Haruskah Kita Masih Percaya, Jika Sejak Awal KPK Sudah Cacat?





KPK, Cacat Sejak Awal.....



Presiden Joko Widodo membentuk Tim 7 untuk mengatasi kisruh KPK vs Polri. Tindakan ini bagus dan sah-sah saja. Tapi berharap banyak dari hasil kerja Tim 7 ini, kemungkinan besar akan kecewa.



Persoalan utamanya bersumber pada struktur personalia di KPK itu sendiri.



Banyak mungkin yang sudah lupa. KPK dibentuk dan disahkan melalui UU pada tahun 2003 oleh Presiden Megawati Soekaroputri.



KPK dibentuk antara lain karena lembaga penegak hukum yang diharapkan membasmi korupsi yaitu Kepolisian dan Kejaksaan, sudah tidak dipercaya oleh seluruh rakyat Indonesia.



Namun ironisnya, setelah KPK terbentuk yang dijadikan ujung tombak untuk menangkap koruptor dan membasmi korupsi, tetap saja personalia dari Kepolisian dan Kejaksaan.



Masih ingat kasus Cicak-Buaya ?. Istilah ini dipopulerkan Susno Duadji ketika dia berseteru dengan KPK dalam skandal Bank Century. Susno yang ketika itu menjabat Kabareskrim Mabes Polri, secara tersirat meremehkan para penyidik KPK ketika hendak memeriksanya.



Susno mengibaratkan para penyidik KPK yang rata-rata berpangkat melati, ingin melawannya yang berpangkat bintang tiga.



Maknanya mana mungkin seekor cicak menerkam buaya, seekor binatang buas !.



Selain ungkapan Susno, berbagai pernyataan satire juga muncul. Di antaranya, "jeruk makan jeruk", ketika seorang polisi KPK mau menangkap polisi dari institusi Polri,



Kepemimpinan di KPK, juga kurang lebih sama. Diawali oleh petinggi Polri (Taufiqurohman Ruki) kemudian kejaksaan (Antasari Azhar).



Tiga tahun terakhir ini, terjadi pergantian. KPK dipimpin oleh mantan pengacara (Abraham Samad).



Namun yang menjadi persoalan, jika benar para pengacara merupakan profesional yang ikut menyuburkan berkembangnya jaringan Mafia Peradilan, yah pergantian itu tidak berarti apa-apa.



Oleh sebab itu siapapun yang berharap KPK menjadi sebuah lembaga terpercaya dalam pemberantasan korupsi, akan tetap bingung - bila struktur personalia di sana, tidak dirubah - sebab KPK terus aktif, tapi hasilnya koq nggak memuaskan. Tidak seperti yang diharapkan.



Jangan pula orang berharap seorang penyidik KPK bisa segampang memanggil Anas Urbaningrum ketika harus menghadapi Irjen Budi Gunawan.



Ajudan Budi Gunawan saja mungkin satu angkatan dengan si penyidik atau mereka berpangkat sama.



Bedanya polisi KPK sedang ber--dwi fungsi.



Atau akan janggal dan keliru kalau di tengah hiruk pikuk ini ada yang berharap media mampu berperan sebagai sosial kontrol yang efektif.



Publik mungkin lupa media-media main stream saat ini dikuasai oleh para pihak yang punya kepentingan berbeda dengan publik.



Mana mungkin Metro TV dan TVOne bisa bersatu menyuarakan Indonesia Satu, Indonesia Hebat ataupun RI-- Ratna Dhoemilah Satu



Nah sepanjang mereja asih berseteru, opini publik di media pun gtak akan pernah berseiring.



Konkrittnya apa mungkin Metro TV bisa mengeritik Surya Paloh dan Partai Nasdem.



Kapan bisa terjadi TVOne bisa memberitakan secara apa adanya tentang ARB alias Ical dalam kasus Lapindo dan Bumi Resources.



Demiikian pula Tempo yang tiba-tiba mengkritisi kebijakan Amerika Serikat di Indonesia, ataupun membedah "konflik" SBY dan Sri Muyani. Lalu soal Sri Mulyani sebagai pejabat teras di Bank Dunia.



Demikian pula jangan berharap Kompas bisa mengoreksi kebijakan Vatikan atau Investor Daily dan Berita Satu TV - khusunya sengketa Lippo Group dengan pemilik pay-tv ASTRO yang bernilai triliunan rupiah.



Semakin tidak logis lagi kalau Joko Widodo mau disalahkan karena tidak berani berkata "tidak" kepada Megawati Soekarnoputri. Kalau sekedar mau mmembentur-benturkan mungkin bisa.



Kepentingan yang tumpang tindih di republik ini sudah terlalu marak. Sehingga ketiika KPK dibentuk dengan tujuan yang mulia, tidak bisa lepas dari tarik menarik, kepentingan.



Para pemilik kepentingan itu, sudah menggunakan baju necis yang tidak tembus pandang.



Hasilnya begini .... publik tidak sadar, KPK itu terbentuk atas tarik menarik kepentingan.



Para pebisnis asing, berharap mereka bisa berinvesttasi di Indonesia sekiranya ada lembaga yang bisa mencegah sogok menyodok (gratifikasi) dan sebagainya. Secara politik, Indonesia menjawabnya dengan pembentukan KPK.



Entah karena terburu-buru, yang pasti sejak awal KPK sudah salah atau cacat pembentukannya.



KPK tetap kita perlukan, jangan dibubarkan.



Namun semua pihak hendaknya realistis dan jernih berpikir.



Panitia Seleksi DPR--RI juga jangan dibiarkan memilih komisioner yang abal-abal.



KPK masih dibutuhkan. Tapi rakyat tidak butuh KPK yang dipimpin sosok yang bikin runyam seperti saat ini. [mdr/fs]




Subscribe to receive free email updates: