Mantan Dubes: Pembicaraan (Bully) Terhadap Fadli Zon Menunjukan Kebodohan Mereka


"FADLI ZON SAGA"

Oleh: Haz Pohan
(Duta besar Indonesia untuk Polandia 2006-2010)

PEMBICARAAN tentang surat Wakil Ketua DPR Fadli Zon untuk penjemputan anaknya yang tiba di New York kepada KJRI New York sudah keterlaluan. Di media mainstream dan terutama di media social pemberitaan dan perbincangan merebak liar. Bahkan seorang kolumnis masih sempat-sempatnya membuat tanggapan seolah-olah tindakan Fadi Zon itu tidak mendidik.

Saya ingin menulis pendapat saya dari perspektif profesi saya selama ini menjadi diplomat dan bertugas di berbagai perwakilan, menghadapi berbagai permasalahan dalam semua aspek diplomasi dan politik luar negeri.

Pertama, ada kesalahan di sementara kalangan yang menyatakan bahwa jika KBRI atau KJRI mengurus TKI atau TKW dan orang-orang terlantar itu karena mereka dalam kondisi luar biasa dan situasi yang ‘prone to their abuse’. Jadi pelayanan yang dilakukan oleh KBRI/KJRI untuk mengurus mereka adalah sepantasnya, karena TKI atau TKW itu dalam posisi lemah. Penjemputan oleh KJRI New York, menurut mereka, tidak pantas karena Fadli Zon adalah golongan menengah yang mempunyai berbagai ‘means’ yang ada pada dirinya untuk mengurus sendiri anak perempuannya yang masih berusia muda.

Anak-anak harus dibiasakan mengatasi masalahnya sendiri, argue sang kolumnis. Meminta jemputan dari KJRI New York tidak seharusnya dilakukan karena tidak mendidik, artinya orang tua anak perempuan ini salah mendidik anaknya, dengan tuduhan ‘abuse of power’ karena sang Bapak adalah Pejabat Tinggi Negara memohon bantuan karena khawatir terhadap keselamatan dan keamanan putrinya.

Dalam perjalanan karir saya, terlalu banyak peristiwa yang saya hadapi dan bahkan lebih dahsyat daripada apa yang dialami oleh Fadli Zon. Wisdom saya adalah ini masalah dan harus dicarikan solusi yang tepat dan sebaik-baiknya. Bila menyangkut ‘rakyat kecil’ contohnya ketika para pekerja spa dari Bali akan mendarat di Warsawa dan meminta bantuan KBRI. Mereka tidak hanya minta dijemput, tetapi juga meminta fasilitas penginapan. Karena meraka ada 12-14 orang tidak ada rumah staf yang bisa menampung, dan akhirnya mereka tinggal di Wisma Duta. Tidak hanya itu, mereka juga meminta isteri saya untuk memasakkan masakan Indonesia yang mereka ingin cicip karena sudah beberapa hari tidak makan nasi. Ini juga dipenuhi isteri saya. Mereka juga minta diantarkan ke pasar-pasar murah untuk mencari kelengkapan pakaian musim dingin. Ini juga diurusi dengan baik, sampai akhirnya penjemput mereka datang dari Gdansk dan membawa mereka ke sana, karena sudah menandatangani kontrak bekerja di wilayah utara Polandia itu.

Saya juga membawa masyarakat yang stranded ke apartemen kami yang kecil. Saya juga memberikan bantuan kepada pengusaha, pejabat, rakyat biasa yang memang memerlukan bantuan yang proporsional.  Jika means kami terbatas, kami akan berterus-terang, tanpa mengurangi tanggung jawab profesi untuk mencarikan jalan keluar yang sebaik-baiknya. Anggota DPR juga rela membayar hotel dan mobil yang terpaksa disewa, asal kita bicarakan dengan baik-baik. Dan hal-hal biasa ini tidak layak di blow-up menjadi sebuah berita seolah-olah bangsa ini iseng dan tidak mempunyai pekerjaan yang lebih baik dilakukan.

Karena untuk memastikan bahwa para TKI wanita ini berada di tangan yang baik, saya tugaskan seorang staf untuk memastikan bagaimana kondisi mereka di Gdansk. Dan, ternyata memang mereka baik-baik saja.  Otherwise, saya akan mengambil tindakan sesuai dengan mandat yang diembankan oleh negara kepada saya.

Ada ratusan kasus yang saya hadapi menyangkut masyarakat yang berada dalam posisi lemah ketika berada di luar negeri, termasuk ketika saya dalam perjalanan antar-negara dan bertemu dengan masyarakat yang menghadapi kesulitan. Tentu, sebagai diplomat saya memperhatikan nasib bangsaku ini dengan prihatin dan berupaya melakukan sesuatu yang terbaik.

Kedua, bagaimana jika menyangkut pejabat pemerintahan atau negara? Pertama, pelayanan prima berlaku bagi siapa saja yang membutuhkan dan memang bantuan itu krusial sifatnya. Misalnya ada orang tua yang sakit dan terpaksa dirawat di luar negeri, ada jenazah yang sulit dikirimkan kembali ke tanah air, kehilangan paspor, tidak punya uang, anak yang hilang di Makkah, dosen yang stranded dan memerlukan bantuan, beberapa warganegara RI yang wafat dalam kecelakaan lalu-lintas ketika tugas dalam pekerjaan mereka di luar negeri, dan banyak kasus-kasus lainnya. Ketika ada perusahaan kita akan dibawa ke pengadilan karena wan-prestatie, saya maju dan menekan perusahaan negara setempat bahwa apabila tidak ada kompromi maka saya dengan kekuasaan yang saya miliki dapat menghentikan kerjasama antar-pemerintah.  Perusahaan itu faham dan kemudian setuju untuk dicarikan solusi yang adil dan pantas. Perusahaan kita senang, bebas dari urusan peradilan dan bahkan mendapat sebagian dari sejumlah uang yang menjadi hak mereka berdasarkan kontrak yang ada.

Tanpa pilih kasih, sesuai dengan kemampuan KBRI memfasilitasi urusan ini kami lakukan dan tidak perlu gembar-gembor merasa diri pahlawan dan orang lain pengkhianat. Ini adalah pelayanan standar, tidak ada yang istimewa, dari kacamata kami para diplomat professional negeri ini.

Dalam konteks hubungan luar negeri, dua kasus di atas harus dipahami secara proporsional. Bahwa kita menolong rakyat di luar negeri adalah bagian dari pelayanan untuk perlindungan warganegara, sesuai dengan amanat UUD 1945 dan berbagai perundangan lainnya. Tidak ringan tugas ini, tetapi dengan semangat pelayanan terbaik banyak yang terselamatkan.

Menolong seorang pejabat atau delegasi maupun dalam perjalanan untuk keperluan pribadi dan keluarga mereka, itu juga fatsoen yang jelas dalam diplomatic lexicon. Pejabat negara atau pejabat tinggi memiliki dignity dan kehormatan yang melekat dalam diri mereka. Dan atribut ini langsung terkait dengan status yang mereka sandang dan insitusi negara yang mereka emban. Ada atribut negara yang melekat dalam diri mereka. Keberadaan mereka, baik dalam kapasitas resmi maupun pribadi tidak dibedakan kecuali dalam urusan keprotokolan.

Para pejabat tinggi atau pejabat negara berhak perlindungan dari perwakilan karena unsur ‘negara’ melekat dalam diri mereka. Misalnya seorang pejabat ketahuan membawa uang ratusan ribu dollar dan menjadi masalah, tanpa mempersoalkan apakah itu uang pribadi atau uang milik kantor atau apapun tidak dipersoalkan. Yang jelas beliau pejabat, dan uang yang ada padanya harus diselamatkan dari sitaan pejabat bea cukai di negara tersebut. Atau kasus ketika seorang pejabat tinggi akan ditangkap karena dituduh melakukan sexual abuse, dan akhirnya pemerintah mengirim pesawat khusus untuk membawanya pulang, tanpa perlu menghadapi pemeriksaan dan criminal proceeding di court. Yang diadili adalah negara ini, bukan hanya mereka pribadi, jika akhirnya kasus ini merebak di media setempat. Dan ini tidak baik karena menyangkut nama baik dan kehormatan negara.

Ketiga, para diplomat dan jajaran Kementerian Luar Negeri dari sejak dulu —kecuali zaman Subandrio—adalah instansi non-politis, atau non-partisan. Tidak ada fatsoen bagi para diplomat untuk membedakan pejabat dari unsur partai pemerintah atau bukan. Para diplomat bekerja untuk negara dan sekaligus untuk pemerintah, siapapun atau apapun partai mereka. Kemlu tidak ambil bagian dalam kontestasi di dalam negeri. Ini namanya profesionalisme.

Jika kebetulan Fadli Zon berasal dari partai non-pemerintah, maka tidak terhapus haknya sebagai pejabat tinggi negara untuk perlindungan. Perlindungan kehormatan dan dignity bangsa harus segera dilakukan apabila ada ancaman bahaya karena mereka menyandang atribut negara. Meskipun PDI-P yang menjadi partai pemerintah, tetapi tindakan perlindungan terhadap atribut negara juga berlaku bagi pejabat-pejabat negara dari partai manapun. Partai ini tidak dikenal di luar negeri, mereka tahu bahwa orang ini menyandang suatu jabatan negara yang dalam hukum internasional juga mendapat perlakukan khusus.

Karena non-partisan adalah posisi terbaik. Pemerintahan jatuh-bangun di era demokrasi dan partai pemerintah berganti-ganti. Institusi diplomasi tidak ambil bagian dalam percaturan politik, karena politik luar negeri itu diabdikan untuk kepentingan nasional bangsa dan negara. Perubahan pemerintahan dari satu partai ke partai lain tidak berpengaruh bagi kondisi dan situasi penyelenggaran diplomasi dan hubungan internasional kita. Sikap partisan –memberikan pelayanan berbeda—terhadap pejabat dari unsur partai pemerintah dengan yang bukan partai pemerintah adalah kenaifan yang akan merugikan institusi diplomasi itu sendiri.

Pelayanan oleh KBRI/KJRI tidak boleh memandang kedudukan seseorang dalam partai pemerintah atau bukan. Karena siapapun mereka yang menjadi pejabat negara atau pejabat tinggi memanggul atribut negara, menyandang kehormatan, dignity dan respek yang harus dilakukan dengan sebaik-baiknya.

Cukup banyak waktu kita sia-siakan membahas soal-soal sepele seperti yang dihadapi Fadli Zon.  Kebodohan seperti ini jangan dilanjutkan dan saya ingin menghentikannya. Jika mau dibahas, gunakan rujukan yang tepat, UU, fatsoen, tradisi dan kebiasaan, maupun hukum internasional.

Para elit harus menghentikan diskursus bodoh ini.

Jakarta, 1 Juli 2016

__
Sumber: http://ift.tt/29d8S2t




Subscribe to receive free email updates: