Mengenal Jenderal - Jenderal Besar Indonesia

Jenderal Besar merupakan pangkat tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang perwira TNI (Tentara Nasional Indonesia) Angkatan Darat (AD). Pemberian pangkat ini bukan untuk sembarang orang loh, pangkat tertinggi ini hanya diberikan kepada para perwira TNI yang dianggap sangat berjasa kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam sejarah Indonesia, hanya ada tiga orang saja yang berhasil memperoleh penghargaan pangkat tertinggi dalam militer Indonesia ini. Mereka adalah Jenderal Besar Soedirman, Jenderal Besar TNI Purnawirawan Abdul Haris Nasution, dan Jenderal Besar Soeharto. Bapak-bapak TNI ini yang berhasil mendapatkan pangkat tertinggi ini.

Mengenal Jenderal - Jenderal Besar Indonesia

Tanda atau simbol dari Jenderal Besar ini adalah dengan ditandai dengan adanya lima bintang emas di pundak. Sedangkan untuk yang menggunakan tanda bintang empat adalah perwira-perwira tinggi. Nah, kali ini MAKINTAU.com akan mengajak kamu menilik sejarah dan mengenal lebih dekat dengan tiga sosok jenderal-jenderal besar yang sangat berjasa pada negeri kita ini. Simak baik-baik ya!

1. Panglima Jenderal Besar Soedirman

Panglima Jenderal Besar Soedirman
Panglima Jenderal Besar Soedirman
Jenderal Besar Raden Soedirman atau yang lebih dikenal sekarang sebagai Jenderal Sudirman adalah seorang jenderal besar Indonesia termuda dalam sejarah Indoensia. Tepatnya pada usia yang ke 31 tahun, Sudirman sudah mendapatkan gelar Jenderal Besar (Bintang Lima). Beliau lahir di Purbalingga, Jawa Tengah pada 24 Januari 1916.

Perjuangannya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia memang sangat luar biasa. Tidak salah jika dia disebut-sebut sebagai pejuang yang gigih dan perkasa. Bagaimana tidak, meskipun ia sedang menderita penyakit paru-paru parah, tetap berjuang dan bergerilya bersama para prajuritnya untuk melawan tentara Belanda pada Agresi Militer II.

Ia berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang pekerja di pabrik gula Kalibagor Banyumas dan ibunya keturunan Wedana Rembang. Dalam sejarah pendidikannya, Sudirman pernah bersekolah di Sekolah Taman Siswa, dan kemudian melanjutkan pendidikannya ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tetapi tidak sampai tamat. Selama menempuh pendidikan di sana, ia pun turut serta dalam kegiatan organisasi Pramuka Hizbul Wathan. Setelah itu ia menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap. Ia kemudian mengabdikan dirinya menjadi guru HIS Muhammadiyah, Cilacap dan pemandu di organisasi Pramuka Hizbul Wathan tersebut.

Hingga pada tahun 1944, ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA). PETA yang disponsori oleh Jepang ini menjadikan Soedirman sebagai komandan batalion di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman bersama rekannya sesama prajurit melakukan pemberontakan, hingga kemudian ia diasingkan ke Bogor.

Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1995 Soedirman melarikan diri dari pusat penahanan, kemudian pergi ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Soekarno. Ia ditugaskan untuk mengawasi proses penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas, yang dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal Badan Keamanan Rakyat.

Perang Palagan Ambarawa melawan pasukan Inggris dan NICA Belanda dari bulan November sampai Desember 1945 adalah perang besar pertama yang ia pimpin. Karena ia berhasil memperoleh kemenangan pada pertempuran ini, Presiden Soekarno pun melantiknya sebagai Jenderal.

Soedirman wafat di Magelang pada pukul 18.30 tanggal 29 Januari 1950, kabar duka ini dilaporkan dalam sebuah siaran khusus di RRI. Setelah berita kematiannya disiarkan, rumah keluarga Soedirman dipadati oleh para pelayat, termasuk semua anggota Brigade IX yang bertugas di lingkungan tersebut. Keesokan harinya, jenazah Soedirman dibawa ke Yogyakarta, diiringi oleh konvoi pemakaman yang dipimpin oleh empat tank dan delapan puluh kendaraan bermotor, dan ribuan warga yang berdiri di sisi jalan. Konvoi tersebut diselenggarakan oleh anggota Brigade IX.

Jenazah Soedirman disemayamkan di Masjid Gedhe Kauman pada sore hari, yang dihadiri oleh sejumlah elit militer dan politik Indonesia maupun asing, termasuk Perdana Menteri Abdul Halim, Menteri Pertahanan Hamengkubuwono IX, Menteri Kesehatan Johannes Leimena, Menteri Keadilan Abdoel Gaffar Pringgodigdo, Menteri Informasi Arnold Mononutu, Kepala Staff TNI AU Soerjadi Soerjadarma, Kolonel Paku Alam VIII, dan Soeharto. Upacara ini ditutup dengan prosesi hormat 24 senjata.

Jenazah Soedirman kemudian dibawa ke Taman Makam Pahlawan Semaki dengan berjalan kaki, sementara kerumunan pelayat sepanjang 2 kilometer (1.2 mil) mengiringi di belakang. Ia dikebumikan di sebelah Oerip setelah prosesi hormat senjata. Istrinya menuangkan tanah pertama ke makamnya, lalu diikuti oleh para menteri. Pemerintah pusat memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung di seluruh negeri, dan Soedirman dipromosikan menjadi jenderal penuh. Djenderal Major Tahi Bonar Simatupang terpilih sebagai pemimpin angkatan perang yang baru. Memoar Soedirman diterbitkan pada tahun itu, dan rangkaian pidato-pidatonya juga diterbitkan pada tahun 1970.

2. Jenderal Besar A.H Nasution

Jenderal Besar A.H Nasution
Jenderal Besar A.H Nasution
Jenderal Besar AH Nasution merupakan Jenderal Besar yang dikenal sebagai Jenderal yang ahli dalam perang gerilya. Beliau lahir pada tanggal 3 Desember 1918 di Kotanopan, Sumatera Utara. Pengalamannya sebagai ahli perang gerilya datang setelah persetujuan Renville 17 Januari 1948. Saat itu pasukan Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah. Nasution saat itu sebagai Wakil Panglima Besar Angkatan Perang. Tentara RI ketika itu memperkirakan Belanda akan mengulangi agresi militer I. Nasution pun menyusun konsep perlawanan rakyat semesta dengan inti perang gerilya.

Pada agresi militer II, Nasution diangkat sebagai Panglima Tentara di Jawa. Bermarkas di sebuah desa di Prambanan dan Kulonprogo, Nasution mengeluarkan berbagai instruksi pelaksanaan perang gerilya. Setelah menjadi KSAD, Nasution sempat dinonaktifkan akibat peristiwa 17 Oktober 1952. Nasution diaktifkan kembali pada 1955 dan berjuang melawan berbagai pemberontakan.

Jenderal Nasution dikenal sebagai pengarang buku produktif. Dia banyak menulis buku di antaranya 11 jilid buku Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Bukunya Pokok-Pokok Gerilya diterjemahkan ke berbagai bahasa asing. Konon, Vietcong belajar dari buku Nasution saat perang melawan Amerika Serikat di Vietnam.

Nasution juga menulis memoar berjudul Memenuhi Panggilan Tugas sebanyak 8 jilid. Nasution meninggal dunia pada 5 September 2000. Jenazahnya dimakamkan di TMP Kalibata.

3. Jenderal Besar Soeharto

Jenderal Besar Soeharto
Jenderal Besar Soeharto
Soeharto adalah Presiden kedua Republik Indonesia. Beliau lahir di Kemusuk, Yogyakarta, tanggal 8 Juni 1921. Bapaknya bernama Kertosudiro seorang petani yang juga sebagai pembantu lurah dalam pengairan sawah desa, sedangkan ibunya bernama Sukirah.

Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Setelah Gerakan 30 September, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang bertanggung jawab dan memimpin operasi untuk menumpasnya. Operasi ini menewaskan lebih dari 500.000 jiwa.

Dia dipuji sebagai ahli strategi militer. Beberapa strategi militernya yang menonjol antara lain pada tahun 1949, di bawah komandonya Tentara Nasional Indonesia melakukan serangan dan menguasai kota Yogyakarta dari tangan Belanda selama 6 jam, yang dikenal dengan Serangan Oemoem 1 Maret.

Keberhasilan serangan ini menunjukkan kepada internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia masih ada dan memiliki kemampuan tempur untuk melawan agresi Belanda yang ingin menguasai RI, dan tidak mau mengakui kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.

Pada tahun 1963 saat pembebasan Irian Barat, Pak Harto menjabat sebagai Panglima Komando Mandala di masa kepemimpinan Presiden Soekarno). Pak Harto juga mengukir jasa besar ketika ia memegang kendali sebagai Penglima Mandala.

Dengan kedudukannya, ia berhasil menjalankan operasi militer untuk pembebasan Irian Barat dari cengkraman penjajahan Belanda, sehingga sejak 1 Mei 1963 wilayah tersebut kembali ke pangkuan RI.

Pada tahun 1965, saat peristiwa G30S sebagai Panglima Kostrad, Pak Harto berperan dalam mengambil alih situasi keamanan. Peristiwa itu juga melambungkan nama Pak Harto hingga kemudian menjabat sebagai presiden RI. Kemampuan sebagai ahli strategi militer itu membuat kariernya cepat menonjol. Pak Harto menjabat sebagai presiden hingga 1998, setahun setelah dianugerahi jenderal besar. Dia jatuh setelah memimpin sejak 1966. Setelah kejatuhannya, banyak yang meragukan peran-perannya dalam strategi militer termasuk saat Serangan Oemoem 1 Maret. Beberapa versi menyebut, serangan itu adalah andil Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Presiden RI Kedua HM Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008. Jenderal Besar yang oleh MPR dianugerahi penghormatan sebagai Bapak Pembangunan Nasional, itu meninggal dalam usia 87 tahun setelah dirawat selama 24 hari (sejak 4 sampai 27 Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta.

Itulah sejarah tentang 3 jenderal besar yang pernah kita miliki. Kita harus berterimakasih kepada 3 jenderal tersebut dan kepada seluruh pahlawan-pahlawan tanah air yang berjuang dengan segenap tenaga dan kemampuan untuk merebut serta mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Subscribe to receive free email updates: