(Ahli Hukum Tata Negara Dr. Margarito Kamis)
[portalpiyungan.com] JAKARTA - Setelah mendengarkan saksi fakta pada tanggal 24 Agustus 2016, persidangan gugatan Fahri Hamzah terhadap petinggi PKS memasuki tahap mendengarkan saksi ahli.
Pengacara Fahri Hamzah menghadirkan Ahli Hukum Tata Negara Dr. Margarito Kamis pada sidang hari ini, Rabu (7/9), di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Fahri Hamzah sebagai prinsipal tampak juga menghadiri persidangan dan ikut menyampaikan pertanyaan kepada ahli.
Beberapa poin disampaikan oleh Margarito adalah bahwa partai politik adalah badan publik yang harus tunduk pada adminstrasi negara. Segala bentuk kebijakan partai yang berupa keputusan harus dilajukan secara tertulis, hal tersebut sesuai dengan pasal UU 30/ 2014 yang berbunyi bahwa keputusan harus dalam bentuk ketetapan tertulis.
Poin ini disampaikan Margarito terkait permintaan mundur kepada Fahri Hamzah dari posisi sebagai Wakil Ketua DPR RI oleh Salim Segaf Al-Jufri sebagai ketua Majelis Syuro PKS. Permintaan mundur tersebut dipahami Fahri sebagai diskusi pribadi namun penolakannya dianggap melawan keputusan partai. Delik melawan keputusan partai inilah sebab awal pemecatan Fahri.
Dalam keterangannya, saksi ahli tata negara kelahiran Ternate ini mengatakan bahwa hadirnya dan atau diregulasinya UU Partai Politik adalah dalam rangka menghilangkan informalisme di dalam sistem kepartaian. Kepentingan pribadi tidak lagi menjadi dasar keputusan kelembagaan. Dan segala keputusan badan publik harus mengikuti sistem adminstrasi publik. Maka permintaan mundur oleh Salim Segaf yang hanya berupa diskusi dan tanpa surat menyurat tidak bisa disebut sebagai keputusan kelembagaan.
Selain poin tersebut Margarito juga menyampaikan pandangannya tentang konstruksi UU no 17 tahun 2014 tentang MPR DPR DPD dan DPRD (MD3) terkait jabatan pimpinan DPR RI sebagai jabatan publik. Saksi ahli mengatakan sesuai konstruksi UU MD3 tahun 2014 bahwa jabatan pimpinan DPR RI adalah jabatan publik yang berjarak dengan partai politik.
Jika di UU 27 tahun 2009 jabatan pimpinan DPR RI diisi oleh partai politik dengan perolehan kursi terbanyak terbanyak secara berurutan maka dalam UU 17/ 2014 jabatan pimpinan DPR RI diajukan oleh fraksi melalui sebuah paket koalisi yang lalu dipilih oleh anggota paripurna DPR RI. Dalam posisi ini maka jabatan pimpinan DPR RI tidak lagi prerogatif milik partai karena adanya proses pemilihan dalam sebuah paket koalisi.
Partai memiliki hak untuk memberhentikan pimpinan DPR RI dari partainya hanya jika memenuhi prosedur yang sah sesuai ketentuan perundang-undangan. Diantara syarat berhentinya pimpinan DPR RI sesuai ketentuan UU 17 2014 adalah meninggal dunia, melakukan pelanggaran hukum berat dan mengundurkan diri. Di luar hal tersebut di atas maka tidak ada alasan partai memberhentikan seorang pimpinan DPR RI.
Dengan uraian itu, secara umum keterangan ahli Margarito menyampaikan bahwa keputusan privat (atau pribadi) tidak hisa dijadikan sebagai dasar jatuhnya putusan publik. Negara hukum demokratis mengatur tentang hak hak individu dan juga relasinya dengan negara dan juga kelompok. Kehadiran negara mengatur agar kebencian pribadi tidak menjadi dasar menggunakan elemen publik untuk menghukum seorang individu. Negara hukum demokratis memastikan setiap tindakan wajib didasarkan pada hukum. Untuk itu siapapun yang hak hak individunya merasa diabaikan oleh kekuasaan maka dia berhak mengajukan gugatan kepada pengadilan.