Di Bawah Lindungan Prabowo






Saya kira, pertemuan Jokowi dengan Prabowo yang terjadi kemarin merupakan babak baru di pemerintahan ini. Babak yang bisa diperkirakan akan terjadi, tapi tidak secepat ini.



Siapapun yang belajar tentang politik elit Indonesia mutakhir tentu bisa memahami bahwa pertemuan yang dilakukan oleh Jokowi dengan Prabowo, jelas sebuah sinyal politik penting akan haluan politik elit yang akan segera berubah. Kalau benar bahwa pertemuan tersebut semata hanya soal ketua ikatan pencak silat dunia dengan Presiden, tentu tidak perlu diikuti dengan pelantang sinyal lain: pertemuan elit KMP. Pertemuan tersebut kalau dibaca akan jelas menyatakan: "Kami dukung sepenuhnya manuver Jokowi yang mendekat ke kami." Jelas. Gamblang.



Jokowi tengah membelot dari dukungan politik lamanya Mega-Paloh, menuju ke perlindungan politik baru: Prabowo-Hatta-Ical. Manuver ini mungkin sesuai dengan kasak-kusuk bahwa Jokowi tergencet dengan kekuatan politik Mega-Paloh yang merugikan bangunan awal kekuasaannya: pemilihan para menteri, Jaksa Agung, dan tentu saja Kapolri.



Dari sisi permainan politik, ini manuver paling berani yang dilakukan oleh seorang Presiden yang kapiran tanpa dukungan penuh partai politik. Ia mengalami kebuntuan praktek politik lalu menempuh jalur paling berisiko. Dan manuver itu akan diikuti perubahan konstelasi peta elit politik di Indonesia.



Sebetulnya apa yang dilakukan Jokowi masuk akal walaupun cenderung telat. Mari kita simak batu pal perjalanan elit politik pasca-terpilihnya Jokowi.



KMP segera menyelesaikan pembagian peran dan kekuasaannya di legislatif. Jeda dari pemilihan Presiden ke pimpinan DPR memang tidak panjang, namun mestinya saat itu, kubu Jokowi--saya masih harus menyebut di fase ini dengan istilah 'Kubu Jokowi'--bisa melakukan manuver penting mendekati mereka. Karena toh pada akhirnya dalam pemilihan dan penempatan menteri, Jokowi nisbi tidak independen juga dan mengakomodasi banyak kepentingan di sekitarnya. Hal utama dan pertama yang ia langgar dari janji kampanyenya: bahwa tidak ada bagi-bagi kekuasaan.



Kubu Jokowi--sekali lagi yang saat itu masih solid--juga telat dan seperti kehabisan taktik untuk mendulang keuntungan politik dari retaknya soliditas KMP. Kasus PPP, Golkar, dan termutakhir adalah menjelang pergantian kekuasaan di PAN, tidak bisa dimaksimalkan oleh kubu Jokowi (termasuk JK-Mega-Paloh). Padahal setidaknya jika kubu Jokowi piawai, pasa kasus kericuhan politik di PPP dan Golkar, bisa membawa keuntungan politik bagi kubu Jokowi. Mestinya kubu Jokowi saat itu bisa belajar dari cara SBY 'menangani' perpecahan PKB versi Gus Dur dan versi Muhaimin Iskandar.



Tapi semua serba-telat dan tibalah kita di derasnya arus politik hari ini. Merapatnya Jokowi ke KMP tentu akan membawa dampak berbeda dengan pengalaman elit-elit politik sebelumnya. Perginya Jokowi dari dekapan Mega-Paloh ke perlindungan Prabowo-Hatta-Ical, membuat gegeran politik ini bakal lama, dan Presiden langsung berada di pusaran persoalan. Hal ini tidak pernah terjadi di era SBY. Sebab gegeran politik di era SBY selalu bisa membuat mantan Presiden itu seakan berada di luar inti kemelut politik. Sekalipun semua orang tahu bahwa semua kemelut itu berada di bawah kendalinya.



Tentu saja selain proses jegal-menjegal bakal lebih lama, ada harga yang harus dibayar oleh Jokowi. Itu hal yang lumrah. Justru yang tidak lumrah itu adalah slogan tidak ingin bagi-bagi kekuasaan. Makanya slogan itu langsung dilanggar karena menyalahi 'hukum' elit politik di Indonesia.



Secara perhitungan di atas papan catur, menempelnya Jokowi ke KMP jauh lebih menguntungkan Jokowi karena persentase KMP lebih besar di parlemen. Belum lagi kalau Jokowi bisa mengajak PKB dan Hanura, dan cukup 'mengisolasi' PDIP dan Nasdem.



Kalau soal barter dan bagi-bagi kekuasaan, ada banyak ruang kekuasaan yang bisa dibagi dan dibarter. Jokowi punya banyak hal dan kekuasan politik yang bisa dijadikan alat tukar politik. Namun yang tidak bisa diperkirakan adalah, apakah intervensi KMP terhadap Jokowi lebih longgar atau lebih ketat dibanding Mega-Paloh? Ini masih belum bisa saya jawab.



Jadi, kita sebagai rakyat, setidaknya harus mulai melakukan persiapan, nanti ke mana-mana ada Fahri Hamzah di dekat Jokowi. Ada Fadli Zon yang akan membela keputusan-keputusan politik Jokowi secara terbuka.



Termasuk, mungkin Iqbal Aji Daryono akan runtang-runtung dengan Jonru. Dunia ini menarik karena terbuka terhadap segala kemungkinan, bukan?



Drama ini masih lama. Mungkin akan menguntungkan dari sisi pertunjukan di panggung politik. Tapi mungkin tidak dari sisi kepentingan rakyat biasa.



*dari wall fb Puthut Ea








Subscribe to receive free email updates: