Oleh Azzam Mujahid Izzulhaq
Hingga kini, banyak orang liberal menuduh (walau beberapa di antara mereka sendiri pun ada yang mengaku Islam) bahwa tujuan terbesar risalah dan dakwah Nabi Muhammad saw adalah untuk Arabisasi dunia. Menerapkan hegemoni budaya kaum Quraisy di seluruh buana. Sehingga, ketika ada gerakan dakwah Islam di tengah masyarakat, mereka sebut dengan label Arabisasi.
Sesungguhnya, mereka berpendapat begini karena orang-orang liberal lemah dalam membedakan antara budaya dan ajaran agama. Sehingga, di manapun ajaran agama itu disampaikan, menurut orang liberal, itu sedang memasarkan budaya, khususnya budaya Arab.
Misi besar mereka adalah humanisme absolut, menempatkan manusia di aas segalanya dan membenarkan semua agama bahkan yang tidak beragama sekali pun. Sehingga, budaya, yang adalah produk dari pemikiran manusia ingin mereka sandingkan dengan agama (yang juga menurut pemahaman liberal, agama juga adalah produk dari manusia). Sehingga menurut 'kepercayaan dan keyakinan' mereka, agama lah yang harus mengikuti budaya. Sehingga muncullah Islam Nusantara, Islam Jawa, Islam Melayu, Islam Papua dan lain sebagainya.
Mari kita telusuri, sebenarnya yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw itu meng-arab-kan Islam ataukah meng-Islam-kan Arab??
Jika kita menggunakan teorinya orang liberal, apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw adalah meng-arabkan Islam. Artinya, islam sudah ada, kemudian oleh Sang Baginda diwarnai dengan budaya Arab.
Engkau layak untuk guling-guling sambil berteriak wow...
Faktanya, Nabi Muhammad saw diutus di tengah masyarakat yang telah memiliki budaya. Ada yang baik dan ada yang buruk. Ketika beliau datang, beliau "mengislamkan" budaya-budaya itu. Dalam arti, mengarahkan pada budaya yang baik, dan membuang budaya jahat. Bukan disinkronkan, kemudian islam menyesuaikan semua budaya mereka.
Kita bisa simak, sabda Rasulullah saw ketika mengingatkan tentang budaya buruk jahiliyah,
“Katahuilah, segala urusan (budaya) jahiliyah, sudah terkubur di bawah telapak kakiku.” (HR. Muslim 3009)
Ini salah satu bukti, bagaimana Islam menolak setiap tradisi dan budaya jahiliyah yang bertentangan dengan wahyu. Dari sini kita mendapat pelajaran, bahwa budaya harus menyesuaikan islam. Bukan islam yang menyesuaikan budaya.
Nah sekarang di negara kita konsep liberal ini sedang diberikan panggung oleh penguasa. Ide-ide liberalisasi agama yang dulunya hanya menjadi wacana di kampus-kampus (terutama kampus yang ada di dalamnya jurusan aqidah dan filsafat), kini sudah mewabah di media-media nasional, seminar umum, bahkan pernyataan Menteri Agama dan Presiden sebagai kepala negara.
Mulai dari membaca Al Quran yang adalah wahyu yang disinkronisasi dengan lagu kidung Jawa, bacaan shalat yang di Indonesiakan saat shalat, pernikahan sesama jenis, pernikahan antar agama, ide pemunculan Islam Nusantara (Islam yang disinkronisasi dengan budaya nusantara) dan berbagai proyek liberalisasi lainnya yang bertujuan menjauhkan umat Islam terhadap agamanya sendiri tanpa merasa menjauhi. Atau dalam istilah lain, memurtadkan tanpa pemurtadan.
Saya risau. Dan kita sudah sepatutnya risau. Karena sangat boleh jadi akan banyak bermunculan ajaran buatan yang mencatut kata Islam. Islam Protestan, Islam Nusantara, Islam Ortodoks, Islam Jawa, Islam Kejawen, Islam Sunda dan lainnya.
Selamat menyambut dan menikmati kekhusyukan dalam beribadah puasa. Semoga Allah melindungi kita, melindungi bangsa Indonesia.
***
Jika engkau bertanya apakah saya akan mengurangi kekritisan saya terhadap segala bentuk penzhaliman penguasa dengan segala tipu dayanya, saya akan balik bertanya, apakah ibadah puasa di bulan Ramadhan menghalangi Rasulullah dan para sahabatnya untuk berperang di medan Badr?