[portalpiyungan.com] Calon Kapolri yang telah disetujui Komisi III DPR, Komisaris Jenderal (Komjen) Tito Karnavian menegaskan kembali tak perlunya pembentukan Dewan Pengawas Densus 88.
Wacana pembentukan Dewan Pengawas Densus 88 muncul sejak dimulainya pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Wacana pembentukan Dewan Pengawas ini dilatari oleh makin banyaknya korban terduga teroris yang tewas di tangan Densus 88.
Komjen Tito mengungkapkan, salah satu alasan tak perlunya dibentuk Dewan Pengawas adalah dalam rangka penghematan anggaran.
Ketua Pansus RUU Pemberantasan Terorisme, Muhammad Syafi'i menilai, keberatan Tito tidak sejalan dengan komitmennya yang ingin menerapkan zero pelanggaran HAM dalam operasi memberantas terorisme.
"Kalau alasan dia untuk menghemat anggaran, itu kan bukan persoalan dia. Soal anggaran itu kan persoalan negara," kata Syafi'i di Jakarta, semalam seperti dirilis RMOL. Berikut petikan wawancaranya.
Komisi III setuju Komjen Tito menjadi Kapolri. Tanggapan Anda terkait agenda pemberantasan terorisme yang akan dijalankanKomjen Tito?
Komjen Tito ini orang yang secara akademik cemerlang, tetapi represif dalam melaksanakan tugas.
Maksudnya?
Itu kan ditandai dari apa yang dia lakukan selama 11 tahun melakukan penindakan teroris, sejak 2005 hingga tahun 2016. Dari kepala bagian penindakan sampai kepala BNPT (Badan Nasional Pemberantasan Terorisme).
Tapi dia kan dianggap berprestasi dalam pemberantasan terorisme?
Kalau beberapa pihak mencatat dia berprestasi menangkap Dr Azahari dan Noordin M Top, oke-lah. Tapi kan kurun waktu itu ada 121 orang yang diduga sebagai teroris yang tewas tanpa melalui proses hukum. Sebelum proses hukum berjalan tewas, artinya kan dia represif.
Yang kedua, ketika dalam demonstrasi buruh yang lalu, dia juga bertindak represif.
Lalu yang terakhir terkait pernyataannya pada tanggal 25 November 2015 lalu, ketika seminar HAM di Polres Jakarta Utara, dia membuat statement bahwa polisi boleh melakukan kekerasan. Jadi ternyata yang dilakukannya itu memang menjadi sikap dia.
Lantas relevansinya?
Jadi yang kita takutkan, setelah menjadi Kapolri akan semakin represif menjadi-jadi. Makanya kita mempertanyakan, seperti di Inggris, Densus itu kan ada Dewan Pengawasnya, tapi dia tidak setuju.
Komjen Tito beralasan Dewan Pengawasan Densus tak perlu dibentuk demi penghematan anggaran...
Kalau soal anggaran itu kan bukan persoalan dia. Itu kan persoalan negara. Kalau itu memang mampu membuat pemberantasan teroris itu menghormati HAM dan taat pada criminal justice system, kemudian abuse of power, kenapa tidak. Karena kan untuk melindungi seluruh tumpah darah kita masa harus menakutkan anggaran.
Bagaimana pembahasan ke depannya setelah dia sah sebagai Kapolri dan keukeuh menolak Dewan Pengawas?
Ya kalau dia bisa keukeh, ya kita juga bisa, ya kan. Karena alasannya harus rasional. Kalau dia alasannya soal uang, itu masih bisa diupayakan. Tapi kalau soal HAM kan itu harus dilindungi.
Sekarang, bagaimana dia mengatakan itu tidak perlu sementara ada 121 yang tewas? Itu tanpa proses hukum. Bagaimana dewan pengawas tidak perlu? Jadi sebenarnya dewan pengawas ini tidak hanya untuk operasional.
Untuk apa?
Selain operasional, juga untuk transparansi anggaran. Bagaimana operasi-operasi yang mereka lakukan itu? Apakah hanya murni pakai APBN. Nah, kemudian bagaimana dengan uang Rp 100 juta yang diberikan kepada keluarga Siyono? Apakah itu juga dari APBN? Kalau tidak dari APBNitu dari mana? Nah itu yang harus diawasi. Seluruh narasumber itu sepakat Densus harus diawasi.
Terkait terorisme, apa lagi catatan Anda?
Yang kita protes kepada Densus itu juga soal sebaran terorisme. Bagaimana mereka di peta itu membuat kalimat Lailaha Allah? Jadi misalkan Medan, ada sebaran teroris, dibikin tuhsan tanda panah dan kalimat itu.
Kita bertanya apa maksudnya? Artinya kan Densus itu kan mengartikan teroris itu Islam. Dan kita takut Islam diidentikkan teroris.
Tanggapan Tito bagaimana?
Dia bilang, tidak bener seperti itu. Tapi kan kita punya data. Karena paparan Densus itu tertulis. Tadi nggak sempat saya serahkan ke beliau.
Yang kedua tingkat konsentrasi. Katanya di Aceh konsentrasi ada, padahal kan tidak ada pernah terdengar ada di sana. Selanjutnya dia juga mengatakan ingin mengkriminalisasi ucapan. Padahal kan pidana itu tindakan ya.
Pembahasan revisi sudah sejauh mana?
Masih Rapat Dengar Pendapat. Karena dinamikanya masih terusberkembang. Terakhir dialog dengan Kemenkumham, kemudian Diknas dan Kementerian Agama.