[portalpiyungan.com] Pasca kudeta yang gagal akhir pekan lalu, banyak beredar spekulasi tentang akan keluarnya Turki dari NATO.
Berbagai pengamat menilai, jika Turki keluar dari NATO, maka Turki hanya akan mengalami sedikit kerugian, jika tak mau dibilang nihil. Sementara NATO akan mengalami guncangan yang besar bila Turki benar-benar hengkang kelak.
Sejak Turki bergabung ke NATO tahun 1952, pemerintah Turki telah memiliki gambaran bahwa keanggotaan Turki dalam aliansi negara-negara Eropa dan Atlantik Utara itu telah memberi kedudukan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. NATO menguatkan tingkat keamanan Turki dan berperan aktif dalam mengintegrasikan Turki ke dalam negara-negara Eropa dan Atlantik Utara, sebaliknya Turki menjanjikan tanggungjawabnya dalam membela kepentingan aliansi NATO.
Tetapi kondisi tahun-tahun terakhir telah menempatkan hubungan Turki dan NATO dalam sebuah ketegangan. NATO terbukti tidak mampu atau tidak ingin membendung gelombang ketidakstabilan dengan munculnya kelompok ISIS yang melatarbelakangi perang saudara di Irak dan Suriah, dua negara tetangga yang berdekatan dengan Turki.
Dan kudeta yang gagal akhir pekan lalu nampaknya memperdalam jurang ketidakpercayaan antara Turki dan negara-negara NATO.
Menlu AS John Kerry yang mengancam Erdogan, yang dituding telah memanfaatkan kudeta untuk membersihkan para pengkritik dan melemahkan demokrasi, bisa mengakibatkan Turki dikeluarkan dari keanggotaan NATO.
Tetapi mengabaikan "peringatan" AS -dan sepertinya peringatan itu tidak serius- akankah pemerintah Turki tetap ingin melanjutkan keanggotaan di NATO, terutama saat upaya untuk memasukkan semua negara anggota NATO ke Uni Eropa telah gagal?
AS telah lama merangul Turki sejak lama, sebagai aset strategis, terlepas dari tudingan penyimpangan demokrasi yang ditudingkan Amerika kepada pemerintahan Erdogan.
Selama berpuluh-puluh tahun, pemerintah Amerika telah mempertahankan kedekatan hubungan strategis dengan Turki, meskipun -atau berkat- 4 kudeta militer tahun 1960, 1971,1980 dan 1997-dan bahkan setelah invasi Cyprus tahun 1974.
Tetapi membaca dari media-media besar Barat yang memberi kesan bahwa Turki di bawah kepemimpinan Erdogan telah menjadi musuh bagi kepentingan Barat. Turki dianggap sebagai sebuah kewajiban strategis semata, sebuah negara yang tidak bisa diperkirakan pergerakannya yang mampu menyebabkan kerusakan yang tidak diinginkan oleh Barat, sekutu yang liar dan agresif dan sebuah negara yang dianggap tak bersimpati pada kebijakan Barat,
Apakah dugaan-dugaan tersebut benar?
Menurut pensiunan panglima tertinggi NATO, James Stavridis dalam majalan Foreign Policy yang terbit baru-baru ini. jawaban untuk semua tudingan Barat kepada Turki adalah TIDAK BENAR!
Stavridis berargumen, di bawah kepemimpinan Erdogan, Turki telah hadir dalam setiap operasi NATO dan memberi hasil signifikan.
"Melatih pasukan keamanan, memimpin upaya koalisi di distrik pusat Afghanistan, termasuk Kabul, mengirim kapal perang dan pesawat ke Libya dan berpartisipasi dalam operasi melawan pembajakan, berperan aktif menjaga dan mempertahankan keamanan dan perdamaian di daerah Balkan," demikian ungkap Stavridis.
Berlawanan dengan keberatan yang datang dari Amerika dan Paris, pengalaman Turki selama ini membuktikan, keanggotaan NATO memberi jaminan Turki dapat melakukan hal-hal yang memuaskan Turki sekaligus memuaskan AS dan negara-negara anggota NATO lainnya.
Lebih lanjut lagi, menurut Stavridis -yang oleh Hillary Clinton dipertimbangkan untuk menjadi Calon Wakil Presiden- Turki memiliki kekuatan pengaruh yang dahsyat dalam berbagai peristiwa besar. Mulai dari ISIS hinga Israel, mulai dari perkara minyak dan gas bumi di kawasan Timur Mediterania hingga merespon kelompok radikal Islam untuk menjaga stabilitas di Mesir.
Singkatnya, sejarah membuktikan, Turki di bawah kepemimpinan Erdogan telah menjadi aset penting NATO, bahkan telah menjadi pemberi manfaat ketimbang menjadi pengambil manfaat dari keberadaannya di NATO.
Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) terlihat sangat antusias menanggapi penawaran NATO, melebihi partai nasional sekular pendahulunya, atau bahkan negara-negara Barat anggota NATO lainnya. AKP melihat peran lebih besar yang dapat diraih untuk kepentingan partai dan NATO untuk kemajuan Timur Tengah.
Sejak operasi yang "menyimpang" dari daerah NATO di Afghanistan tahun 2001, Turki berpendapat bahwa intervensi terhadap Afghanistan harus dilanjutkan untuk menjaga stabilitas kawasan Timur Tengah. .
Jadi, jika Turki memutuskan untuk meninggalkan NATO, yang akan mengalami kerugian besar bukanlah Turki. Melainkan NATO. Sanggupkah NATO menghadapi tekanan AS yang kini tengah berhadap-hadapan dengan pemerintah Erdogan yang dengan tegas dan keras meminta agar Gulen diekstradisi ke Turki?
Penulis: Marwan Bishara
Editor: Tim Portal Piyungan