Panama Papers (singkatannya bukan Pampers) itu sejatinya semacam gudang. Gudang data yang ketika diambil bagian per bagian dapat dikonstruksi menjadi sajian informasi.
Karena datanya sangat besar, maka saya sebut "gudang".
Apabila dari comotan data itu menyajikan nama, maka belum tentu nama tersebut otomatis orang berduit yang menyimpan segunung duit.
Sebaliknya, untuk memvonis seorang berduit benar menyimpan segunung duit dengan maksud menghindari pajak di negerinya sendiri, maka diperlukan check silang dengan sekian nama lain yang ada dalam gudang data tersebut.
Khusus oleh media, di berbagai negara di dunia, terjadi proses framing mana kala mengambil data. Masing-masing dengan kepentingannya sendiri-sendiri. Contoh di Indonesia, konon (karena saya tidak membaca media ini lagi), Tempo mencomot data atas nama Sandiaga Uno. Dia ini digadang-gadang untuk jadi cagub Jakarta mendatang. Tentu, kepentingan media adalah menyeret turun elektabilitas Sandiaga, dengan efek samping (justru) menaikkan popularitasnya.
(Baca Kompas: Sandiaga: "Panama Papers" Sudah Jadi Kampanye Hitam, Mau Bagaimana Lagi?)
Itu sebagai salah satu contoh saja.
Dalam konteks yang lebih luas, tingkat dunia, Panama Papers itu semacam serangan balik Amerika kepada Rusia, khususnya Presiden Vladimir Putin, yang memberikan perlindungan kepada Edward Snowden, bekas kontraktor CIA yang sukses membocorkan data-data intelijen Amerika Serikat. Oleh media-media barat, segunung data Panama Papers itu diracik menjadi sajian informasi mengenai Putin, yang namanya ada dalam pampers, eh, papers tersebut.
Bejibun nama lainnya, termasuk yang ribuan warga negara Indonesia, boleh dikata, hanya "efek samping".
(by Canny Watae)