Dengan transaksi diikat ke Dollar sejak dekade 70-an, Amerika terhindar dari gejolak harga minyak dari sisi nilai tukar (kurs) mata uang.
Dengan pusat transaksi di New York Merchantile Expo (NYMEX), Amerika jadi neggara "tuan rumah" penentu harga minyak.
Dengan cadangan dalam perut buminya yang sangat melimpah, Amerika leluasa menyetel tingkat produksi minyaknya. Kalau minyak dunia sedang sepi pasokan, Amerika bisa masuk menstabilkan harga. Kalau minyak dunia lagi banjir-banjirnya, Amerika bisa tahan produksi.
Kondisi sekarang: Amerika produksi tinggi. Harga minyak turun drastis. Negara-negara OPEC ngotot tetap pertahankan produksi. Dedengkot OPEC, Saudi Arabia, kali ini lebih memilih "wait and see", berharap Amerika turunkan produksi. Dan harga minyak pun mulai terjun di bawah 70 Dollar.
Saudi dkk secara finansial sangat kuat menghadapi turunnya harga minyak dunia. Dalam arti, walau kolom penerimaan dalam APBN mereka turun, mereka tetap saja terima duit dari jualan minyak. Dan mereka punya duit cadangan untuk menyeimbangkan kolom belanja.
Indonesia, yang statusnya sekarang adalah "nett importer" alias lebih banyak mengimpor daripada mengekspor minyaknya, hanya bisa berpasrah diri, dengan menjadikan kenaikan harga minyak dunia sebagai alasan menaikkan harga jual BBM dalam negeri.
Eh, yang super aneh malah ini: harga dunia sedang turun drastis, harga dalam negeri Indonesia justru dinaikkan. Tanpa jauh-jauh mengkaji berapa cadangan dalam perut bumi kita, tanpa mempertimbangkan dampak sekunder dan tersier (naiknya harga barang dan tarif transportasi). Semuanya untuk menghidupkan 3 kartu ajaib, yang sudah telanjur di"simsalabim"kan.
Tahun depan, harga dunia bisa jadi naik drastis. Lihat tarian Amerika-OPEC. Pada saat itu, Indonesia yang kepalang mematok harga dalam negeri ke harga dunia, hanya akan bisa menaikkan (lagi) harga dalam negeri-nya. Pada saat itu semua pihak akan menjerit tanpa kecuali. Dan penguasa pun kemungkinan besar tumbang.
Makanya, Mas, menaikkan harga BBM jangan hanya demi kartu.
(Canny Watae)