Adakah Niat Jahat Cak Fasich (Mantan Rektor Unair yang Ditetapkan Tersangka KPK)?


Oleh MOH MAHFUD MD*

Masyarakat perguruan tinggi agak terguncang setelah Rabu (30 Maret 2016) sore, tiga hari yang lalu, tiba-tiba ada berita mengagetkan. Prof Dr Fasichul Lisan alias Cak Fasich, mantan rektor Universitas Airlangga (Unair), ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi oleh KPK.

Masyarakat kaget karena selama ini Cak Fasich dikenal sebagai figur yang bersih. Dalam keseharian Cak Fasich selalu hidup sederhana. Kekayaannya juga biasa saja seperti dosen pada umumnya yang tidak punya kegiatan bisnis. Dengan melihat jalan hidupnya yang sederhana, perilakunya yang tulus, dan ketaatan beragamanya yang tertib memang sulit untuk percaya bahwa Cak Fasich melakukan korupsi atau mempunyai niat jahat untuk melakukan korupsi.

Itulah sebabnya pimpinan Unair, mewakili warga sivitas akademikaUnair, mengeluarkan pernyataan terbuka bahwa pihaknya merasa sedih atas penetapan Cak Fasich sebagai tersangka karena selama ini Cak Fasich telah bekerja dengan baik, lurus, dan penuh prestasi sehingga Unair menduduki posisi prestisius seperti sekarang.

Meski begitu, Unair menyatakan menghormati proses hukum dan akan ikut membantu Cak Fasic huntuk memperoleh keadilan. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Dien Syamsudin menyatakan akan tampil membela Cak Fasich, minimal memberi dukungan moril, karena dirinya meyakini dari dulu bahwa Cak Fasich tidak terlibat dalam penyelewengan dana RS Unair.

Pernyataan Dien mendapat sambutan meluas di media sosial. Mereka yang mengenal Cak Fasich percaya bahwa Cak Fasich tak mungkin mempunyai niat jahat melakukan korupsi. Saya pun mengenal Cak Fasich dalam waktu yang lama, sejak Cak Fasich masih menjadi dosen muda. Dalam pengenalan yang sangat lama, saya pun meyakini Cak Fasich tidak mungkin mempunyai niat jahat atau kesengajaan untuk melakukan korupsi.

Ada prinsip geen straf zonder schuld, ”tidak ada tindak pidana kalau tidak ada kesalahan”. Ada pun kesalahan terdiri atas dua unsur yakni actus reus atau perbuatan lahiriah tindak pidana, dan mens rea atau sikap batin yakni kemampuan bertanggung jawab, termasuk niat jahat.

Tetapi, KPK tentu mempunyai alasannya sendiri, yaitu adanya, minimal, dua alat bukti sehingga menetapkan Cak Fasich sebagai tersangka. Masalah niat jahat atau mens rea biasanya dibuktikan di pengadilan. Yang penting adalah dua alat buktinya dulu. Terkecuali sangat nyata bahwa pelaku tidak bisa dibebani tanggung jawab (misalnya karena gila), jika sudah ada dua alat bukti, seseorang bisa dijadikan tersangka.

Soal mens rea atau niat jahatnya biasanya dibuktikan di pengadilan. Seseorang yang secara lahiriah melakukan tindak pidana (actus reus) haruslah dibebaskan dari hukuman kalau tidak ada niat jahat (mens rea). Tetapi, didalam praktik niat jahat selalu dikaitkan dengan pembuktian yang berujung pada keyakinan hakim.

Seseorang itu dinyatakan bersalah atau tidak bersalah adalah bergantung pada keyakinan hakim setelah melakukan pemeriksaan di persidangan. Banyak orang yang dalam pandangan umum tidak bersalah dan pengadilan tidak menemukan bukti bahwa yang bersangkutan ikut menikmati korupsi, tetapi tetap dihukum.

Menpora Andi Mallarangeng dan Mensos Bachtiar Chamsah tetap dijatuhi hukuman pidana meski tidak ada bukti menikmati korupsi yang terjadi di kementeriannya. Begitu juga yang terjadi pada Menkes Sujudi dan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah yang tampaknya hanya melakukan prosedur administratif.

Mens rea pada para pejabat tinggi itu, tampaknya, dinyatakan ada karena mereka lalai sehingga terjadi korupsi oleh orang lainditempat yangdibawahtanggung jawabnya sebagai pejabat negara. Bahkan, ada putusan Mahkamah Agung (MA) yang menghukum orang karena tindak pidana korupsi, padahal jelas-jelas MA sendiri menyatakan yang bersangkutan tidak mempunyai niat jahat untuk korupsi.

Dalam putusan No 2008/K/ Pid.Sus/2012, drg. Cholil M.Kes dijatuhi hukuman penjara karena melakukan pengadaan obat-obatan yang nilainya di atas Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) tanpa tender. Padahal, dalam pertimbangannya, MA sendiri menegaskan bahwa ”tidak ada niat jahat pada diri drg Cholil karena yang dilakukannya adalah mengisi stok obat-obatan di rumah sakit yang waktu itu harus segera diisi” dan, menurut pertimbangan MA juga, ”yang dilakukan oleh drg Cholil itu bermanfaat terhadap para pasien”.

Meski dalam pertimbangan MA jelas-jelas menyebut drg Cholil tidak punya niat jahat dan tindakannya malah bermanfaat kepada pasien, drg Cholil tetap dijatuhi hukuman pidana penjara selama satu tahun. Kasus Andi Mallarangeng, Bachtiar Chamsah, dan drg Cholil merupakan contoh tentang orang yang tidak mengambil keuntungan dari korupsi dan, mungkin, tidak mempunyai niat jahat, namun tetap dihukum oleh pengadilan.

Di luar itu lebih banyak contoh, kalau tidak ada niat jahat, orang tidak dihukum. Mudah-mudahan Cak Fasich mendapat keadilan melalui peluang yang terbuka. Kekuatan sekaligus kelemahan Cak Fasich adalah sikapnya yang selalu menganggap orang lain adalah sebaik dirinya. ”Ikhtiar, sabar, dan tawakallah, Cak”. Akhirnya, secara hukum, pengadilanlah yang akan mempertimbangkan dan memutus tentang ada atau tidak niat jahat dan segala akibatnya.

*MOH MAHFUD MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN):
Ketua MK-RI 2008-2013

Sumber: Koran Sindo edisi 2/4/2016




Subscribe to receive free email updates: