Hari Selasa, 28 Juni 2016 kemarin adalah hari yang aneh. Mengapa aneh? Sejak Senin malam, 27 Juni 2016, seluruh media massa mainstream memberitakan, bahwa Presiden Jokowi pada Selasa pagi akan hadir di Kantor Kemenko Perekonomian dalam peresmian satgas-satgas untuk paket kebijakan ekonomi. Bahkan hingga Selasa pagi, media-media tetap tidak berhenti memberitakan rencana kehadiran Presiden untuk meresmikan satgas-satgas paket kebijakan ekonomi bentukan Menko Perekonomian Darmin Nasution tersebut.
Namun, sungguh disesalkan. Ternyata Presiden Jokowi batal hadir dan digantikan oleh Wapres Jusuf Kalla untuk meresmikan satgas tersebut. Tempo termasuk salah satu media yang mungkin masih sulit menerima kenyataan ketidakhadiran Presiden. Tempo tetap memajang foto Presiden Jokowi namun isi pemberitaannya tentang pernyataan Wapres Jusuf Kalla. Mungkin hanya sedikit publik yang mencermati keanehan ini, yaitu saat semua media dibuat “kecele” oleh Presiden di hari Selasa pagi.
Namun bagian yang terpenting bukanlah hal-hal tersebut di atas. Sore harinya, setelah melakukan serangkaian kegiatan di Istana Negara, Presiden pulang ke Kota Bogor sembari mendadak menyempatkan diri blusukan untuk membagikan langsung sembako kepada masyarakat di sana.
Jadi bila disimpulkan: pada hari Selasa tersebut, pagi harinya Jokowi “menolak” hadir di acara resmi kenegaraan yang bertujuan untuk pembentukan satgas untuk mengevaluasi 12 “paket” kebijakan ekonomi pemerintah, namun sore harinya secara mendadak membagikan ribuan “paket” sembako untuk sedikir meringankan beban ekonomi rakyat.
Seolah, ya, seolah Jokowi yang tak berpendidikan ekonomi hendak mengajarkan dari Kota Bogor kepada para ekonom sekolahan yang berkumpul di Lapangan Banteng, Jakarta, bahwa daripada menyibukkan diri dengan “paket-paket” kebijakan yang tidak nendang sama sekali untuk kesejahteraan rakyat, lebih baik kita blusukan memberikan “paket-paket” yang memang jelas membantu meringankan daya beli rakyat.
Hampir 2 tahun pemerintahan, kartel pangan tetap tidak tersentuh oleh Pemerintahan. Presiden Jokowi sangat tegas menginginkan membaiknya daya beli masyarakat, terutama saat menyambut Hari Lebaran. Setidaknya dalam sebulan ini, sudah tiga kali Presiden meminta para pejabat di bidang ekonomi untuk menurunkan harga daging sapi dari kisaran Rp 120 ribu ke kisaran Rp 80 ribu . Pertama adalah pada 23 Mei 2016. Kedua adalah sehari setelah Hari Kelahiran Bung Karno 6 Juni. Ketiga adalah pada hari kelahirannya 21 Juni.
Pada kesempatan terakhir ini Presiden Jokowi sedikit memberikan “petunjuk” tentang disparitas harga yang keterlaluan di dalam dan luar negeri. Walau sebenarnya keinginan Presiden Jokowi ini sudah diutarakannya sejak April 2016 agar para menteri ekonominya dapat bersiap dari jauh hari untuk menurunkan harga daging sapi, nyatanya hingga kini seminggu menjelang Lebaran, harga daging sapi masih bertengger di atas kisaran Rp 120 ribu, kira-kira 100% lebih mahal dari harga di negara tetangga.
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) sudah berulang-ulang memperingatkan, bahwa terdapat kartel dalam sistem kuota impor daging sapi, hanya peringatan tersebut bagaikan gonggongan anjing yang tidak dihiraukan si kafillah.
Jokowi pantas kecewa, karena ternyata para pejabat pembantunya di bidang ekonomi tidak mampu mewujudkan janji politiknya pada Pilpres 2014, sejak hampir 2 tahun yang lalu, untuk mewujudkan kedaulatan pangan dengan memberantas kartel impor pangan.
Padahal selama hampir 2 tahun Pemerintahan ini sudah dua nama Menteri Koordinator Perekonomian dicoba Jokowi: Sofyan Djalil dan Darmin Nasution. Namun, tidak satupun dari mereka yang sanggup memenuhi janji kampanye Jokowi di Pilpres 2014.
Ada beberapa pihak yang berspekulasi bahwa telah terjadi suatu kudeta merangkak (creeping coup), mirip yang dilakukan oleh Suharto pada Bung Karno 49 tahun lalu. Sebagai dalang, meminta Supersemar dari Bung Karno untuk kemudian digunakan Suharto menghabisi sisa kekuatan politik pendukung Bung Karno, baru menjatuhkan Bung Karno di MPR yang mayoritas anggotanya adalah pendukung Suharto. Kurang dari 2 tahun kudeta ini sukses, Suharto pun naik menjadi Presiden.
Melalui tulisannya, Muhammad Ruslan mencoba membuat sebuah analisis dan berspekulasi, bahwa Jusuf Kalla (JK) yang sejak awal tidak percaya dengan kualitas Jokowi untuk naik sebagai Presiden, namun karena melihat Jokowi sanga berpeluang besar sebagai Presiden, menyebabkan JK mengubah pikirannya dan mengalah untuk mendampingi Jokowi sebagai wakil presiden.
Masih menurut tulisan tadi, setelah naik menjadi Wapres, JK terus merancang strategi agar pemerintahan Jokowi tidak bertahan lama. Karena JK bukanlah militer dan era kudeta militer sudah berlalu, maka disusunlah strategi untuk melakukan delegitimasi di sektor ekonomi.
Bila ekonomi (daya beli) rakyat terus memburuk, sementara secara fiskal dan moneter juga kedodoran, maka krisis ekonomi sudah di depan mata, yang dapat berkembang menjadi krisis politik yang berujung pada pemakzulan Jokowi di akhir tahun ke-2 nya.
Inilah alasannya sejak awal JK meminta jatah menko perekonomian, dipilihlah Sofyan Djalil yang tidak kompeten dalam hal makroekonomi. Jokowi menggugat kualitas Sofyan Djalil setelah 1 tahun pemerintahan, meminta dilakukan reshuffle. JK kemudian menyodorkan Darmin Nasution, birokrat yang sedikit mengerti makroekonomi namun tidak memiliki kepemimpinan, lamban, dan tidak mampu melakukan terobosan sebagai ganti Sofyan Djalil.
Di bawah Darmin situasi ekonomi bahkan menjadi lebih buruk. Beberapa indikator seperti peringkat surat utang dari lembaga rating tidak membaik sejak masa Sofyan Djalil hingga Darmin Nasution, tetap BB+.
Pertumbuhan ekonomi malah lebih buruk di era Darmin (turun hingga 4,9%), karena di era Sofyan Djalil masih di kisaran 5%. Di sisi fiskal, karena tidak tercapainya penerimaan pajak dan defisit yang membengkak, per APBN Perubahan 2016 saja sudah terjadi pemotongan anggaran sebesar Rp 70 triliun, yang menyebabkan beberapa proyek infrastruktur andalan Jokowi harus mangkrak.
Sementara ekspektasi terhadap tax amnesty dan repatriasi modal terlalu berlebihan (tidak rasional), walaupun ini adalah kesalahan perhitungan Menkeu Bambang Brodjonegoro, tapi Darmin sebagai atasannya tetap harus mengambil tanggung jawab.
Atas kesalahan ini, pada semester ke-II 2016 dimungkinkan kembali terjadi pemotongan anggaran hingga Rp 100 triliun. Yang paling mengkhawatirkan di era Darmin adalah pertumbuhan kredit, yang sejak Januari hingga Mei 2016 pertumbuhannya hanya 0,3% (padahal dalam situasi ekonomi yang normal, pertumbuhan kredit berada di kisaran 6-7%, dan dalam situasi yang baik bahkan dapat mencapai 10-14%).
Artinya, bila kredit hampir tidak bertumbuh, adalah masyarakat sudah tidak punya daya beli. Sementara pertumbuhan deposito hanya di kisaran 2%, padahal dalam situasi ekonomi yang normal dapat berada di kisaran 7-10%. Artinya masyarakat juga tidak memiliki kelebihan uang yang dapat ditabung.
Bila koreksi fiskal berkombinasi dengan kontraksi moneter, pertumbuhan ekonomi di kuartal ke-II dapat turun ke 4,7%, dan kuartal ke –III bahkan dapat jatuh hingga 4,5%. Bila ini yang terjadi, bukan tidak mungkin di penghujung tahun kita berhadapan dengan resesi ekonomi.
Presiden Jokowi, dikatakan, mungkin sudah sadar dengan strategi sabotase ekonomi berujung pemakzulan yang sedang dilancarkan JK. Kita harus berterima kasih untuk insting politik Jokowi yang terkenal tajam.
Maka, kembali pada tema Selasa kemarin yang aneh, ternyata sekarang menjadi tidak aneh lagi bila Presiden menghindar saat diminta Darmin meresmikan satgas paket kebijakan di lapangan banteng, dan malah menyerahkannya ke JK. Presiden seolah ingin tunjukkan juga kepada publik siapa yang sebenarnya bertanggung jawab di belakang kegagalan Darmin.
Berseberangan dengan pendapat dan spekulasi tadi, ada banyak publik berpendapat Jokowi justru cuci tangan dan hendak melemparkan tanggungjawab atas kegagalannya menepati janji-janjinya sebagai peimimpin bangsa. Analisis kudeta merangkak yang disodorkan melalui tulisan di atas kepada JK hanyalah sebuah lelucon konyol yang digunakan sebagai excuse atau permakluman atas kegagalan Jokowi menepati janji-janjinya sebagai Presiden Indonesia, pemimpin dari lebih 250 juta rakyat Indonesia..
Jadi, alangkah baiknya, alih-alih membuat kegaduhan dengan melakukan spin politik dan menuding JK melakukan kudeta merangkak, Jokowi dibantu oleh pendukung dan pembantu-pembantunya segera melakukan langkah nyata untuk membenahi ekonomi Indonesia dan menjadi pemimpin bangsa yang sesungguhnya.
Ratih Arga, seorang eksekutif di sebuah perusahaan head hunter menegaskan,sebagai Presiden, Jokowi tak bisa menyalahkan menteri-menterinya atas kegagalan pelaksanaan kebijakan mereka.
"Ya gak bisa dong menyalahkan menteri.. Sebagai Presiden, Pak Jokowi harus bertanggungjawab. Saya gak mau bandingkan dengan Pak SBY ya.. Tapi Pak SBY sangat tahu apa yang dilakukan menteri-menterinya dan tidak pernah sembunyi di balik tuduhan kudeta lah.. apalah..," tegas Ratih hari ini, Kamis, 30 Juni 2016, di Kemang, Jakarta.
Ratih menegaskan, kalau pembantunya bermasalah dan dinilai gagal melaksanakan tugas, Presiden bisa memberhentikan dan melakukan reshuffle. Tapi, tandasnya, Presiden tidak bisa serta merta lepas dari tanggungjawab.
"Menteri salah, bisa direshuffle. Tapi Presiden harus tetap tanggung jawab atas kekacauan yang ditimbulkan oleh menteri tersebut," pungkas Ratih.