Firasat-firasat Sayyid Quthb


Penulis: Yusuf Maulana*

Tersebutlah nama Jamal Rabi’ dalam berita acara pemeriksaan (BAP) Sayyid Quthb yang kelak berujung vonis hukuman 15 tahun. Jamal disebut-sebut Sayyid seorang perwira yang memberinya ide pemberontakan di penjara hingga kudeta terhadap pemerintahan Mesir kala itu. Ditahan bersama para aktivis Ikhwanul Muslimin di penjara Laiman Thurrah memudahkan Jamal untuk mengemukakan idenya.

Skenarionya, mereka merampas senjata para sipir penjara, kemudian menuju Kairo, lalu bergabung dengan para tentara yang antipemerintah Gamal Abdel Nasser (yang sudah dikontak sebelumnya) merebut kekuasaan. Sayangnya, syarat 50 orang Ikhwan yang disebutnya “berhati besi” tidak kunjung didapati di dalam Penjara Thurrah.

Ide Jamal terlontar pada musim Semi 1955. Bukan hanya Sayyid, beberapa pemuka Ikhwan di penjara juga didekati demi menjalankan misi berbahaya tersebut. Tercatat nama Fuad Jasir dan Husain Hamudah, selain juga tokoh penting Ikhwan, Shalih Abu Ruqaiq. Ketiganya sontak menentang keras. Shalih bahkan mengecam ide Jamal yang disebutnya “liar tanpa perhitungan”. Lalu bagaimana respons Sayyid Quthb?

Seperti dicatat Shalah al-Khalidiy dalam buku biografi Sayyid, tokoh yang baru saja bergabung bersama Ikhwan itu pun tidak menaruh minat. “Meski pengalaman saya sangat minim di dunia teknis kemiliteran, dapat saya simpulkan bahwa rencana itu tidak lebih dari sebuah upaya bunuh diri yang gila, yang sehrusnya tak pernah terlintas dalam pikiran siapa pun,” tanda Sayyid kepada Jamal.

Jamal ternyata bergeming. Baginya, tidak ada pilihan di tengah kezaliman rezim selain menjalankan gagasannya. Betapa banyak korban tersakiti tanpa ampun dari kalangan Ikhwan, baik di dalam maupun luar penjara, yang tidak mungkin hanya menunggu pasrah vonis kematian. Mendengar Sayyid memang bakal dipindahkan di Penjara Militer, Jamal bahkan mendesaknya untuk melobi anggota Ikhwan dari kalangan perwira, Ma’ruf al-Hudhari, yang juga ditahan di sana.

“Rencana ini sama artinya dengan membantai besar-besaran anggota Ikhwan, baik yang masih di penjara maupun yang berada di luar!” sungut al-Hudhari ketika Sayyid menemuinya.

Sayyid Quthb tampaknya mencerna kata-kata al-Hudhari dan para anggota Ikhwan lainnya yang menentang ide Jamal. Akhirnya, seperti ditulis al-Khalidiy dalam Sayyid Quthb Minal Milad ilal Istisyhad (1994), Sayyid Quthb mendapati ada keganjilan. Ia menganggap rencana Jamal bagian dari taktik pemerintah Nasser untuk menggulung habis Ikhwan. Namun Sayyid masih menaruh prasangka baik, bisa saja Jamal hanya “alat” yang digerakkan tanpa disadari. Semacam personal yang terprovokasi oleh oknum perantara alat rezim yang entah siapa.

Pemberontakan dari penjara itu tidak pernah terwujud. Bahkan sampai ketika Jamal dibebaskan nantinya.

Menariknya, Jamal Rabi’ hanya senyum-senyum saja ketika disodori cerita tentang pertemuan dirinya untuk membujuk Sayyid soal pemberontakan bersenjata.

“Semoga Allah memaafkan mereka. Walau bagaimanapun, kami pasti tahu seperti apa kejadian yang sebenarnya, kendati sejak awal saya tidak pernah menyalahkan guru saya, Asy-Syahid Sayyid Quthb, dan menuduh beliau mengarang-ngarang cerita, baik sewaktu diperiksa maupun pada kesempatan lain. Cerita rekayasa ini mereka sebut sebagai ‘strategi membebaskan diri dari Penjara Kaior’. Ini sungguh menggelikan,” komentar Jamal.

Namun Jamal tidak membantah kalau dirinya pernah berniat membebaskan tahanan Ikhwan dari Penjara al-Wahat ataupun melarikan diri dari penjara menuju Sudan. Tidak lebih dari itu. Tidak ada cerita dan niat mengangkat senjata melawan rezim yang sedang kuat-kuatnya. Hasan Humaidah yang pernah dibisiki ide serupa semasa di penjara juga mengamini.

***

Perhatikan bagaimana firasat Sayyid Quthb bekerja saat menilai Jamal Rabi’. Kecintaan yang tampak untuk menolong saudara seiman begitu kuat terasa. Padahal, belakangan diketahui, Jamal bukanlah anggota Ikhwan. Ia ditahan karena lebih loyal pada atasannya di militer semasa berjuang di Palestina. Sang atasan tidak disukai Nasser, dan Jamal diharapkan menjadi saksi pemberat untuk menghukumnya. Jamal ternyata lebih memilih dibui dalam vonis 15 tahun penjara, di tempat yang sama dengan tahanan Ikhwan. Sikap militan Jamal ini tidak mengurangi keanehan dalam firasat Sayyid. Ada bahaya besar menghadap ke depan kalau niat baik Jamal terwujud. Walau tanpa didahului diskusi di antara para tokoh penting Ikhwan, ternyata mereka sepakat untuk menentang niat Jamal Rabi’.

MEI 1964, SAYYID QUTHB dibebaskan mendahului vonis yang dijatuhkan hakim. Tidak butuh waktu lama, ia pun diminta oleh pimpinan kolektif Ikhwan untuk jadi semacam penasihat spiritual. Ikhwanul Muslimin sendiri selepas Sayyid bebas dari penjara harus bergerak diam-diam. Tidak boleh sedikit pun tercium kiprahnya yang hanya sebatas pertemuan pekanan dicium para intelijen negara.

***

Sosok bernama Ali Ahmad Abduh Asymawiy yang menjadi lakon berikutnya dalam menguji firasat Sayyid Quthb. Sosok yang di kalangan Ikhwan dianggap sebagai kader berdedikasi dan gigih berjuang. Ironisnya, gegara Asymawiy jualah aparat berhasil menguak persembunyian bawah tanah Ikhwan.

Asymawiy begitu terpikat dengan enam pilar fondasi gerakan Ikhwan ala Sayyid Quthb. Sebetulnya fondasi harakah ala Sayyid biasa saja dalam metode dakwah. Memuat soal penanaman akidah, tarbiyah bagi pemuda, pentingnya kualifikasi dien bagi pengurus Ikhwan, sampai pendirian pemerintah islami dimulai dari jalan mengajak masyarakat lewat perbaikan akhlak. Berikutnya, dan ini yang kemudian dimanfaatkan Asymawiy, pembelaan gerakan ketika dizalimi. Prinsip terakhir tentang “pembalasan” sebetulnya merujuk pada ayat Quran surat al-Baqarah ayat 194, “Barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu…”

Prinsip yang baru sebatas konsep itu oleh Asymawiy ingin dipraksiskan secara cepat. Dua tahun lamanya ia sudah menyiapkan senjata, yang katanya disuplai dari seorang al-akh di luar negeri. Senjata yang diparkir di Sudan inilah yang kelak siap dikirim untuk digunakan dalam rangka mempertahankan diri dari kebengisan rezim. Ikhwan yang terus-menerus diburu penguasa tentu tidak bisa diam manakala banyak korban berjatuhan tanpa sebuah pembelaan.

Logis, terlebih Asymawiy pintar memikat para pimpinan Ikhwan. Walau pimpinan Ikhwan berkeberatan, Asymawiy tidak patah arang membangun argumentasi. Apalagi ia salah satu dari lima pimpinan baru era bawah tanah bersama-sama Abdul Fattah Ismail, Ahmad Abdul Majid, Mubarak Abdul Azhim, dan Shabri Arafah.

Keganjilan demi keganjilan di balik semangat menggebu rekan mereka bukannya tidak ada. Sayyid Quthb tentu merasakannya. Hanya saja, bukankah Asymawiy seorang kader inti nan loyal? Di sinilah ujiannya sebuah firasat di jalan harakah. Senyampang itu, situasi keamanan juga semakin menyudutkan para anggota Ikhwan. Sehingga Sayyid yang semula enggan merestui akhirnya terpaksa menyetujui usulan menggelar pelatihan askariyah.

“Saya berpendapat agar senjata itu diundur pengirimannya, saya akhirnya menyetujui usulan mereka. Padahal, saya benar-benar tidak antusias dengan usul tersebut sebab usulan semacam itu adalah pilihan terakhir, bukan pilihan utama,” ujar Sayyid Quthb.

Musim panas 1965, situasi begitu cepat dari perkiraan. Penangkapan anggota Ikhwan yang bergerak di bawah tanah semakin masif. Penangkapan itu lebih cepat dari tibanya senjata yang dijanjikan Asymawiy. Sayyid pun menjalankan naluri penciumannya adanya marabahaya. Ia meminta Asymawiy membatalkan rencana pengiriman senjata.

Alih-alih menuruti sang penasihat Ikhwan, Asymawiy malah bertanya, “Berlaku permanen atau sewaktu-waktu dapat berubahkah?”

Sebuah tanya yang lebih tepat mengantisipasi sebuah penjegalan skenario tertentu. Asymawiy seolah tidak ingin ada yang menghalangi niatnya. Benar saja, sebelum senjata itu benar-benar tiba di Mesir, dan cerita adanya pemberontakan besar-besaran kadung jadi dalih penguasa untuk membui, satu demi satu langkah besar penangkapan anggota Ikhwan terjadi. Meski turut ditangkap dan sempat divonis mati, Asymawiy hanya menerima hukuman penjara seumur hidup. Namun jangan bayangkan ia bakal mendapatkan siksaan keji sebagaimana para anggota Ikhwan.

“Ia memakai piyama dari sutra yang lembut, bersih, dan bagus. Rambutnya tersisir rapi, tak tampak pada tubuhnya bekas-bekas penyiksaan sedikit pun,” ungkap seorang tahanan perempuan Ikhwan, Zainab al-Ghazaly. Masih menurut kesaksian Zainab, Asymawiy termasuk mendapat perlakuan istimewa hingga penyidik bengis pun harus bertutur lembut padanya. Amat jauh bila penyidik itu berhadapan dengan anggota Ikhwan lainnya.

Kicauan Asymawiy soal senjata, dan keterlibatan para pimpinan Ikhwan dalam tudingan makar (termasuk melibatkan nama Murysid ‘Am Hasan al-Hudhaibiy), menjerumuskan banyak saudara seperjuangannya. Sementara yang lain harus menerima siksaan yang kadang sampai mengambil nyawa para Ikhwan, Asymawiy bisa berlenggang menghirup udara segar.

Firasat Sayyid Quthb kali ini tepat, namun sayang terlambat. Ia pun harus rela digiring di tiang gantung menjemput syahid.

***

CERITA SAYYID QUTHB DALAM DUA momen berdekatan di atas adalah sebuah pelajaran tentang firasat dan syura.

Sebuah syura dalam tubuh jamaah Islam adalah ikhtiar menuju kebaikan. Syura menjadi jalan mencapai keberkahan jamaah dakwah. Putusan syura memang kerap mengundang kecewa anggota jamaah, atau bahkan sebagian peserta syura sendiri. Tapi kemestian berhimpun dalam jamaah menghadapi kenyataan bahwa syura tidak patut dielakkan. Beratnya hati untuk menerima tidak berarti berhak mengumbar protes terbuka, apalagi dengan cara-cara tiada beradab mengumbar aib dan isi pembicaraan sepanjang syura.

Seringnya syura jadi pedoman dan putusan tertinggi melegitimasi ketaatan tanpa terkecuali siapa saja yang bergabung dalam satu harakah Islam tersebut. Memang, putusan syura tidak selalu yang terbaik, baik di awal ataupun kelak dalam perjalanan waktu. Bahkan, mungkin saja justru putusan itu justru keliru dan blunder bagi dakwah. Kiranya hasil kesepakatan syura lima pimpinan Ikhwan tidak perlu disangkakan kualitasnya. Namun, dari hasil syura ini pula muasal sebuah pemberangusan gerakan dakwah. Patutkah salahkan syura lima orang yang membicarakan aliran senjata yang dicetuskan Asymawiy?

Sering kali syura dipandang absolut. Tidak boleh digugat sama sekali proses maupun hasilnya. Mereka yang aktif dalam harakah paham betul makna kewajiban menaati hasil syura. Sebab di sinilah makna keberjamaahan itu sendiri di balik filosofi berhimpun membicarakan satu masalah. Karena itu, syura pun identik dengan memaksa dan mengikat. Suka ataupun tidak suka, enggan ataukah ikhlas. Syura jadi pintu masuk doktrin ketaatan. Mutlak dalam praktik di lapangan. Menyalahi atau paling kurang mencibiri diam-diam, sebuah aib tak termaafkan.

Kedudukan syura berikut kedekatannya dengan soal doktrin taat bagi kader harakah, memang bukan persoalan baru. Selalu dinamika dan riuh yang menyertainya ketika publik tahu. Dari urusan kebijakan baru harakah dalam menyikapi penguasa, hingga memecat anggota harakah yang dianggap menyalahi aturan internal.

Tapi syura sesungguhnya memerlukan situasi yang aman dan nyaman. Harus ada kesungguhan untuk mensterilkan dari pretensi dan motivasi lain di luar niat menggapai ridha Allah. Di sinilah letak peliknya, lantaran kita mengukur soal abstrak; hati dan niat para saudara seperjuangan. Sayyid bukan tidak percaya pada Jamal Rabi’ ataupun Ali Asymawiy. Kurang intelektual bagaimana Sayyid; juga kadar kecintaannya dalam dakwah Islam. Meski godaan untuk memprasangkai berat ada, ia tetap menerima secara lapang kata-kata keduanya. Walau pada akhirnya ada beda perlakuan, tatkala Jamal harus ia tepikan idenya, sementara Asymawiy secara terpaksa diterimanya. Posisi dan kedudukan berikut lingkungan ketika Sayyid berada memang berbeda. Dan inilah pelajaran penting yang terlupakan oleh sebagian kita.

Berhadapan dengan Jamal Rabi’, Sayyid dalam awasan penguasa. Bersama-sama pula di penjara terburuk di Mesir. Demikian juga para elit Ikhwan lainnya. Mereka bisa berjarak dengan hal-hal yang mungkin disusupkan pihak ketiga. Sebab, ada ruang untuk berpikir kritis dari perangkap dan jebakan. Ditambah lagi posisi Jamal yang sekalipun egaliter diterima di penjara oleh elit Ikhwan, namun tidak mengabaikan kedudukan normalnya yang hanya “orang luar”.

Ketika kedudukan orang yang dilibatkan bertukar pikiran, dan dilakukan di luar penjara, adalah setara juga kolektif di level pimpinan, perbedaan mulai terasa. Asymawiy tidak lebih rendah dari Sayyid dalam struktur. Jabatan dalam Ikhwan inilah yang memungkinkan ia bisa mendesak dan leluasa beropini secara argumentatif meski di balik itu semua ada niatan lain.

Di situlah problem syura yang menguji rasa taat para kader dakwah. Kita tidak pernah tahu kualitas hati ketika para qiyadah dakwah memutuskan satu hal. Tidak seratus persen dalam posisi hanya mengharap ridha Allah dan tanpa ada rasa tertentu dengan pihak atau isu tertentu. Hanya keluguan dan firasat belaka yang jadi pertaruhan ketika menilai ujaran ide ikhwah lain. Bukan meyakinkan peserta syura karena ada agenda terselubung.

Syura terjunjung memang niscaya diterima. Tapi di sinilah dibutuhkan orang-orang yang bersih dalam firasat ketika membaca keadaan. Agar putusan yang dihasilkan tidak semata berkonsekuensi legal-formal atau rasional di durasi singkat. Firasat turut menyelamatkan Ikhwan dari jebakan rezim, tapi firasat yang tidak berjalan juga yang benamkan Ikhwan di tangan rezim. Sebab, tsiqah sudah sedemikian kuat menutupi kuatnya bisikan firasat. Bukannya tsiqah tidak lagi penting. Tidak! Ini tentang kejujuran kita menilai orang bukan semata dari tampilan luar. Di sisi inilah ujian keimanan para qiyadah berlangsung.

Menilai kualitas syura dari kapasitas lahiriah para qiyadah amatlah absah. Kita tentu tak yakin mereka bakal memiliki niat macam-macam. Tapi menyandarkan pada reputasi nama-nama mereka untuk mengajak semua kader dakwah menerima, belumlah sempurna. Firasat memang sering salah, tapi di hati orang yang tidak banyak bicara lagi bertingkah, kita bisa merujuk ada gerangan apa. Ketika sejenak mengambil jarak dari hadirnya suara-suara yang mengharuskan putusan cepat diambil, di situlah firasat bekerja.

Firasat bukanlah selalu berupa bisikan atau syubhat untuk menyertai putusan syura. Ketika si fulan diputuskan begini oleh jamaah, maka saat ada (teranggap) bisikan menyebut begitu, belum tentu itu sebuah tipu daya setan. Bila firasat hadir mendahului putusan syura, bisikan jahat tidak demikian. Ia hadir belakangan setelah syura diketuk hasilnya, dan tiba-tiba ada sebuah keraguan untuk menaati. Inilah uniknya firasat. Hadir tanpa diniatkan, sebatas respons menyahut gejala yang hadir abstrak di balik sebuah fenomena ataupun tuturan kawan seperjuangan. Bergulat dengan bisikan untuk memprasangka, tapi terus dipendam sampai merasa ada bimbingan demi selamatkan dakwah itu sendiri. []

*Sumber: fb

(Baca juga: "Orang Lain" Ditengah Kita | Oleh: Anis Matta)




Subscribe to receive free email updates: