"Penggusuran merupakan sebuah kejahatan yang tidak pantas dilakukan di kota orang beradab. Rasanya malu menjadi warga kota seperti itu," kata Franz Magnis Suseno.
Mungkin itu sebab Romo Magnis dukung Rizal Ramli daripada ikut-ikutan jadi Ahoker paralogis.
Ahok menggusur bukan menertibkan. Apalagi menata. "Relokasi" hanya berperan sebagai kamuflase. Semua orang tidak keberatan dengan ketertiban dan tata kota apik. Namun, metodologi dan modus Ahok dalam berbagai proyek penggusuran membangkrutkan 8.145 KK dan mengeliminir 6.283 unit usaha.
Dalam kasus penggusuran Pasar Ikan, rusun relokasi Rawa Bebek belum siap. Masih rangka beton. Ahok kejar target. Tetap menggusur 2 hektar Kampung Aquarium. Alhasil, seratusan KK terpaksa menghuni kamar rusun "kamar kost".
Penggusuran Kalijodoh lebih edan. Rusun Marunda hanya menampung 200KK dari 6027KK korban gusuran ber-KTP DKI. Sisanya kocar-kacir. Keleleran, terlantar, dibiarkan begitu saja oleh Ahok.
Ada sesuatu yang absurd dari penggusuran Ahok. Sejumlah area yang digusur berlokasi di depan, di samping, atau sekitar apartemen milik pengembang.
Ada apartemen milik Podomoro di samping gusuran Rawajati. Begitu juga di sebelah Kampung Aquarium berdiri dua tower apartemen.
Saya curiga, area gusuran yang dinamakan "fasilitas sosial" atau taman terbuka hijau semata-mata bertujuan agar harga jual apartemen dan tanah sekitar jadi naik.
Pemukiman Kalijodoh digusur untuk akses jalan dan "taman terbuka hijau" menuju Pulau Reklamasi. Fasilitas akses dan lingkungan indah di sekitar hunian pulau reklamasi tentu menaikan harga jual ruko, apartemen & kondominium yang rencananya dibangun di atas Pulau Reklamasi.
Jadi menurut saya, jargon "revitalisasi taman terbuka hijau" sebaiknya diganti jadi "revitalisasi harga tanah dan property".
Dari sini, menjadi jelas bagi saya bahwa penggusuran Ahok dilakukan demi "kepentingan pengembang" dan makelar tanah. Tidak pernah untuk "kepentingan umum" apalagi mensejahterakan orang miskin.
(Zeng Wei Jian)