki Utsmani kepada Aceh guna melawan penjajah Portugis. Utusan Sultan Aceh membawa berkarung-karung lada sebagai hadiah dan tanda persahabatan untuk Sultan Turki Utsmani. Sultan Turki Utsmani pada saat itu, Sultan Sulaiman, sedang memimpin pasukan dalam peperangan melawan Hungaria di medan perang Szigetwar di Eropa Timur, maka utusan Sultan Aceh tidak bisa langsung menemuinya.
Menanti masa berlangsungnya peperangan tersebut serta mangkatnya Sultan Sulaiman menyebabkan utusan Aceh itu menghabiskan waktu lebih lama di Konstantinopel. Dengan usaha sendiri, mereka menyewa tempat dan menafkahi diri mereka sendiri dengan menjual komoditas yang mereka bawa bersama dengan hadiah yang akan dipersembahkan kepada sultan. Setelah Selim II, putra Sultan Sulaiman, selesai dilantik, barulah utusan Aceh memperoleh kesempatan untuk melakukan kunjungan resmi ke Istana, yakni dua tahun setelah kedatangan mereka di Turki.
Untuk menafkahi diri mereka selama berada di Turki, mereka terpaksa menjual komoditas lada yang mereka miliki, termasuk bagian yang sebenarnya telah mereka niatkan untuk dihadiahkan kepada Sultan.
Yang tersisa di tangan mereka hanyalah secupak (segenggam) lada dan itulah yang dapat mereka sampaikan kepada sultan yang baru saja naik takhta. Setelah menerima kedatangan rombongan dari Aceh walau hanya menyerahkan sedikit lada saja, mereka mendapatkan kepercayaan dari Sultan Turki Utsmani saat itu, yakni Selim II. Beliau setuju untuk mengirimkan bantuan berupa tentara dengan rombongan beberapa kapal ke Aceh. Dalam penyerahan secara simbolisnya, Sultan Turki menyerahkan sebuah meriam sebagai simbolis pengiriman bantuan. Meriam tersebut dikenal sebagai meriam Lada Sicupak.
Rombongan yang dikirimkan oleh Sultan Turki ke Aceh tersebut tidak sepenuhnya bekerja untuk melakukan peperangan langsung melawan Portugis, seperti yang dibutuhkan Aceh. Namun, mereka juga membuat lembaga pendidikan militer dan melatih rakyat serta pasukan Aceh agar bisa menguasai taktik dan strategi peperangan yang andal. Mereka juga mengajarkan rakyat Aceh untuk membuat meriam dan membuat kapal yang bisa menampung meriam di dalamnya.
Militer Turki Utsmani di Pasukan Diponegoro
Salah satu perlawanan terbesar yang sangat merepotkan Belanda adalah Perang Jawa (Java Oorlog) yang berlangsung dalam kurun 1825-1830. Perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro ini berlangsung di sebagian Pulau Jawa.
Perlawanan Pangeran Diponegoro disusun dengan struktur militer Turki. Nama berbagai kesatuannya merupakan adaptasi dari nama kesatuan militer Khilafah Utsmani. Panglima tertingginya adalah Sentot Ali Basah, adaptasi dari gelar Ali Pasha bagi jenderal militer Turki. Sementara unit-unitnya antara lain bernama Turkiyo, Bulkiyo dan Burjomuah menunjukkan pengaruh Turki. Bulkiyo adalah adaptasi lidah jawa bagi Bölük, struktur pasukan Turki dengan kekuatan setara resimen. Sementara jabatan komandannya adalah Bolukbashi.
Susunan militer khas Turki ini membedakan pasukan Diponegoro dengan pasukan Mangkunegaran Surakarta yang menggunakan struktur legiun (mengadopsi sistem Perancis). Juga berbeda dengan kesultanan Yogyakarta yang menggunakan struktur bregodo (brigade, mengadopsi sistem Belanda).
Tak hanya struktur militer ala Turki, Belanda bahkan mencurigai bahwa ada kiriman senjata dari Turki melalui pantai selatan Jawa. Karenanya pantai yang menghadap Samudera Hindia ini dijaga ketat. Deretan benteng kokoh dibangun Belanda menghadap lautan selatan. Sisanya antara lain masih bisa ditemukan di Cilacap, Jawa Tengah, dan Pangandaran, Jawa Barat. Penduduk lokal kini menyebutnya benteng pendhem (terpendam) karena sebagian strukturnya terpendam di bawah tanah.
By: @nusantaradakwah