Boby Febrik Sedianto, mahasiwa Universitas Indonesia, dalam waktu singkat membuat geger pengguna media sosial di Indonesia. Aktivis Gema Pembebasan itu muncul dalam video berkonten politik berdurasi 1 menit 37 detik.
Video lekas menjadi riuh. Diulas dimana-mana. Pesan yang hendak disampaikan Bobby sangat jelas, menentang pencalonan Ahok dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017. Dalih yang dipakai sangat gamblang, ‘Tolak Pemimpin Kafir’.
Berbarengan dengan video Bobby, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menggelar aksi dengan tema serupa. Klaim nya 20.000 massa termobilisasi dalam aksi tersebut. Mungkin angka sesungguhnya ada dibawah itu. Patut diduga, mobilisasinya juga tak hanya datang dari kawasan Jakarta dan sekitarnya.
Seperti biasa, apa yang dilakukan HTI cepat-cepat mendulang respon balik. Terutama oleh klas menengah di media sosial. Serangan-serangan politik ke HTI berhamburan. Berputar dalam pernyataan-pernyataan semacam ‘Anti Demokrasi, tapi memanfaatkan demokrasi’ atau ‘Anti NKRI dan Pancasila, tapi hidup di Indonesia.’
Itu adalah argumen-argumen yang terus didaur ulang. Membosankan sebenarnya untuk didengar. Agar tak membosankan, biasanya disertai dengan olok-olok, hujatan, sarkasme atau meme-meme yang tendensius. Begitu terus siklusnya. Diulang-ulang.
Apa yang dilakukan HTI dengan kampanye ’Anti Kafir’-nya adalah memobilisasi massa. Jumlah mobilisasinya tak bisa dibilang kecil. Sama sekali tak bisa dipandang sebelah mata. Sementara apa yang dapat dijalankan oleh klas menengah penentangnya adalah menghardiknya di media sosial.
Jelas disini terlihat siapa yang lebih kuat, kongkrit dan terorganisir. Jelas siapa yang cuma bisa menye-menye dengan ujaran ngehek-nya, serta siapa yang benar-benar sanggup mewujudkan ujaran dalam organisasi dan pergerakan.
Ada jarak kapasitas yang membentang. Jarak yang membedakan mana tukang bacot kebocah-bocahan dan mana kelompok yang serius. Maka HTI jelas sekali terklasifikasi sebagai kelompok yang serius. HTI jelas wajahnya, tujuan dan cara untuk mengembangkan maksud-masudnya.
Tiga tahun silam, dalam ‘Muktamar Khilafah’ HTI bahkan sanggup memenuhi GBK. Sayap mahasiwa mereka, Gema Pembebasan, pun makin hari makin mendapatkan tempat di kampus-kampus besar. Boby Febrik Sedianto hanya salah satu contoh dari ribuan aktivisnya.
Keseriusan HTI juga bisa dilihat dalam keseharian pengorganisasian. Belasan tahun sudah, terbitan HTI secara ajeg beredar diantara jamaah sholat jumat. Patut diduga oplahnya terus meningkat. Ketelatenan dalam menarik pengikut juga terbilang luar biasa. Merujuk kesaksian, mereka siap ‘menempel’ hingga bertahun-tahun bahkan hanya untuk satu orang sasaran. Kalian sanggup?
Di media sosial, -dengan Felix Siauw sebagai pengecualian-, secara organisasinal HTI hanya mendulang ‘Like’ dan ‘Share’ ratusan, jarang menembus ribuan. Tapi mereka sanggup menumpahkan ribuan hingga puluhan ribu orang di jalan jika sedang meniatkan agenda politiknya. Mulai terlihat jelas perbedaannya bukan?
Sebaliknya, klas menengah penentangnya adalah Si Mulut Besar. Sejenis generasi milenial yang mabuk ‘Like’ dan ‘Share’. Menenggak popularitas semu dari cawan kebebasan abal-abal. Klas menengah ini dikenal sebagai komplotan perisak. Bangga dan berpuas diri dengan celometannya. Jadi seleb-seleb fana dunia maya yang sesungguhnya impoten secara politik.
Sebagian lainnya adalah intelektual-intelektual adiluhung. Yang dari balik meja mengandaikan dunia ada dalam genggaman. Cukup dengan menulis ini itu dan memamerkan seberapa banyak aneka seminar telah mereka arungi. Seberapa ramai funding membiayai programnya. Sama dengan generasi milineal, mereka mandul secara politik.
Kedua spesies klas menengah ini pantas disebut pengecut. Sangat pengecut bahkan. Sebagian mereka kerap secara lantang atau malu-malu mengujarkan harapan, agar negara menindak tegas HTI. Mereka takut HTI makin membesar, tapi malas berbuat lebih, kecuali hanya membacot tak berkesudahan.
Tak ada usaha lebih. Nyaman dengan kesehariannya di sudut cafe, di balik gawai atau kongkow-kongkow bersama delegasi lembaga donor. Pemalas yang banyak omong dan cengengesan ini, bagaimana mungkin menandingi organisasi serius macam HTI. Pengecut yang menyedihkan, jelas bukan siapa-siapa dibanding kader-kader yang ditempa kesukaran dan diuji ketabahan di lapangan.
Ekspresi kepengecutan karena tak mampu vis a vis dengan HTI kemudian membanjir dalam hujatan ke media sosial. Ekspresi yang miskin daya pukul. Seolah-olah berani, tapi ciut nyali. Sekedar berani membusa di balik nikmatnya keyboard dan layar ponsel. Disana, mereka telah merasa menang atau perkasa. Menggekikan bukan?
Ada pertanyaan mudah, kalian membenci HTI? Muak dengan kampanye ‘Kafir’ atau ‘Anti Demokrasi’-nya? Dengarkan! Kebencian kalian tak akan membantu dan berguna sama sekali, sampai kalian mampu mengorganisasikan kekuatan sepadan atau melampaui mereka. Tapi rasanya kalian memang cukup puas ditakdirkan menjadi zombie-zombie internet belaka!
Maka, hajar terus, HTI ! Jangan beri mereka ampun!
Happy Nur Widiamoko
Pekerja leasing. Bermukim di Kalasan.
Sumber: http://ift.tt/2cbbCeB