ISLAM ITU MUDAH DIAMALKAN
Oleh: Teuku Zulkhairi
Sebagai agama yang syamil (universal) dan mutakamil (integral) Islam sesungguhnya merupakan agama yang ajarannya mudah untuk diamalkan. Islam memahami bahwa kita bukan manusia yang sempurna. Atas dasar ini, Islam memberikan kita rumus-rumus yang bisa meringankan kita dalam beragama. Islam mengajarkan kita bagaimana menjalani kehidupan yang mudah sehingga kemudian Islam mengatur pemeluknya sejak bagaimana menata niat sebelum melakukan sebuah pekerjaan karena niat ini akan menentukan orientasi amal yang dikerjakan dihadapan Allah Swt.
Islam juga menyadari bahwa manusia tidak bisa luput dari kesalahan dan kesilapan, maka kemudian Islam juga memberikan rumus bagaimana agar kita sebagai manusia tetap bersih dari dosa. Dan, ketika Allah Swt meminta kita untuk setiap detik dalam kehidupan agar menyembah kepadaNya, maka Islam juga memberikan rumus-rumus agar hal itu bisa kita wujudkan dengan amalan-amalan yang terlihat “kecil” atau tidak terlalu sulit dikerjakan.
Rumus Pertama
Dalam kitab ‘Arba’in Nawawi’ yang berisi kumpulan hadits-hadist pilihan dan pokok-pokok dan dasar-dasar agama Islam, Imam Nawawi meletakkan hadit tentang urgensi niat pada urutan pertama. Ini menandakan bagaimana urgennya posisi hadist ini untuk dipahami umat Islam.
“Sesungguhnya segala pekerjaan tergantung pada niat. Siapa saja yang hijrahnya karena Allah, maka ia mendapatkan Allah. Dan siapa saja yang hijrahnya karena dunia dan isinya atau perempuan yang ingin ia nikahi maka ia mendapatkannya.” (HR. Bukhari Muslim)
Jika kita kaji, sesungguhnya hadits ini merupakan rumus paling utama yang bisa membuat kita lebih mudah dalam beragama. Hadist ini mengajarkan kita, bahwa aktifitas apa pun yang kita lakukan, haruslah kita niatkan hanya untuk mendapat keridhaan Allah sehingga dari amal tersebut maka kita akan mendapatkan nilai ibadah disisi Allah. Meskipun satu sisi sepintas terlihat pekerjaan tersebut hanyalah pekerjaan duniawi.
Tentunya, selama perbuatan tersebut adalah baik dalam barometer dan kacamata Islam. Sebaliknya, bila niatnya semata untuk dunia (bukan untuk Allah), maka jikapun itu amal ibadah dalam arti yang substansial, maka pekerjaan itu tidak akan bernilai ibadah. Maka, dalam beribadah, harus terlebih dulu meluruskan niat yang hanya untuk Allah, dengan keyakinan bahwa ada kehidupan abadi di akhirat nanti setelah kehidupan dunia.
Rumus Kedua
Rumus kedua adalah seperti yang dijelaskan dalam hadis berikut ini,
“Bertaqwalah engkau dimanapun engkau berada, Sertailah keburukan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapus keburukan. Dan berakhlaklah kepada manusia dengan akhlak yang baik.” (HR.Tirmidzi)
Anjuran Islam agar kita menyertai keburukan dengan kebaikan merupakan cara Islam untuk memudahkan kita agar tetap konsisten dalam ajaran agama, sekaligus membuktikan bahwa Islam merupakan agama yang penuh toleran dan sangat memahami sisi kemanusiaan kita sebagai penduduk bumi.
Ini adalah rumus Islam yang barangkali belum semua umat Islam menyadari sehingga banyak yang terlanjur berbuat dosa, tapi mereka membiarkan diri larut dalam pekerjaan dosa tersebut. Padahal dosa tersebut sangat memungkinkan mendapatkan keampunan dari Allah Swt, yaitu dengan cara kita sertai keburukan dengan kebaikan tadi.
Bahwa Islam sebagai ajaran langit memahami betul karakter manusia sebagai penduduk bumi yang cenderung untuk melanggar. Maka Islam memberikan rumus agar kita ‘menyertai keburukan dengan kebaikan, karena kebaikan itu akan menghapus keburukan tadi’. Jika beberapa waktu lalu kita melakukan pelanggaran atau dosa, maka seharusnya kita bersegera bertaubat, bersegara memperbaiki kesalahan itu, bersegera meminta maaf jika itu menyangkut dengan sesama manusia.
Maka jika rumus ini mampu kita praktekkan, dipastikan kita akan menjadi hamba Allah yang selalu diridhaiNya. Kendati demikian, mungkin banyak diantara kita yang belum menyadari sepenuh hati suatu kekhilafan atau dosa, lalu dengan penuh kerelaan melakukan perbaikan. Yang ada sekarang ketika melakukan kesalahan justru mencari justifikasi pembenaran atas kesalahan itu.
Rumus Ketiga
Islam memberikan kita berbagai aturan dan anjuran yang dengannya kehidupan kita bisa terus bernilai ibadah setiap saat. Aturan itu baik dalam level bernegara maupun dalam konteks individual. Pada level bernegara, aplikasi aturan-aturan Allah dalam realita kehidupan manusia pada semua tatarannya merupakan rumus untuk menjadikan negeri kita sebagai negeri yang disebut dengan ‘Baldatun Thaybatu wa Rabbun Ghafur’, negeri yang aman dan dami, dan penduduknya mendapat keampunan dari Allah. Ini bisa diaplikasikan dengan penerapan syariat Islam yang kaffah, meliputi semua tatanan kehidupan. Baik pendidikan, sosial, kemasyarakatan, Sains, ekonomi, militer dan sebagainya.
Sedang dalam konteks individual, aplikasi amalan kebaikan meskipun itu terlihat kecil merupakan jalan untuk menuju keridhaan Allah. Misalnya, dalam tataran dan ruang yang kecil, Islam mengajari umatnya adab-adab terhadap Allah, Rasul-Nya, tetangga dan lingkungannya. Juga adab terhadap dirinya sendiri, seperti anjuran membaca doa-doa ketika hendak makan, selesai makan, hendak tidur, masuk atau keluar dari WC, saat mau bepergian, belajar.
Begitu juga ketika keluar rumah, dan sebagainya. Demikian juga anjuran untuk mengamalkan sunnah Nabi, seperti potong kuku di hari Jumat, memelihara jenggot, memakai wewangian dan amalan-amalan sunnah Nabi lainnya. Semua ini merupakan amalan kebaikan yang bisa membawa pelakunya dalam kerhidaan Allah. Dan yang lebih penting, realisasi dari amalan-amalan tersebut akan mengarahkan kita kepada apa yang diharapkan oleh Allah Swt dalam ayatnya:
“Dan tidaklah kuciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk menyembahkan kepadaKu” (QS. adz-Dzariyat: 56).
Konsistensi kita mengarjakan amalan-amalan tersebut akan menempatkan kita pada posisi yang selalu menyembah kepada Allah Swt, karena kita senantiasa menempatkan Allah Swt sebagai Zat yang mengatur segala sendi kehidupan kita dan kita pun tunduk dan patuh kepadaNya.
Beberapa amalan tersebut mungkin sepintas terlihat kecil, namun sesungguhnya merupakan ujian bagi kita sebelum melakukan amalan besar. Mengangap remeh amalan kecil itu justru akan membuat kita kesulitan saat dihadapkan pada keharusan untuk mengerjakan kebaikan-kebaikan besar. Ini karena belum terbiasanya kita membiasakan diri dengan kebaiakan-kebaikan kecil. Kebaikan-kebaikan yang terlihat ringan, namun Allah akan memberikan balasan yang sangat besar jika dikerjakan dengan ikhlas semata hanya untuk Allah. Wallahu a’lam bishshawab.
__
*Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral UIN Ar-Raniry, Banda Aceh
(Dimuat di Harian Analisa)