Pakar hukum tata negara Prof Dr Yusril Ihza Mahendra mengingatkan Menteri Sekretaris Negara Pratikno untuk hati-hati mengeluarkan pernyataan mengenai sumber dana yang digunakan untuk membiayai kebijakan tiga kartu 'sakti' Presiden Jokowi, Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).
Yusril juga 'menyentil' Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani terkait pernyataannya tentang kebijakan tiga kartu sakti Jokowi akan dibuatkan payung hukumnya dalam bentuk instruksi presiden (Inpres) atau keputusan presiden (Keppres).
Pratikno kemarin mengatakan, dana tiga kartu sakti berasal dari dana CSR BUMN. Jadi bukan dana APBN sehingga tidak perlu dibahas dengan DPR. Yusril menjelaskan, kekayaan BUMN itu kekayaan yang sudah dipisahkan dari keuangan negara, namun tetap menjadi obyek pemeriksaan BPK dan BPKP.
Karena itu, katanya, jika negara ingin menggunakan dana CSR BUMN status dana tersebut haruslah jelas, dipinjam negara atau diambil oleh negara.
"Sebab, dana yang disalurkan melalui tiga kartu sakti adalah kegiatan pemerintah sebagai 'kompensasi' kenaikan BBM yang akan dilakukan pemerintah," kata dia dalam keterangannnya, Kamis (6/11/2014).
Yusril menjelaskan, penyaluran dana melalui tiga kartu sakti bukanlah kegiatan BUMN dalam melaksanakan corporate social responsibility mereka. "Saya berharap Mensesneg Pratikno juga jangan bicara asbun (asal bunyi) seperti Puan. Pikirkan dulu dalam-dalam sebelum bicara dan bertindak dalam mengurus negara," tandas Yusril.
Yusril mengatakan sampai saat ini belum jelas apa dasar hukum tiga kartu 'sakti' Presiden Jokowi. "Niat baik untuk membantu rakyat miskin karena mau naikkan BBM memang patut dihargai. Hal seperti itu sudah dilakukan sejak SBY. Namun mengeluarkan suatu kebijakan haruslah jelas dasar hukumnya," kata dia.
Jelas Yusril, cara mengelola negara tidak sama dengan mengelola rumah tangga atau warung. Kalau mengelola rumah tangga atau warung, apa yang terlintas dalam pikiran bisa langsung diwujudkan dalam tindakan.
Negara tidak begitu. Suatu kebijakan harus ada landasan hukumnya. Kalau belum ada siapkan dulu agar kebijakan itu dapat dipertanggungjawabkan. Kalau kebijakan itu berkaitan dengan keuangan negara, terang Yusril, Presiden harus bicara dulu dengan DPR, karena DPR memegang hak anggaran.
Karena itu, ia berpesan agar kesepakatan-kesepakatan dengan DPR yang sudah dituangkan dalam UU APBN diperhatikan. "Puan Maharani (Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) jangan asal ngomong kalau tidak paham tentang sesuatu. Lebih baik dia belajar mengelola negara dengan benar," ujar Yusril.
Sebelumnya Puan mengatakan kebijakan tiga kartu sakti Jokowi akan dibuatkan payung hukumnya dalam bentuk instruksi presiden (Inpres) atau keputusan presiden (Keppres) yang akan diteken Presiden Jokowi.
"Puan harus tahu bahwa Inpres dan Keppres itu bukanlah instrumen hukum dalam hirarki peraturan perundang-undangan RI. Inpres dan Keppres pernah digunakan di zaman Bung Karno dan Pak Harto sebagai instrumen hukum. Kini setelah reformasi, tidak digunakan lagi. Inpres hanyalah perintah biasa dari Presiden, dan Keppres hanya untuk penetapan seperti mengangkat dan memberhentikan pejabat," jelas Yusril. [air]
Sumber : Rakyat Merdeka Online