Imam Al-Ghazali: Jalan Untuk Mengetahui Aib Diri Sendiri


Jalan untuk Mengetahui Aib Diri Sendiri
(Imam Al-Ghazali, Kitab Ihya' Ulumuddin)

Ketahuilah bahwa apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba maka Dia memperlihatkan kepadanya berbagai aib dirinya. Barangsiapa yang penglihatannya sangat tajam maka ia akan mengetahui berbagai aibnya, dan apabila telah mengetahui berbagai aib maka ia akan dapat melakukan terapinya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui aib diri sendiri. Kuman di seberang lautan nampak gajah di pelupuk mata tidak kelihatan.

Barangsiapa yang ingin mengetahui aib dirinya sendiri maka ada empat jalan:

Pertama: Hendaklah ia duduk di hadapan seorang Syaikh yang mengetahui berbagai aib jiwa, dan jeli terhadap berbagai cacat yang tersembunyi. Kemudian guru dan Syaikh tersebut memberitahukan berbagai aib dirinya dan jalan terapinya. Tetapi keberadaan orang ini di zaman sekarang sulit ditemukan.

Kedua: Hendaklah ia meminta kepada seorang kawan yang jujur, beragama dan “tajam penglihatan” menjadi pengawas dirinya untuk memperhatikan berbagai keadaan dan perbuatannya, kemudian menunjukkan kepadanya berbagai akhlaq tercela, perbuatan yang tidak baik dan aibnya, baik yang batin ataupun yang zahir. Hal inilah yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang cerdas dan para ulama besar.

Umar Bin Khathab ra berkata: "Semoga Allah merahmati seseorang yang menunjukkan aib diriku". Umar ra biasa bertanya kepada Salman Al-Farisi tentang aib dirinya. Ketika Salman datang kepadanya, Umar bertanya: Apa yang telah kamu dengar tentang diriku yang tidak kamu sukai? Salman tidak bersedia mengatakannya tetapi setelah didesak terus oleh Umar akhirnya ia mengatakan: “Aku mendengar bahwa Engkau mengumpulkan dua macam kuah dalam satu hidangan, dan engkau punya dua jubah: satu jubah untuk siang hari dan satu jubah lagi untuk malam hari.” Umar ra bertanya: “Apakah ada lagi yang kamu dengar selain itu?” Salman menjawab: ”Tidak.” Umar ra berkata: “Adapun dua hal itu maka akan aku tinggalkan.”

Umar ra juga bertanya kepada Hudzaifah seraya berkata: “Kamu adalah pemegang rahasia Rasulullah saw tentang orang-orang munafik; apakah kamu melihat suatu fenomena kemusyrikan dalam diriku?"

Sekalipun Umar ra memiliki kedudukan yang sangat mulia dan tinggal dikalangan para sahabat, tetapi demikianlah tuduhannya terhadap dirinya sendiri.

Semakin cerdas dan tinggi kedudukan seseorang seharusnya semakin sedikit rasa ‘ujubnya dan semakin besar tuduhannya terhadap diri sendiri tetapi hal inipun sangat sulit ditemukan. Jarang ada kawan yang mau meninggalkan basa-basi lalu memberitahukan aib atau meninggalkan kedengkian, sehingga tidak melebihi ukuran kewajiban.

Ketiga: Hendaklah ia memanfaatkan lisan para musuhnya untuk mengetahui aib dirinya, karena mata kebencian mengungkapkan segala keburukan. Mungkin seseorang bisa dapat mengambil manfaat dari musuh bebuyutan yang menyebutkan aib-aibnya ketimbang manfaat yang diperolah dari kawan yang berbasa-basi dengan berbagai pujian tetapi menyembunyikan aib-aibnya. Hanya saja tabi’at manusia cenderung  mendustakan musuh dan menilai pernyataannya sebagai kedengkian. Padahal orang yang punya bashirah (mata hati) tidak akan mengabaikan manfaat yang dapat diperoleh dari pernyataan musuh-musuhnya, karena keburukan-keburukannya pasti akan tersebar melalui lisan mereka.

Keempat: Hendaklah ia bergaul dengan masyarakat, lalu setiap hal yang dilihatnya tercela di tengah kehidupan masyarakat maka hendaklah ia memeriksa dirinya dan membersihkannya dari setiap hal yang dicelanya pada orang lain. Seandainya semua orang meninggalkan apa yang mereka benci dari orang lain niscaya mereka tidak memerlukan lagi mu’addib (pemberi pelajaran).

___
*Dikutip dari Mensucikan Jiwa, Intisari Ihya' Ulumuddin Imam Al-Ghazali, Oleh Said Hawwa




Subscribe to receive free email updates: