Oleh: JJ Rizal*
Sejarawan
Ketika pagi itu, 11 April 2016, Pasar Ikan digusur Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Poernama alias Ahok dengan mengerahkan ribuan pasukan gabungan, saya ditanya oleh seorang kawan: apakah sejarah berulang?
Saya tak menjawab. Tetapi pertanyaan itu muncul lagi selang sebulan setelahnya. Pada 10 Juni, saya ditemaninya ke Pasar Ikan menengok puluhan sisa korban gusuran yang memilih tinggal di tenda-tenda serta menjadi "manusia perahu" di kawasan itu. Apakah sejarah berulang?
Baiklah. Tempatnya sama, hanya waktunya berbeda. Selang lebih dari 400 tahun silam, pada 30 Mei 1619, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Jan Pieterzoon Coen di tempat yang sama menggelar ribuan pasukan untuk menghancurkan dan meratakan Kota Jayakarta. Seperti saat Coen merangsek dulu, demikian pula ribuan orang di Pasar Ikan kurang memberi perlawanan. Mereka hanya berusaha agar tuntutan mereka diperhatikan. Mereka sudah kalah lebih dulu dan akhirnya menyingkir ke daerah lain, terutama ke arah timur sepanjang pantai Jawa Barat atau bertahan di wilayah pedalaman.
Ada pararelisme, tetapi sejarah tidak berulang. Sebab, setiap peristiwa memiliki keunikannya sendiri. Hanya, seperti dikatakan Susan Blackburn, penulis Jakarta: A History, dalam sejarah panjang Jakarta, ada continuity and change atau kelanjutan dan perubahan. Atau, bahasanya Adolf Heuken dalam Historical Sites of Jakarta, masa Batavia telah lewat dan Jakarta berkembang serta berubah cepat tetapi tidak sedikit masalah dan sikap bertahan selama berabad-abad.
Banjir, kebersihan, suka pamer, jurang kaya-miskin, korupsi, perusakan alam lingkungan adalah beberapa contoh masalah yang tidak pernah absen dalam sejarah Jakarta. Arsiparis Mona Lohanda dalam bukunya, Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia, menambahkan, yang juga tidak pernah absen adalah sikap, karakter, ataupun gaya hidup orang nomor satu di Jakarta: lebih mirip pembesar atau penguasa ketimbang pemimpin.
Heuken menyatakan sikap pembesar itu diwariskan oleh Coen, yang dianggap sebagai pendiri Kota Batavia. Saban 30 Mei, ketika Kota Jakarta masih bernama Batavia, dirayakan besar-besaran peringatan berdirinya Kota Batavia. Dari gubernur jenderal sampai prajurit pribumi ikut merayakan. Ada parade militer, pawai, perjamuan, doa bersama, sundut meriam, dan pesta kembang api. Selama 300 tahun lebih, perayaan itu dilakukan demi mengingat pendiri Batavia, Coen, yang seorang akuntan. Tak ayal, duitlah yang didewakan di dalam sejarah panjang Batavia.
Sikap mereken semua hal dengan duit Coen itu tumbuh subur dalam tubuh VOC. VOC adalah salah satu perusahaan multinasional pertama di dunia yang dikendalikan kaum arsitokrasi duit dari enam kota di Belanda. VOC, yang hanya memikirkan bagaimana mencari keuntungan, memberikan hak kepada para pegawainya. Bukan hanya berdagang, tapi juga bertindak sebagai kekuasaan yang sah untuk memerangi yang menghalangi kepentingan bisnis mereka.
Namun sikap VOC yang mendewakan duit dalam berkuasa itu tidak lenyap bersama kebangkrutannya. Pada 1930, ketika Sukarno menyampaikan pleidoinya yang tersohor, Indonesia Menggugat, ia menelaah dengan tajam betapa sikap dan gaya kuasa VOC masih hidup segar-bugar. Ia menunjukkan contoh-contoh sikap dan gaya kuasa yang bernafsu mencari rezeki dengan segala cara, kalau perlu dengan membunuh manusia dan alamnya. Jika sudah dapat membunuh manusia dan alam, kejahatan apa pun tinggal hal sepele.
Nafsu warisan Coen itu diingat betul oleh Sukarno. Karena itu, ketika Indonesia merdeka dan Jakarta menjadi ibu kota, ia ingin menghapus semua kenangan akan Batavia. Ulang tahun Jakarta pada 22 Juni adalah respons Sudiro atas niat Sukarno mengganti ulang tahun Batavia, yang 30 Mei. Sukarno juga mengkonstruksi ulang ruang Kota Jakarta dengan arsitektur yang membawa wajah Indonesia untuk mengganti arsitektur kolonial. Ia berharap, dengan semua penanda arsitektur baru itu, akan terkikislah sikap mental yang diwariskan dan dimulai oleh Coen di Jakarta, dari satu rumah gudang kecil di tepi timur muara Ciliwung yang dengan licik disiasati menjadi benteng dengan meriam yang diarahkan ke keraton Pangeran Jayakarta.
Sukarno berharap sejarah Jakarta yang dikuasai dan dikelola pengusaha lenyap. "Jakarta harus dibangun dengan megah, indah, tetapi jangan kehilangan tempatnya yang megah dan indah di kalbu rakyat," kata Sukarno pada 1962. Apakah Sukarno berhasil? Kurang waktu. Selang empat tahun setelah menyatakan hal itu, ia dijatuhkan. Namun Sukarno telah menggariskan arah Jakarta.
Ironisnya, setelah lebih setengah abad Sukarno jatuh, riset ahli perkotaan Pratiwo dan Peter J.M. Nas membuktikan bahwa penguasa dan sutradara utama perubahan Jakarta sesungguhnya adalah para pengusaha. Kian hari pun kian terasa semangat dan sikap Coen merasuk dalam semangat dan sikap para Gubernur Jakarta. Apakah sejarah berulang?
Sejarah hanya berulang bagi yang dungu tetapi pongah pada kenyataan yang dikatakan filsuf penyair Soren Kierkegaard: "Hidup memang dijalani ke depan, tetapi dipahami ke belakang".
*Sumber: http://ift.tt/28X89mA