Kisah Kecil Ifthor Jama'i di Rumah Fahri (4)


Kisah Kecil Ifthor Jama'i di Rumah Fahri Hamzah
(Oleh: Bambang Prayito)

Bagian 4. Yang Mencerahkan dan Yang Diisolasi

Saya kembali ke acara curah gagasan di rumah Fahri pada setelah waktu tarawih itu. Andi Rahmat telah pupuskan nasihatnya pada para hadirin. Kalimat-kalimat nasihat Andi begitu dalam, penuh makna dan menghadirkan seluruh jiwanya dengan seluruh rasa yang ia miliki. Semua yang ia ucapkan saat itu menjadikan situasi yang yang terjadi di ruangan rumah Fahri menjadi begitu dramatis. Membuat peserta dilamun situasi; tertawa terbahak-menangis-tertawa lagi, tapi kali ini menyertakan dua kata; luar biasa.

Ketika perwakilan akhwat diminta bicara, Nur Indrawati Pary meneruskan cerita Andi. Kali ini Indra mempersaksikan peristiwa yang membuatnya sedih. Ada peristiwa kematian dalam gerakan pemuda, kata Indra. Sebuah peristiwa yang bernama kematian ukhuwah. Kita tak lagi merasakan getaran cinta yang sama seperti tahun lalu. Karena efek peristiwa konflik ini memang luar biasa; banyak diantara kita menjadi sarkas dan ketus dalam berkomunikasi. Dan itu seperti menihilkan seluruh nilai tarbiyah yang selama ini kita yakini.

Dan memang, silaturahim dan ifthor jama'i di rumah Fahri tahun ini seperti menyiratkan dengan terang; betapa mudahnya kita memutus komunikasi dan mungkin saja nilai persaudaraan diantara kita. Hati dan perasaan kita seperti robot saja yang mau diatur oleh telunjuk dan kata-kata orang. Mengaku atau tidak, sebagian bersikap seperti itu. Indra juga menambahkan; bahwa kita semua tidak tahu kapan kita keluar dari badai. Tapi dalam seluruh proses yang terjadi, syarat keberhasilan melewati ini semua adalah ketenangan. Kita harus lapang, harus ikhlas.

Saat perwakilan anak-anak muda diberikan kesempatan bicara, seorang aktivis KAMMI nan gaul tapi masih jomblo bernama Fariz angkat bicara. Kata Fariz, kalau Indra baru merasakan semacam kematian ukhuwah, maka Fariz sudah merasakan beberapa tahun ini rasa itu. Fariz yang berasal dari Bogor itu juga menyatakan sangat bersyukur sekali dengan dipecatnya Fahri Hamzah.

Karena, kata Fariz, dengan dipecatnya Fahri, maka ada tokoh yang selama ini menjadi simbol yang akan membawa kaum muda progresif dalam dakwah ini ke titik yang lebih maju. Sosok Fahri bisa membawa gerbong kaum muda dan menyadarkan yang lain; bahwa ada yang salah dengan gerakan dakwah sekarang ini. Dengan bercanda, Fariz juga mengusulkan agar sebaiknya bang Fahri jangan cepat-cepat ishlah dulu dengan oknum petinggi partai. Agar dialektika alih generasi bisa disempurnakan.

Sebelum Fahri mempersilahkan Ustadz Taufik Ridho berbicara, Fahri sempat menyampaikan beberapa pesan tentang situasi kita kedepan. Tapi, pertama-tama ia menceritakan memperkenalkan sosok Taufik Ridho. Bahwa Taufik Ridho itu jenis orangtua yang tidak emosional dengan umurnya. Saat ini beliau sudah berusia 52 tahun, tapi dari awal ia tidak pernah mengambil jarak dengan anak-anak muda. Ia bisa berkomunikasi dan berdiskusi dengan anak-anak muda secara egaliter dan akrab. Komunikasi dan hubungan egaliter itulah yang dibutuhkan oleh anak-anak muda generasi baru dakwah.

Kedua, Fahri menyatakan, bahwa apa yang ada di dalam dada kita tentang kondisi dakwah, juga berdenyut dalam dada dunia. Maka kita memerlukan jeda keheningan yang baik untuk mendengarkan suara semesta. Dan hari ini kita menyimpulkan bahwa gerakan apapun, termasuk gerakan Islam yang cenderung strukturalis itu menemukan dirinya seolah menjadi tidak relevan melawan dinamika ide.

Dan kebangkitan gerakan Islam hari ini lebih menguat dalam bentuk ide yang tak terikat oleh simbol dan struktur kelembagaan organisasi. Di sini lahir harapan karena kesadaran tentang kebangkitan itu akhirnya menjadi milik semua orang.

Ketiga, Fahri mengingatkan bahwa dalam Bulan Ramadhan ini, sukses kita ditandai oleh capaian keberhasilan bernama taqwa. Sementara taqwa jika dicari makna sederhananya berarti dewasa dan waspada. Maka taqwa bisa bermakna kematangan seorang manusia yang salah satunya ditandai dengan pengenalan diri yang dilatih terutama selama akhir Ramadhan. Siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Allah. Dan pengenalan kita pada jiwa kita dan Tuhan Semesta, akan menjadi landasan mengenal peta pergerakan. Dari sini kita mulai, dengan apa yang kita kenal dan berada dalam diri.

Yang keempat, serangkaian dengan itu Fahri mengajak melakukan perenungan yang mendalam tentang kelahiran kota Madinah, sebuah kota yang sebelumnya bernama 'Yastrib'; berarti "Yang Kotor". Kota itu juga angker dan dikenal penuh dengan penyihir pada beberapa masa sebelum kedatangan Islam; kemudian berubah menjadi kota yang memancarkan cahaya peradaban sesuai dengan namanya.

Pada awalnya Madinah adalah soal niat. Kota ini menjadi penanda lahirnya sebuah hadits yang terkenal soal niat. Kota ini adalah monumen bagaimana Rasulullah menancapkan niat hijrah di dada seluruh pengikutnya. Niat untuk mewujudkan mimpi dalam diri setiap orang. Niat ini yang menjadi etape terberat dari perjalanan besar yang rumit.

Bagaimana perjalanan Rasulullah saat hijrah ke Madinah. Harus berjalan kaki dan sesekali menunggangi tunggangannya sejauh 480 kilometer, DI tengah medan yang gersang; hamparan pasir, udara yang panas serta malam yang menggigit di sepanjang perjalanan. Ada ancaman binatang buas dan musuh yang tak kenal lelah terus mengejar dari arah belakang. Kalau niat mereka tidak benar maka kita tidak akan kuat. Kalau niat mereka dalam jama'ah dakwah melenceng, maka kita akan hilang di tengah jalan. Makanya, kota Madinah itu dijuluki 'Al-Munawarah'. Yang memancarkan cahaya. Karena sejak awal kota ini dinyalakan oleh sesuatu yang datang dari dalam. Niat dan iman yang terpancar menjadi cahaya peradaban. Maka, Fahri mengingatkan bahwa seluruh persepsi kita soal arah dan tujuan kita adalah soal niat kita sejak awal.

Kelima, Fahri menegaskan, bahwa sejak awal dalam konflik yang terjadi dengan oknum petinggi partai yang kita saksikan selama ini, itu bukan soal masalah Fahri pribadi. Ini soal sejarah yang telah dan sedang berjalan. Ini soal buku yang kita baca. Ini soal ajaran yang kita terima. Ini tentang kebenaran niat yang menyelimuti jiwa raga kita. Ini tentang kesadaran kita yang panjang dalam sejarah dakwah.

Karenanya, soal ini juga mengandung perang antara yang asli dan yang palsu. Ada yang palsu dalam niat dan keputusannya. Tapi semua yang palsu akan hilang. Yang hati dan kesadarannya palsu, akan jatuh.

Kepalsuan ini ingin merusak yang asli, semisal dengan melarang pertemuan dan silaturahim. Lalu dimana ukhuwah, persaudaraan dan cinta itu? Seperti palsu saja semuanya. Kita seperti properti dimana ada tangan-tangan tak kasat mata yang memperlakukan kita seperti robot. Hati kita berubah kesana-kemari sesuai dengan telunjuk. Cinta dan benci dalam hubungan sesama manusia seperti tak natural. Tidak alami. Dan inilah salah satu kepalsuan yang harus kita akhiri.

Yang keenam, Fahri mengajak kita semua agar di hari-hari terakhir Ramadhan ini, kita semakin mendekat kepada Allah. Mari kita merenungi dan memikirkan umat di dunia yang sedang merintih. Mari kita kuatkan niat kita kembali untuk menjadi "Ustadziyatul 'Alam". Menjadi kelompok yang mencerahkan dunia. Kita mesti membuka diri dan menghilangkan kekakuan-kekakuan berpikir dan bersikap. Jangan sampai peristiwa isolasi pada dakwah yang terjadi di belahan dunia lain, juga terjadi pada kita.

Secara tidak sadar, kita sudah diisolasi dalam beberapa hal karena sikap kita yang tidak menarik dalam hubungan politik dan sosial diantara sesama anak bangsa. Padahal ini semua tidak sesuai dengan watak dan sifat dakwah sejak awal.

(Bersambung ke Bagian 5: Ending)

*Bagian sebelumnya:
1. Bagian 1
2. Bagian 2
3. Bagian 3




Subscribe to receive free email updates: