Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc
Pagi ini (Ahad, 3/1/2016), selepas mengisi kajian rutin ba'da Shubuh, di salah satu masjid di bilangan Depok, saya kembali mendengar curhat pengurus masjid. Ini kali ketiga saya mendengar curhat senada dari tiga masjid yang berbeda, padahal saya belum ada setahun tinggal menetap di sini.
Intinya mereka galau dengan sikap "sejumlah orang" yang karena ingin menjaga kemurnian agama dan ibadahnya, mereka cenderung tidak toleran dengan saudara-saudaranya sesama ahlussunah yang pahamnya dianggap berbeda, atau lebih jelasnya 'bukan salafi'.
Beberapa sikap yang ditunjukkan di antaranya, jika diberi kesempatan untuk mengatur jadwal pengajian, maka ustaz yang diundang adalah hanya yang sepaham dengan mereka atau 'ustaz sunah' saja, walau tidak dikenal sama sekali oleh warga setempat, kadang tak ragu mencoret ustaz-ustaz yang sudah biasa mengisi di tempat tersebut karena dianggap sebagai 'bukan ustaz salafi'.
Atau, mereka enggan hadir di pengajian lingkungannya jika yang mengisi adalah ustaz yang tidak sepaham dengan mereka, sementara jika ustaz yang mereka 'akui', mereka komitmen untuk hadir. Jika masjidnya adalah masjid di lingkungan lain, mungkin tidak masalah, tapi jika masjidnya ada di lingkungannya, lalu jika ustaz yang mereka anggap sebagai "ustaz sunah" dia hadir dengan rajin, sedangkan ustaz lainnya yang dia anggap "bukan ustaz sunah" dia tidak hadir dengan sengaja, ini sangat mengganggu kebersaamaan di tengah masyarakat. Ironisnya kadang jamaah pengajian meluap, tapi sebagian besar jamaah dari luar lingkungannya, sedangkan warga setempat justeru menghindar.
Yang lebih parah adalah jika ada sebuah pengajian yang sudah berjalan dengan baik di masjid lingkungan, namun karena dianggap tidak sesuai dengan paham mereka, maka dibuatlah kajian lain, baik di tempat itu atau di tempat berbeda di lingkungan tersebut, entah di waktu yang sama atau berbeda. Semacam 'kajian tandingan' lah begitu.
Belum lagi dengan statment-statment yang kadang memojokkan, memberi stigma kepada sebagian umat Islam dan tidak bijak menyikapi perbedaan pandangan..
Perlu dicatat, masjid-masjid yang saya dengar curhat pengurusnya ini adalah masjid yang pengamalan ibadahnya sudah rapih, masjid-masjid komplek perumahan, shalat Shubuhnya saja bisa 4-5 shaf. Keyakinannya jelas Ahlusssunah wal Jamaah, menolak prinsip-prinsip sesat semacam syiah, ahmadiyah, liberal, dan semacamnya.
Ini (sikap sejumlah salafi tersebut-ed) tentu tidak dapat digeneralisir, namun fakta ini didapati di bebebrapa tempat, jadi perlu diingatkan. Sebab kalau sikap ini muncul, apalah makna ukhuwah dan persatuan yang sering digembar-gemborkan. Ironisnya, mereka sering menuduh sejumlah pihak dari kalangan ahlussunah sebagai pemecah belah umat atau hizbi (partisan atau mengelompok) dll. Bagi saya, (Salafi) inilah hizbi yang sesungguhnya, hanya mau bersama dengan orang-orang yang sepaham dengan mereka. Adapun yang berbeda paham, walau bukan masalah prinsip, mereka enggan mengaji.
Teringat pesan salah satu syaikh dari Saudi: "Rifqan ya ahlassunnah bi ahlissunah... berlemahlembutlah wahai ahlussunah terhadap ahlussunah (yang lain)."
Saya sangat apresiasi rencana tabligh akbar di masjid Istiqlal 17 Januari 2016 nanti (moga benar dan terlaksana) yang mempertemukan beberapa tokoh Ahlussunah Wal Jamaah dari berbagai latar belakang dalam satu acara.
Kesampingkan perbedaan-perbedaan yang ada, bahas pada waktu dan cara yang tepat. Adapun umat sangat butuh melihat persatuan tokoh-tokoh umat dan lembaga Islam. Kalau tidak, mereka akan jadi 'santapan lezat' paham-paham sesat seperti Syiah, liberal dan lainnya...Sebab bukan tidak mungkin, banyaknya umat mudah ditarik oleh paham sesat, karena mereka sendiri merasa tidak mendapat tempat di tengah kaum ahlussunah wal jamaah....
Wallahu a'lam.