Oleh Gigin Praginanto*
‘Pembantaian’ terhadap para tokoh potensial dalam Pilpres 2019 dimulai. Sri Mulyani dan Dahlan Iskan jadi target. Ada unsur dendam juga tampaknya.
Sementara ini Sri Mulyani boleh merasa aman. Maklum, dia berhasil menangkis sekaligus memantulkan ‘peluru’ yang ditembakkan oleh Bareskrim ke arah Jusuf Kalla. Hingar bingar tentang keterlibatan mantan Menkeu itu dalam kasus korupsi penjualan kondensat kepada PT TPPI, pun langsung hilang.
Namun pihak polisi tak kalah tangkas. Setelah Sri Mulyani berbicara kepada pers, Jusuf Kalla buru-buru dinyatakan tak bersalah oleh Brigjen Pol Victor Simanjuntak, kepala direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri. Ketika masih menjadi wakil presiden di bawah SBY, menurut Sri Mulyani kepada Pers, adalah Jusuf kalla yang pegang kendali penjualan kondensat tersebut.
Sementara itu, mantan menteri BUMN Dahlan Iskan kini sedang diburu oleh kejaksaan dalam berbagai kasus korupsi. Termasuk di antaranya kasus korupsi di PLN, yang pernah ‘ditelanjangi’ habis-habisan oleh Dahlan untuk membuat BUMN ini bebas korupsi (lihat: “Saat Dahlan Membongkar PLN” ). Ketika itu Dahlan memperoleh pujian dari segala penjuru nusantara karena belum pernah ada pimpinan PLN yang berani mengambil langkah seperti itu.
Kini Dahlan telah dinyatakan sebagai tersangka oleh Kejati DKI, dan dilarang ke luar negeri. Sementara itu Kejati Jatim sedang mengicar Dahlan atas kasus hilangnya asset milik BUMD Jatim, PT Panca Wira Usaha. Sedangkan Kejagung bernafsu menjerat Dahlan dalam kasus pengadaan 16 unit mikrobis listrik dan bis listrik kelas eksekutif pada PT Bank Rakyat Indonesia (BRI), PT Perusahaan Gas Negara (PGN), dan PT Pertamina ketika dia masih menjabat sebagai Menteri BUMN.
Bila dilihat latar belakang Sri Mulyani dan Dahlan Iskan, keduanya memiliki kemiripan. Selain sama-sama dikenal bersih dan cerdas, mereka juga pernah terlibat langsung dalam pertarungan sengit melawan tokoh yang sedang sangat berkuasa di pemerintahan sekarang ini. Sri Mulyani melawan Jusuf Kalla, dan sedangkan Dahlan Iskan melawan Surya Paloh. Secara politik, keduanya memiliki potensi untuk maju sebagai calon kuat dalam Pilpres 2019.
Pada 2006, ketika menjadi Menkeu, Sri Mulyani pernah memerintahkan Bea Cukai untuk menyegel 12 helikopter karena belum melunasi pajak impor senilai Rp 2,1 miliar. Sri Mulyani tak peduli bahwa helikopter tersebut diimpor atas permintaan Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan dilaksanakan oleh perusahaan PT Air Transport Services milik Achmad Kalla.
Lalu, setahun kemudian, Sri Mulyani menyatakan tak setuju pada proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt karena dibiayai dana asing tetapi akan dikerjakan perusahaan Kalla Grup dan kawan-kawan. Ketika itu Kalla menanggapi penolakan Sri Mulyani dengan alasan yang menanggung risiko adalah Presiden dan Wakil Presiden, bukan menteri.
Sri Mulyani juga pernah menentang rencana Kalla untuk membuat peraturan bahwa pengalihan konsesi jalan tol bisa dilakukan kapan saja tanpa menunggu pembangunannya selesai. Alasan Sri Mulyani, bila rencana Kalla menjadi kenyataan, jual-beli konsesi bakal marak.
Sedangkan Dahlan Iskan pernah terlibat dalam debat terbuka melawan Surya Paloh dalam Pertemuan Puncak Pemimpin Redaksi Seluruh Indonesia pada 2013 lalu. Dalam acara itu Dahlan mengaku tidak mau memanfaatkan koran atau media elektroniknya untuk kepentingan politik. Dengan alasan, kalau itu dilakukan, koran dan media elektroniknya tidak akan laku.
Pernyataan Dahlan ditanggapi berapi-api oleh Surya Paloh. Maklum, Surya Paloh kerap berpidato panjang lebar di Metro TV. Dia juga kerap secara terbuka memanfaatkan korannya – Media Indonesia – untuk melancarkan serangan politik.
Kini sebagai orang paling berkuasa di Nasdem, dan sukses menempatkan kadernya sebagai Jaksa Agung dan Menkopolhukam, Surya Paloh tentu tak ingin menyiakan kesempatan untuk memberi Dahlan pelajaran. Apalagi selama ini semua media di bawah Jawa Pos bersikap kritis terhadap pemerintah. Foto dan tulisan Dahlan Iskan juga hampir selalu muncul di halaman depan, yang bisa membuat dirinya menjadi calon sangat kuat dalam Pilpres 2019. Bagaimana tidak, di luar Jakarta, hanya grup Kompas yang bisa mengimbangi pengaruh grup Jawa Pos.
Surya Paloh sendiri, seperti biasanya, tentu akan memanfaatkan Metro TV secara habis-habisan untuk menghadapi perlawanan Dahlan Iskan. Sedangkan sikap TVOne tentu sangat tergantung pada hasil akhir tawar-menawar politiknya dengan pemerintah.
Masyarakat tentu hanya bisa menjadi penonton pertarungan elite tersebut. Soal siapa yang akan keluar sebagai pemenang, rakyat zaman sekarang mungkin cuma bergumam, “paling kita dibohongi lagi.”
*Sumber: indonesianreview.com