Oleh: Eko Jun*
Silang pendapat seputar kasus FH muncul berseliweran di ruang publik. Mari kita luruskan pemahaman seputar ketaatan, qiyadah, hasil syura dan lainnya agar tidak dijadikan hujjah yang salah penempatannya, agar tidak ada pihak yang tersudutkan. Ada beberapa catatan kritis yang perlu kita pahami dengan hati jernih.
Pertama, apakah qiyadah selalu benar?
Jawabannya, tidak. Qiyadah itu manusia, jadi sangat mungkin berbuat salah dalam mengambil keputusan dan kebijakan.
Ambil contoh adalah Rasulullah saw. Beliau salah perhitungan pada tragedi Al Birr Ma’unah. Juga salah berijtihad pada peristiwa tawanan perang Badar. Beliau pun juga ditegur Allah saat mengharamkan madu demi menyenangkan istri – istriya. Termasuk saat mensholatkan jenazah gembong munafik Abdullah bin Ubay. Dan lain – lain.
Bahkan jika qiyadahnya adalah Rasulullah sekalipun, ternyata pintu kesalahan masih saja terjadi. Karena itu, tidak layak jika ada tuntutan bahwa qiyadah harus selalu benar dalam mengambil kebijakan. Sebagaimana tidak layak pula jika ada suara yang ingin memposisikan qiyadah dalam strata ma’shum.
Kedua, apakah syura selalu benar?
Jawabannya juga tidak. Hasil syura sangat ditentukan oleh validitas informasi, kemampuan menganalisa serta kelayakan eksekusi. Kebenarannya syura sangat relatif, bergantung sejauh mana ketiga aspek itu terpenuhi.
Mari ambil contoh syura di masa Rasulullah saw dan shahabat ra. Dalam perumusan strategi perang Badar, syura efektif dan menghasilkan kemenangan. Namun hal yang sama tidak terjadi pada kasus perang Uhud.
Bahkan jika ahli syura-nya adalah rasulullah dan para shahabat sekalipun, ruang kesalahan masih dimungkinkan terjadi. Karena itu tidak layak jika ada pihak yang mengabsolutkan hasil syura sebagai standar kebenaran. Sebagaimana tidak layak pula jika ada wacana yang menegasikan hasil syura.
Membangun Jama’ah
Qiyadah dan syura adalah instrumen jama’ahyang tidak ma’shum, kebenarannya relatif. Hanya saja, mereka memang memiliki hak untuk ditaati. Begitulah cara kita dalam membangun sebuah jama’ah. Sebagaimana sabda baginda nabi: Tidak ada islam tanpa jama’ah, tidak ada jama’ah tanpa pemimpin dan tidak ada pemimpin tanpa ketaatan.
Goncangan seperti ini sering kita alami. Khususnya saat idealisme harus berbenturan dengan realita. Momentum penentuan dukungan pilkada menjadi titik kritis yang sering terulang dan mengancam keutuhan berjama’ah.
Kita tidak harus menyalahkan qiyadah saat mereka salah dalam mengambil kebijakan. Contohlah Umar bin Khathab, Setelah hasil ijtihadnya lebih dibenarkan Allah ketimbang keputusan yang diambil rasulullah pada kasus perang Badar. Bukannya besar dan berbangga, justru akhirnya ikut menangis bersama Rasulullah dan Abu Bakar.
Sebaliknya, kita juga jangan senang menyalahkan para jundi yang salah dalam berijtihad. Contohlah Rasulullah yang tidak menyalahkan Umar bin Khathab atas kesalahan ijtihadnya untuk membunuh gembong munafik Abdullah bin Ubay. Atau menanggapi protesnya yang sangat keras saat Sulhul Hudaibiyah.
Kita ini tidak lebih hanya kumpulan manusia kerdil bila dibandingkan dengan mereka. Jagalah mulut kita dari memojokkan satu sama lain serta menegasikan peran dan jasa di masa lalu. Karena potensi kesalahan memang ada disemua tingkatan dan semua instrumen. Wa kuunu ‘ibadallaahi ikhwaana...
Wallahu a’alam bi shawab.
*Sumber: islampos