Oleh: Ubedilah Badrun (Direktur Eksekutif Puspol Indonesia)
Ratusan ribu masa pengunjukrasa yang merangsek ke Istana Negara untuk menyampaikan aspirasi umat Islam kepada Presiden telah dilecehkan Presiden Jokowi. Sebab ternyata Jokowi bersama Menteri Perhubungan Budi Karya keluar Istana secara mendadak sekitar jam 11-an meninggalkan demonstran, lebih memilih meninjau proyek kereta bandara di Soekarno-Hatta, Tangerang Banten. Padahal diketahui hari Jumat ini tidak ada agenda Presiden untuk berkunjung ke proyek kereta bandara. Kunjungan ke proyek kereta bandara itu sebenarnya cukup dilakukan oleh Menteri Perhubungan.
Kontras dengan antusiasme Jokowi saat ngajak rakyat untuk berdendang ria di Istana pada hari sumpah pemuda 28 oktober lalu, bahkan ia umumkan sendiri melalui twetter. Kesan yang muncul dari fakta itu adalah Jokowi lebih suka bersenang-senang di Istana dibanding mendengarkan aspirasi rakyat.
Saya mencermati menjauhnya Jokowi dari demonstrasi menunjukan gagalnya Jokowi memahami masalah rakyat. Bahwa demonstrasi besar hari ini sesungguhnya ekspresi dari akumulasi berbagai persoalan Jakarta sekaligus warning untuk penguasa yang seharusnya didengar langsung oleh Presiden. Karena rakyat adalah sejatinya pemegang kedaulatan yang harus didengar pemimpin.
Bukankah Abraham Lincoln sejak ratusan tahun lalu (1808-1865) dengan tegas mengemukakan dan mengingtkan bahwa Democracy is a government of the people, by the people, and for the people. Substansinya adalah rakyat berdaulat dan dengarkan rakyat.
Bung Karno dalam buku Dibawah Bendera Revolusi (terbit tahun1965) mengingatkan pentingnya mendengar kaum marhaen (rakyat jelata) dan Bung Hatta dalam buku Demokrasi Kita (2010) bahwa sejak tahun 1930an Hatta mengingatkan pentingnya mendengar kemauan rakyat.
Sebab dengan mendengar rakyat tujuan politik yang ribuan tahun lalu oleh Aristoteles (450 SM) disebut en dam onia (the good life) akan lebih mudah terwujud. Jika benar Jokowi cuek dengan demonstrasi besar maka secara substantif tidak layak Jokowi menjadi kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang secara ideologis melekat pada partai tersebut pemikiran demokrasi.
Selain melecehkan demonstrasi ratusan ribu rakyat tersebut, dengan meninggalkan Istana memungkinkan ditafsirkan bahwa Jokowi ketakutan berdialog dengan para pemimpin demontrasi. Menariknya mengapa Jokowi ke proyek kereta bandara Soekarno-Hatta? Itu memperkuat munculnya tafsir bahwa dengan berada di proyek kereta bandara, jika terjadi sesuatu di istana Jokowi dengan mudah meninggalkan Jakarta.
Yang lebih berbahaya adalah membuka peluang untuk memaknai bahwa Jokowi mengabaikan keresahan rakyat dan mulai menunjukan kesombonganya. Ini sumber ketegangan baru antara rakyat dengan Presiden. Kanal aspirasi yang seharusnya dibuka dengan mudah (dialog) sehingga tidak menimbulkan kekecewaan rakyat justru ditutup.
Saya kira dengan cara meninggalkan Istana saat ratusan ribu rakyat ingin menemuinya di istana adalah kemunduran dari kualitas kepemimpinan Jokowi.
Sumber: Republika