"Kalo sandi jadi wakil kecewa gak?"
DEG!
Jantungku terasa mau copot saat mendapat pertanyaan balik seperti ini dari sosok yang siang malam mendampingi pak Prabowo ini.
Saya sudah menebak arahnya. Pasti ke mas Anies Baswedan. Hanya saja, untuk menepis rasa sesak yang mulai terasa penuh di dada, kualihkan pembicaraan ke sosok Yusril.
"Nomer 1 siapa? Yusril? Oke deh..."
Yup, ini basa basi. Kutahu pasti bukan Yusril jawabannya. Kemudian kusebut nama-nama yang kuharap bukan mas Anies seperti ustadz Yusuf Mansur dan lain sebagainya. Namun tetap saja, akhirnya nama Anies juga yang menjadi ujung jawabannya.
Bukan, bukan saya membenci mas Anies. Saya bahkan pernah begitu dekat dengan mas Anies. Saat itu, sekitar tahun 2011 saya pernah bahu mambahu membangun sebuah BTS mikro di pulau Karas, sebuah pulau kecil di ujung Papua.
Saat itu, mas Anies dan gerakan Indonesia Mengajar-nya sedang hangat-hangatnya berkembang. Misi nya pun sangat menyentuh, pendidikan.
Mas Arif, salah seorang Pengajar Muda-lah yang menjadi pintu masuknya persahabatan ini. Saat itu, mas Arif yang sesama blogger ini bertugas di pulau Karas. Kesulitan berkomunikasi ke luar pulau menjadi catatan curhatnya. Sebuah catatan yang kubawa ke rekan-rekan sejawat kerja, lintas divisi hingga menghadap langsung ke pak Hari Sasongko--dirut Indosat saat itu.
Semangatku begitu membara untuk mewujudkan mimpi besar ini, membuka tabir komunikasi warga Papua di sebuah pulau yang sangat terpencil. Semangat yang timbul setelah beberapa kali bertemu mas Anies di kantor Indonesia Mengajar.
Saya masih ingat betul kata "merajut tali kebangsaan" yang disampaikan mas Anies. Saya juga ingin berkontribusi untuk bangsa ini. Saat itu, hanya dunia telekomunikasi yang paling memungkinkan untukku berkontribusi. Sedangkan untuk menjadi pengajar muda untuk dikirim ke penjuru negeri, rasanya waktu sudah sangat terlewat.
Diskusi demi diskusi pun terjadi. Sosok ini pernah kuanggap sangat luar biasa. Semacam injeksi kesadaran berbangsa dan bernegara mulai tumbuh.
Hanya saja, saat masuk era Pilpres 2014. Awalnya hanya terasa seperti goresan di hati. Lama-lama membesar. Seperti lubang menganga. Dimulai saat mas Anies tidak lolos konvensi Partai Demokrat. Jika saat konvensi demokrat--mas Anies menyebut yang dilakukan Jokowi adalah pencitraan maka setelah itu, semua terbalik.
Mas Anies mulai tampak seperti jubir Jokowi ini beberapa kali mengeluarkan statmen yang begitu menyerang pribadi pak Prabowo.
Dari menganggap temuan kebocoran 1000 Trilyun Prabowo adalah kemustahilan hingga menyindir soal orang baik hanya berkumpul dengan orang baik. Kata bersayap memang, tetapi itu jelas merujuk ke kalimat, "Anies orang baik, berkumpul dengan Jokowi dan berarti: Jokowi baik sedangkan Prabowo orang tidak baik".
Dan masih banyak lagi. Bisa saudara-saudariku cari rekam jejak digitalnya di google.
Rasanya saya sangat maluuuu sekali ke pak Prabowo. Bagaimana tidak malu. Pernah dalam suatu malam menjelang dini hari di Padepokan Garuda Yaksa, Bukit Hambalang--saya pernah diajak berdiskusi perihal calon wakil presiden Prabowo di Pilpres 2014. Nama yang saya sebut dan rekomendasikan adalah: ANIES BASWEDAN!
Alasannya jelas, saat itu saya merasa mas Anies begitu klop dengan Prabowo. Tutur bahasanya ringan dan teratur, terbayang jika konsep Prabowo disampaikan oleh mulut sekelas Anies Baswedan, tentu masyarakat lebih mudah memahami dan ikut tergerak bersama-sama menyelamatkan aset negara kita ini. Bahkan konsep pelatihan para Pengajar Muda untuk menempa fisik dan kedisiplinan juga bergaya semi militer.
Hal yang tidak jauh berbeda dengan pelatihan kader Gerindra. Sudah begitu, jika pendidikan dasar seperti ini dilakukan oleh mas Anies--saya jamin tidak akan ada yang berani menyebut fasis seperti halnya jika dilakukan oleh Prabowo dan Gerindra.
Rekomendasi yang ditampung dan disimaknya baik-baik. Hanya saja, pak Prabowo memintaku untuk menggali lagi tokoh-tokoh nasional yang bisa sinkron dengan konsep ekonominya. Konsep ekonomi berbasis pasal 33 UUD1945 yang asli untuk menghadapi era paling kritis dalam usia sebuah negara. 70 tahun.
Dimana cadangan devisa semenjak awal reformasi hingga kini tidak beranjak dari angka $100 milyar, cadangan migas dan batubara yang semakin menipis, jumlah penduduk yang terus bertambah dan tentu sebanding dengan tambahan tanggung jawab memberi makan jutaan mulut baru serta pendapatan dari pajak yang hanya 12% dan tidak mampu mencapai 16% dari GDP seperti halnya saat era orde baru. Dan memang, akhirnya--hanya bang Hatta Rajasa yang sesuai untuk mendampingi beliau untuk menyelamatkan Indonesia dari kebangkrutan ini.
Namun, sayang sekali. Saat berbeda kubu, sikap mas Anies saat kampanye Pilpres 2014 seperti mencoreng muka ku di depan pak Prabowo. Maluuu.... Hingga nama ini tak berani kusebut-sebut lagi di depan Prabowo.
Sempat saya tanyakan ke mas Arif, kenapa mas Anies jadi begini? Mana kalimat santunnya? Mana kalimat diskusi yang asyik yang bisa mempertemukan dua ide berbeda menjadi satu ide baru seperti biasanya? Kemana mas Anies yang kukenal dulu? :'-(
Mas Arif pun sempat menjawab bahwa dalam internal para Pengajar Muda (PM) pun pernah ditanyakan mengapa terburu-buru masuk ke politik? Mas Anies menjawab bahwa bisa jadi yang dilakukannya malah terlambat. Dan mas Anies meminta para PM untuk tetap cool dan menganggap bahwa ajang Pilpres adalah sebuah festival saja. Apapun pilihannya, ketika tanggal 9 Juli 2014--semua berakhir. Selesai. Semua kembali dalam kehidupan normalnya sehari-hari.
Ya, boleh saja mas Anies menganggap begitu. Tapi saya masih belum bisa menerima semua statemen-statemennya.
Rasa sakit di hati ini terasa pedih dalam beberapa saat usai pendaftaran pasangan Anies Baswedan - Sandiaga Uno ini. Sempat juga uring-uringan sendiri dirumah hingga istri tidak berani mengganggu. Bahkan saya pun malas untuk ber selfie ria saat pendaftaran seperti halnya rekan-rekan kader Gerindra lainnya. Saya memilih segera pulang dari kantor. Menerabas hujan dari stasiun. Berharap segera tidur dan sejenak melupakan pendaftaran ini.
Sayangnya, saya malah tidak bisa memejamkan mata. Terbayang satu wajah di pelupuk mata, PRABOWO!
Dalam hati kubertanya, "Wahai Prabowo, terbuat dari apakah hatimu? Baja, platinum atau jangan-jangan material dari planet krypton? Kok begitu kuat dan tegarnya?"
"Wahai Prabowo, selebar apa hatimu itu? Sedalam danau Toba-kah? Danau yang tak pernah bisa dikur dalamnya itu?"
Engkau begitu telah disakiti. Engkau begitu mengalahnya hingga kadermu sendiri dijadikan ban serep saja alias nomer kedua. Tapi kok wajahmu datar-datar saja? Ngamuk kek, lempar henpon kek kayak fitnah jaman dulu yang beredar itu. Jangan-jangan engkau bukan manusia? Jangan jangan engkau malaikat yang kesasar di bumi?
Ah sudahlah. Saya pening.
Kepeningan kepala yang esok harinya baru agak mereda saat membaca status mas Sugiono, Waketum termuda Partai Gerindra di linimasa facebooknya,
"Dalam sebuah perjuangan besar untuk Merah Putih dan bangsamu, tidak boleh ada ruang untuk perasaan pribadi."
Ya, sepertinya mas Sugi juga merasakan dan menanyakan hal yang sama saya rasakan. Mungkin statusnya adalah jawaban pak Prabowo.
Jawaban yang identik dan konsisten dengan komplainku ke Prabowo perihal sikap hormat sempurna ke Jokowi saat sebelum pelantikan menjadi Presiden. Mungkin bedanya, mas Sugi tidak sampai mewek sepertiku saat itu.
Baiklah, terima kasih untuk mengingatkanku untuk menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi, plus perasaan pribadi, pak. Saya paham, saya mengerti. Walau levelnya masih dalam taraf mencoba saja. belum 100% mampu.
Toh tak lama kemudian ada status dari Mas Hasto Dayat--kakakku di Semarang yang sepertinya memberiku kode lewat statusnya:
"Umar bin Khattab dulu ngga cuma pembully, bahkan musuh yg serius ingin membunuh Muhammad SAW... Tetapi justru pada waktu selanjutnya menjadi sahabat, pembela dan bahkan saudara yg tangguh. Semoga demikian juga dengan ..... :)"
Ya, semoga demikian juga dengan mas Anies. Semoga Allah memang mengirim mas Anies sebagai "Umar bin Khattab" nya Prabowo.
Karena apapun yang pernah terjadi, mas Anies adalah sahabat lama. Saya mesti bertanya dan klarifikasi langsung dari hati ke hati.
Semoga tidak mengecewakan.
[Hazmi Srondol]