Oleh: Dr. Adian Husaini*
UMAT Islam Indonesia kembali digemparkan dengan kejadian pelecehan terhadap Kitab Suci al-Quran. Kali ini peristiwa itu terjadi di Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB) Padang. Dosen berinisial Mk, itu akhirnya diberhentikan pihak kampus.
Pada 9 April 2015, dosen yang bersangkutan sudah menandatangani surat perjanjian dengan pihak kampus. Ia berjanji: (1) menyesali perbuatan menginjak al-Quran di depan mahasiswa yang dilakukannya pada 1 April 2015, dan (2) tidak akan mengulangi lagi perbuatan tersebut dan sejenisnya, kapan pun dan di mana pun.
Pada titik ini kita bersyukur, si dosen yang lahir tahun 1985 itu menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Tetapi, pada sisi lain, kita perlu menelaah masalah ini dengan cermat, sebab peristiwa seperti ini – yakni pelecehan al-Quran bahkan kejadian menginjak Kitab Suci al-Quran – bukan yang pertama kali terjadi.
Dosen UMSB itu sebenarnya hanyalah salah satu korban dari pemikirannya sendiri, bahwa Mushaf al-Quran yang tercetak itu bukanlah sesuatu yang suci. Al-Quran yang suci itu ada di Lauh al-Mahfud. Sekedar menyegarkan ingatan kita kembali, ada baiknya kita telusuri penyebaran gagasan “desakralisasi al-Quran” selama 15 tahun terakhir ini.
Tahun 2009 lalu, saya pernah menulis satu catatan tentang penistaan al-Quran yang dilakukan oleh sejumlah akademisi di Perguruan Tinggi Islam. Dalam satu acara seminar di Mataram NTB, November 2009, seorang tokoh menceritakan, bahwa ia sempat berdiskusi dengan seorang mahasiswa yang bertanya kepadanya: ”Apakah Al-Quran itu benar-benar suci atau dianggap suci?” Mendengar pertanyaan itu saya menjawab dengan agak bercanda, ”Tanyakan pada si mahasiswa, apakah dia benar-benar manusia atau dianggap manusia?”
Kita paham, bahwa salah satu program sekularisasi adalah upaya desakralisasi, termasuk dalam upaya deskralisasi al-Quran. Kaum Liberal ini menyatakan, bahwa al-Quran bukan kitab suci. Majalah GATRA edisi 1-7 Juni 2006 memberitakan, bahwa pada tanggal 5 Mei 2006, seorang dosen mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, di hadapan 20 mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Surabaya, menerangkan posisi Al-Quran sebagai hasil budaya manusia. “Sebagai budaya, posisi Al-Quran tidak berbeda dengan rumput,” ujarnya. Ia lalu menuliskan lafaz Allah pada secarik kertas sebesar telapak tangan dan menginjaknya dengan sepatu. “Al-Quran dipandang sakral secara substansi, tapi tulisannya tidak sakral,” katanya setengah berteriak.
Tahun 2004, ada satu tesis master di Universitas Islam Negeri Yogyakarta (Dulu: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), yang secara terang-terangan juga menghujat Kitab Suci al-Quran. Tesis itu sudah diterbitkan dalam sebuah buku berjudul: “Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan”, dan diberi kata pengantar dua orang doktor dalam bidang studi Islam, dosen di pasca sarjana UIN Yogyakarta. Di dalam buku ini, misalnya, kita bisa menikmati hujatan terhadap al-Quran seperti kata-kata berikut ini:
“Setelah kita kembalikan wacana Islam Arab ke dalam dunianya dan melepaskan diri kita dari hegemoni budaya Arab, kini saatnya, kita melakukan upaya pencarian pesan Tuhan yang terperangkap dalam Mushaf Utsmani, dengan suatu metode dan pendekatan baru yang lebih kreatif dan produktif. Tanpa menegasikan besarnya peran yang dimainkan Mushaf Utsmani dalam mentransformasikan pesan Tuhan, kita terlebih dulu menempatkan Mushaf Utsmani itu setara dengan teks-teks lain. Dengan kata lain, Mushaf itu tidak sakral dan absolut, melainkan profan dan fleksibel. Yang sakral dan absolut hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya, yang masih dalam proses pencarian. Karena itu, kini kita diperkekenankan bermain-main dengan Mushaf tersebut, tanpa ada beban sedikitpun, beban sakralitas yang melingkupi perasaan dan pikiran kita.” (Lihat buku Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan” (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hal. 123).
Dalam sebuah artikel berjudul “Merenungkan Sejarah Alquran” yang dimuat dalam buku Ijtihad Islam Liberal, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2005), disebutkan:
“Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa AlQuran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis sama seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan AlQuran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik (tipu daya), dan rekayasa.”
Jadi, di berbagai penerbitan mereka, kalangan liberal dan sejenisnya memang sangat aktif dalam menyerang al-Quran, secara terang-terangan. Mereka sedang tidak sekedar berwacana, tetapi aktif menyebarkan pemikiran yang destruktif terhadap al-Quran. Itu bisa dilihat dalam buku-buku, artikel, dan jurnal yang mereka terbitkan. Sebagai contoh, Jurnal Justisia Fakultas Syariah, Edisi 23 Th XI, 2003, memuat tulisan yang secara terang-terangan menyerang al-Quran dan sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam:
“Dalam studi kritik Qur’an, pertama kali yang perlu dilakukan adalah kritik historisitas Qur’an. Bahwa Qur’an kini sudah berupa teks yang ketika hadir bukan bebas nilai dan tanpa konteks. Justru konteks Arab 14 abad silam telah mengkonstruk Qur’an. Adalah Muhammad saw, seorang figur yang saleh dan berhasil mentransformasikan nalar kritisnya dalam berdialektika dengan realitas Arab. Namun, setelah Muhammad wafat, generasi pasca Muhammad terlihat tidak kreatif. Jangankan meniru kritisisme dan kreativitas Muhammad dalam memperjuangkan perubahan realitas zamannya, generasi pasca-Muhammad tampak kerdil dan hanya mem-bebek pada apa saja yang asalkan itu dikonstruk Muhammad. Dari sekian banyak daftar ketidakkreatifan generasi pasca-Muhammad, yang paling mencelakakan adalah pembukuan Qur’an dengan dialek Quraisy, oleh Khalifah Usman Ibn Affan yang diikuti dengan klaim otoritas mushafnya sebagai mushaf terabsah dan membakar (menghilangkan pengaruh) mushaf-mushaf milik sahabat lain. Imbas dari sikap Usman yang tidak kreatif ini adalah terjadinya militerisme nalar Islam untuk tunduk/mensakralkan Qur’an produk Quraisy. Karenanya, wajar jika muncul asumsi bahwa pembukuan Qur’an hanya siasat bangsa Quraisy, melalui Usman, untuk mempertahankan hegemoninya atas masyarakat Arab [dan Islam]. Hegemoni itu tampak jelas terpusat pada ranah kekuasaan, agama dan budaya. Dan hanya orang yang mensakralkan Qur’anlah yang berhasil terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.”
Dalam Jurnal Justisia, Edisi 23 Th XI/2003 ini bisa dibaca berbagai artikel dengan judul-judul yang melecehkan al-Quran dan menghina para sahabat Nabi Muhammad saw, seperti “Qur’an ‘Perangkap’ Bangsa Quraisy”, “Pembukuan Qur’an oleh Usman: Sebuah Fakta Kecelakaan Sejarah”, “Kritik Ortodoksisme: Mempertanyakan Ketidakkreativan Generasi Pasca Muhammad”, dan sebagainya.
Belum lama ini juga sudah beredar satu buku berjudul Arah Baru Studi Ulum Al-Quran: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya karya seorang dosen STAIN di Jawa Timur, yang juga doktor lulusan UIN Yogyakarta. Penulisnya adalah juga penulis buku Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan.
Tentang Mushaf Usmani, buku ini menulis: ”Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa proses pembukuan Al-Quran diwarnai campur tangan Utsman dalam posisinya sebagai khalifah, yang oleh Abu Zayd disebut sebagai ”dekrit” khalifah.” (hal. 169)… ”Maka tidak bisa disalahkan kiranya jika diasumsikan bahwa di balik keputusan khalifah Utsman tersebut mengandung adanya unsur ideologis, terutama ideologi pemilik bahasa yang dipilih menjadi bahasa Mushaf Usmani.” (hal. 170)…”Lebih-lebih, Khalifah Utsman telah menghilangkan dan menyensor bahkan memusnahkan korpus kitab-kitab individu, seperti milik Ibnu Mas’ud dan Siti Hafsah. Ini jelas berimplikasi pada pemusatan pembacaan hanya pada Mushaf Usmani. Jika boleh memberi istilah, Mushaf Usmani ini telah menjadi ”penjara” bagi pesan rahasia Tuhan. Penjara yang dimaksud di sini adalah ideologi Quraisy yang melingkupinya, dan bahkan antara Quraisy dan al-Qur’an (Mushaf Usmani) merupakan dua anak kembar yang saling bersanding dan dua cabang yang berakar sama, yang dengannya mereka mencoba menancapkan hegemoninya.” (hal. 172).
Tentu saja tuduhan-tuduhan keji terhadap Sayyidina Utsman bin Affan sangat tidak mendasar. Fakta sejarah menunjukkan, bahwa dalam kodifikasi Mushaf Utsmani sudah mendapat pesertujuan dari semua sahabat, termasuk Abdullah bin Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib. Tidak ada seorang sahabat Nabi pun yang menentang tindakan Utsman r.a., karena memang kodifikasi Al-Quran itu bukan dilakukan untuk kepentingan politik atau kesukuan. Karena itulah, sepanjang sejarah Islam, meskipun terjadi berbagai konflik politik, tidak pernah terpikir suatu rezim untuk membuat Al-Quran baru. Betapa pun kerasnya konflik antara Ali dan Mu’awiyah, keduanya tetap menjadikan Mushaf Utsmani sebagai pedoman. Setelah Abbasiyah berkuasa, mereka juga tidak mengganti Mushaf Utsmani dengan Mushaf baru. Maka, tuduhan-tuduhan keji terhadap Sayyidina Utsman r.a. dan Mushaf Utsmani sebenarnya sangat tidak ilmiah dan hanya berlandaskan kebodohan dan kebencian.
Tetapi, para orientalis memang tidak pernah berhenti untuk menyerang Al-Quran dengan berbagai cara. Ironisnya, cara-cara orientalis semacam ini sekarang dilakukan oleh beberapa akademisi dari kalangan Perguruan Tinggi Islam sendiri. Bahkan, tuduhan-tuduhan tidak beradab terhadap Khalifah Utsman bin Affan r.a. itu juga kemudian dialamatkan kepada Imam al-Syafii rahimahullah. Dengan menjiplak begitu saja pendapat pemikir liberal asal Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd, tanpa sikap kritis sedikit pun, penulis buku itu menuduh Imam Syafii:”Al-Quran versi bahasa Quraisy inilah yang diperjuangkan oleh Imam Syafi’i sebagai wahyu Tuhan yang layak dihormati hingga pada teks tulisannya, sebagai konsekuensi logis di mana dan dalam suku apa ia dilahirkan.” (hal. 170).
Tentu sangatlah tidak beradab memberikan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar kepada seorang ulama besar seperti Imam Syafii, yang begitu besar jasanya kepada umat Islam. Apalagi memberikan tuduhan dan prasangka negatif kepada sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam . Umat Islam sangat mencintai Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam dan tentu, umat Islam juga sangat mencintai para sahabatnya dan juga pelanjut risalahnya, yaitu para ulama yang alim dan shalih.
Berbagai kasus pelecehan bahkan penginjakan al-Quran yang terjadi di sejumlah Perguruan Tinggi Islam itu menunjukkan semakin mendesaknya mahasiswa Muslim diberikan mata kuliah yang benar tentang “Filsafat Ilmu” atau “Konsep Ilmu dalam Islam”. Dosen UMSB itu yang menginjak al-Quran itu juga dosen mata kuliah “Filsafat Ilmu”. Dosen itu pun tampak menjadi korban dari pelajaran Filsafat Ilmu yang dipelajari dan diajarkan kepada mahasiswanya, sehingga terjebak pada pikirannya yang keliru.
Beberapa waktu lalu, saya dan sejumlah dosen di Universitas Ibn Khaldun Bogor sudah menerbitkan buku “Filsafat Ilmu: Perspektif Islam dan Barat” yang menjelaskan perbedaan konsep yang mendasar antara Islam dan Barat tentang ilmu. Buku ini diakhiri pembahasan tentang adab ilmu. Adab keilmuan inilah yang seharusnya dijaga dalam dunia ilmiah di lingkungan Perguruan Tinggi Islam. Tindakan menghujat dan melecehkan Al-Quran, sahabat, dan ulama, tidak patut dilakukan oleh seorang Muslim, meskipun dengan mengatasnamakan kebebasan ilmiah dan sikap kiritis.
Huruf hijaiyyah yang digunakan untuk menulis Kalamullah dalam al-Quran telah menjadi suci, karena menulis Kalam Yang Maha Suci. Kain merah putih yang disusun sebagai bendera Indonesia berbeda sifatnya dengan kain merah putih biasa. Gambar burung garuda yang dijadikan simbol Negara Indonesia telah “disakralkan” dalam kadar tertentu, dan tidak boleh diganti dengan burung emprit. Si dosen itu pun tidak akan berani menginjak-injak tulisan nama ayahnya, di depan ayahnya, dengan mengatakan, bahwa tulisan itu tidak sama dengan ayahnya. Tulisan itu tidak suci dan hanya simbol!
Memang, huruf itu simbol. Tapi, janganlah kita bermain-main, apalagi melecehkan simbol-simbol kesucian. Syukurlah, kasus pelecehan al-Quran di UMSB itu segera ditangani dengan cepat dan pelakunya mengakui kesalahannya. Semoga Allah tidak sampai menurunkan musibah “lumpur abadi” dan sejenisnya di Sumatra Barat. Innallaaha ghafurun rahiimun. Allah Maha Pengampun, Allah Maha Penyayang.*
Bogor, 24 April 2015
*Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com
Sumber: Hidayatullah.com