Ketika pemilihan kepala daerah di Papua, secara tidak tertulis disepakati bahwa untuk calon kepala daerah mestilah beragama Nasrani dan putera daerah. Kami yang muslim dan pendatang lapang dada saja. Tidak menyebutnya fanatisme berlebihan terhadap agama dan pelanggaran SARA. Kami mnyebutnya toleransi dan kearifan lokal.
Namun sangat berbeda dengan di ibukota. Ketika suku dan penganut agama mayoritas menginginkan kepala daerahnya adalah setidaknya muslim walau bukan putera daerah, kenapa harus melabelkan fanatik berlebihan terhadap agama dan menyebut-nyebut bahwa keinginan tersebut adalah pelanggaran SARA? Kemana istilah toleransi dan kearifan lokal di ibukota?
Bahkan jangankan untuk jabatan kepala daerah, mengenai aturan tentang minuman keras, di Papua ternyata kepala daerah lebih memproteksi masyarakatnya akibat dampak buruk peredaran minuman keras dibandingkan juga dengan ibukota.
Ataukah memang benar bahwa di Papua ternyata sudah lebih maju pola berpikir masyarakatnya dibandingkan di ibukota? Ataukah mungkin lebih baik ibukota Republik Indonesia dipindah saja ke Provinsi Papua?
Tidak perlu dijawab...
(Azzam Mujahid Izzulhaq)