Oleh Rusdi Mathari*
KRITIK. Sejak Jokowi dilantik sebagai presiden, beberapa orang lantas kembali mengenalkan istilah “kritik yang membangun.” Istilah yang dimaksudkan agar seseorang tidak hanya bisa mengkritik melainkan juga memberikan solusi atau jalan keluar. Mengkritik tapi tidak dengan sentimen apalagi kemudian merusak. Problemnya: adakah kritik yang membangun?
Istilah “kritik yang membangun” kali pertama dikenalkan oleh rezim Orde Baru. Istilah itu sengaja dirancang lalu dipopularkan, bukan saja untuk menghalus-haluskan bahasa untuk tidak menyebutkan mengacaukan, melainkan justru juga untuk menunjukkan, rezim saat itu tidak anti-kritik. Rezim paham betul bahwa bahasa bisa merumuskan kekuasaan, dan kekuasaan bisa merumuskan bahasa.
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi penjelasan, kritik adalah kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Dengan penjelasan itu, maka sedikit agak jelas bahwa kritik sebetulnya sama sekali tidak berhubungan dengan membangun, yang oleh kamus yang sama dijelaskan sebagai bangkit berdiri, naik, mendirikan, atau membayar bangun [denda, ganti rugi].
Barangkali itulah yang menyebabkan Daniel Dakhidae, salah seorang intelektual terpandang di negeri ini, pernah dengan keras mengkritik istilah “kritik yang membangun” itu. Dalam pandangannya, kritik harus tajam menghujam. Menguliti apa yang tersurat dan menohok yang tersirat. Menjelujur hingga ke jantung persoalan dan karena itu, kritik tak mungkin disertai dengan bumbu pujian. Kritik dengan pujian akan menjadi bukan kritik.
Dari penjelasan Daniel itu, maka kritik tidak identik dengan membangun, dan seharusnya memang tak perlu dan tidak berguna digabung-gabungkan. Penggabungannya hanya akan menyebabkan kerancuan, tidak bermakna, karena keduanya adalah dua lema yang pengertiannya bertolak belakang. Kritik jelas merusak atau berbahaya, sementara membangun adalah sesuatu yang seharusnya mendapat pujian.
Daniel karena itu mengusulkan agar “kritik yang membangun”diubah menjadi “membangun dengan kritik.” Alasannya, seseorang yang dikritik, baik secara personal maupun jabatannya, bukanlah objek yang pasif dan harus mempertahankan diri. Mereka adalah subjek yang siap dan seharusnya memperbaiki diri dengan kritik apa pun sebagai akibat dari jabatan publik yang melekat pada mereka. Dengan demikian, setiap kritik mestinya akan diterima dengan lapang dada dan disikapi dengan memperbaiki apa pun yang dilakukan pada saat itu.
Benar, setiap kritik adalah cara pandang yang berbeda atas suatu persoalan, tapi kritik mestinya tak perlu disikapi sebagai pernyataan atau sikap yang bermusuhan. Penyikapan atas kritik yang berlebihan, hanya akan menjadikan bangsa ini kerdil dan tak dapat menghindar dari kemungkinan paling buruk, selain tentu tak akan memperkaya sudut pandang menghadapi setiap persoalan yang ada.
Maka, mungkin ada baiknya, mulai saat ini [berpikir untuk] berhenti menggunakan istilah “kritik yang membangun” sebab eufimisme bukanlah gejala linguistik melainkan gejala kekuasaan. Dan rezim Orde Baru paham betul akan hal itu, sehingga merancang dan lantas berhasil mempopularkan istilah “kritik yang membangun” dan membekas sampai sekarang. Atau saat ini kita sebetulnya sedang merindukan rezim totaliter itu termasuk dalam penggunaan bahasa dan istilah?[]
*dari laman Fb Rusdi Mathari (20/10/2015)