Tebang Pilih Kasus KPK, Suap Densus 88 Menguap, Sumber Waras Tak Berbekas, Kini Sibuk OTT Kader Demokrat dan Saipul Jamil




[portalpiyungan.com] Kasus OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK terhadap politisi Partai Demokrat I Putu Sudiartana masih ramai diperbincangkan di ranah maya. Netizen yang kritis dan cerdas membuat berbagai singkatan menarik tentang OTT ini. Mulai dari singkatan serius Order Tangkap Tangan, Operasi Tangkap Target, sampai singkatan humor seperti Opung Tangkap Tuyul. Singkatnya, netizen tak menganggap OTT KPK kali ini sebagai sesuatu yang serius.

Jika dicari tahu penyebabnya, rata-rata netizen menyatakan menurunnya tingkat kepercayaan mereka pada lembaga superbody yang menyebut dirinya anti rasuah tersebut. Masyarakat kelas menengah yang aktif di media sosial tentu mengamati kinerja KPK secara teliti. Mereka pun bisa meraba jika ada kejaggalan yang muncul dalam setiap peaanganan kasus korupsi yang melibatkan KPK.

Singkatnya, sejak Kasus Sumber Waras yang jelas-jelas terbukti bahwa Pemprov DKI melakukan mark up besar-besaran sehingga merugikan negara pun, KPK tutup mata. Padahal angkanya sangat besar. KPK saat itu lebih suka mengurus korupsi ecek-ecek yang melibatkan pedangdut Saipul Jamil yang diduga menyuap jajaran penegak hukum yang menangani kasusnya.

Kini, dalam OTT yang konon melibatkan kader Partai Demokrat, KPK kembali mendapat sorotan tajam. Seorang netizen yang lama malang melintang di dapur Majalah Gadis, @panca66 menulis sebuah pernyataan serius.

" Di kasus suap Densus ke istri Siyono, KPK ga mau masuk karena alasannya di bawah 1 M. OTT hap2 bang Ipul dan Putu ternyata di bawah 1 M," tulis Panca melalui akun twitternya @panca66.

Sekedar mengingatkan, setelah melaporkan dugaan tindak pidana oleh anggota Detasemen Antiteror 88 atas kematian Siyono kepada Kepolisian Resor Klaten, Jawa Tengah, Pemuda Muhammadiyah berencana melaporkan kepolisian yang memberi dua bungkusan tertutup berisi uang kepada keluarga Siyono ke Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Pemuda Muhammadiyah, melalui pimpinan pusat, akan melapor ke KPK ihwal pemberian uang Rp 100 juta kepada keluarga Siyono yang diduga berpotensi suap," kata Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Jawa Tengah, Zainuddin Ahpandi, Senin, 16 Mei 2016.

Menurut data dari Tim Pembela Kemanusiaan, ada dugaan tindak pidana yang dilakukan pihak kepolisian guna menghalangi penegakan hukum dan autopsi jenazah Siyono dengan cara memberikan dua bungkusan tertutup kepada keluarga Siyono saat menjemput jenazah di Jakarta pada Maret lalu. Saat memberikan dua bungkusan tersebut, polwan meminta keluarga mengikhlaskan kematian Siyono.

"Saat dibuka di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada 11 April lalu, dua bungkusan tertutup yang diserahkan oleh polwan itu berisi uang Rp 100 juta," kata Koordinator Tim Pembela Kemanusiaan, Trisno Raharjo.

Anehnya, KPK ogah mengusut kasus tersebut. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo menyebut pemberian uang 100 juta dari Densus 88 untuk keluarga Siyono bukan termasuk kasus korupsi, karena diserahkan bukan kepada pejabat negara.

Kasus uang  100 juta ini sebelumnya telah dilaporkan ke pihak KPK oleh PP Muhammadiyah dan sejumlah lembaga lantaran dugaan gratifikasi di dalamnya.

“Karena mungkin teman-teman di PP Pemuda Muhammadiyah merasa memegang uang itu terlalu lama. Karenanya diserahkan ke KPK ya kita jaga, tapi prosesnya bukan kita yang tangani. Itu kan bukan masalah korupsi,” ujarnya seusai membuka acara Pelatihan Bersama Peningkatan Kapasitas Apgakum dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi, Senin, 23 Mei 2016 di Hotel Aston, Bogor.

Agus melanjutkan bahwa pihak yang akan menindaklanjuti kasus ini adalah Kejaksaan dan Polri.

“Nanti Polri dan Kejaksaan yang akan menindaklanjuti, jadi KPK hanya memegang uangnya saja. Uang itu akan ditaruh di kasnya KPK,” pungkasnya.

Kembali ke kasus yang kini sedang ditangani oleh KPK, OTT terhadap kader Partai Demokrat I Putu Sudiartana, Seorang netizen lain, Teddy Gusnaldi megungkapkan kejanggalan OTT  ini.

"Bahkan KPK menyita uang I Putu bukan di lokasi OTT tapi di rumahnya sebesar 40 ribu Dollar pdhl blm ditetapkan tersangka (Pasal 47 UU KPK)," tulis Teddy melalui akun twitter @stone_cobain.

Cara KPK memilah-milah kasus sudah lama terdengar. Namun baru di era Jokowi ini, KPK benar-benar menampakkan jati diri sebagai kaki tangan penguasa, bukan sebagai lembaga penyapu koruptor.









Subscribe to receive free email updates: