Pelaksanaan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau yang lebih dikenal dengan dana aspirasi DPR adalah wujud dari pelaksanaan tugas konstitusi DPR yang sudah diatur dalam UU maupun sumpah jabatan anggota DPR. Penolakan terhadap dana aspirasi berarti menolak konstitusi dan melanggar sumpah jabatan DPR.
"Tekad DPR hanya melaksanakan UU.UU telah mengatur untuk mendengar aspirasi masyarakat. Itu juga merupakan pelaksanan dari sumpah DPR. Dalam UU MD3 dan sumpah jelas ditegaskan kewajiban anggota DPR adalah membela konstituen.Jika tidak melaksanakan itu jelas pelanggaran konstitusi dan melanggar sumpah sebagai anggota DPR," kata Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, di Gedung DPR, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta (Selasa, 16/6).
Selama ini, menurut Fahri, memang tidak ada mekanisme bagi anggota DPR untuk menjalankan aspirasi konstituennya. Program UP2DP akan memberi ruang bagi anggota DPR untuk membela konstituennya dan konstituen bisa mendapatkan hak-hak yang di butuhkan masyarakat didapil masing-masing.
"Kalau kita bandingkan DPR di era orde baru yang memang diatur untuk tidak berhubungan dengan konstituen dan hanya pulang 5 tahun sekali ke dapilnya menjelang pemilu, DPR di era reformasi ini diatur agar kembali ke dapilnya sesering mungkin demi menyerap aspirasi masyarakat. Ketika pulang ini masyarakat pun bisa menagih janji-janji anggota DPR demi memperjuangkan kepentingan masyarakatnya," tambahnya.
Kalau DPR tidak bisa membela kepentingan masyarakat di dapilnya, maka menurut Fahri apa gunanya ada daerah pemilihan dan janji yang dilontarkan. "Ini kan agar aspirasi masyarakat ada salurannya yang diatur dalam UU. Ini kan sama saja dengan usulan anggaran lainnya dari kementrian maupun lembaga negara lainnya. Mereka juga ajukan usul kepada DPR, lantas kenapa masyarakat tidak boleh mengajukan usul?,: ujarnya heran.
Cara ini, menurutnya, justru akan lebih efisien dan sesuai kebutuhan masyarakat. Lagi pulasekarang memang trend dalam sistem penganggaran dan pembiayaan pembangunan di negara-negara demokrasi di seluruh dunia sudah seperti itu.
"Negara demokrasi saat ini menganut sistem pembiayaan dan penganggaran,earmark budgeting, atau 'penandaan kuping' dimana anggota parlemen setelah pulang ke dapil menandai program-program yang dibutuhkan dapilnya," ujar Wasekjen PKS ini lagi.
Ditanyakan mengenai kekhawatiran bahwa dana aspirasi ini rawan di korupsi, Fahri pun mengingatkan kembali kasus-kasus korupsi yang terjadi terkait anggaran dimana anggaran yang dikeluarkan yang tidak sesuai kebutuhan masyarakat tapi masih terjadi korupsi. Dia pun mengingatkan banyaknya pembangunan sekolah, rumah sakit,laboratorium yang tidak pernah diminta masyarakat tapi masih dikorupsi juga.
"Ingat kan kasus mafia anggaran? Banyak rumah sakit, sekolah, pasar, bandara dan lainya tidak pernah diminta masyarakat tapi dibangun. Terbukti dikorupsi juga. Ini karena semua diatur dari pusat. Kalau dana aspirasi ini merupakan permintaan langsung masyarakat dan pelaksanaannya justru mudah diawasi masyarakat. Jumlah batas atas Rp 20 miliar ini mudah mengawasinya karena masyarakat tahu bahwa setia anggota DPR memiliki alokasi anggaran di APBN untuk dilaksanakan," tegasnya.
Anggota DPR pun bisa mengawasi langsung pelaksanaan program dana ini sehingga semua menjadi transparan.
"Coba lihat di google, jembatan rusak. Ada ribuan artikel terkait hal ini dimana jembatan yang tidak memadai dilalui anak-anak, masyarakat menyambung nyawa. Masyarakat tidak tahu harus meminta kemana. Kalau minta ke pemda dibilang anggarannya terlalu besar, APBD tidak cukup. Yang bisa menerobos itu yah pusat. Makanya dana ini sangat aspiratif demi kepentingan publik,” paparnya lagi,
Dana ini jelas Fahri lagi bukan dana yang dipegang anggota DPR. Ini semua adalah uang rakyat yang ada di bendahara negara dimana rakyat kemudian diberikan mekanisme untuk mengambil dan menggunakan uangnya sendiri sesuai kebutuhan melalui program ini.
"Kalau dikhawatirkan korupsi, justru ini adalah anggaran yang nomenklaturnya jelas dan gampaung diaduit.Lagipula ada aparat penegak hukum sampai ke pelosok," imbuhnya.
Nantinya dengan bergulirnya program ini maka akan ketahuan siapa anggota DPR yang aspiratif memperjuangkan rakyatnya atau tidak karena program ini jelas ini adalah cara menangkap aspirasi rakyat yang jitu, terbuka dan transparan.
"Terakhir jangan lupa anggota DPR, justru kemudian jadi aktif mengunjungi dapilnya. Rakyat pun mudah menagih janji anggota DPR," tandasnya. [ysa]
Sumber: RMOL