Membaca Sinyal Menkeu Sri Mulyani: “...Jangan Lagi Ada Perampokan Uang Rakyak"


[CATATAN TENGAH Derek Manangka]
Membaca Sinyal Menkeu Sri Mulyani:
“Jangan Lagi Ada Perampokan Uang Rakyak"


Pelan tetapi pasti, langkah-langkah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) menunjukkan bahwa dia merupakan pejabat negara yang punya integritas. Pejabat tinggi negara yang mau memperbaiki keadaan, mencegah Indonesia terpuruk ke krisis yang ekstra fatal.

Dia paham yang dihadapi pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sangat mendasar. Tidak sekedar krisis multi dimensi dan “carry over” atas persoalan rezim SBY. Tetapi sudah bertambah dengan krisis kredibilitas, akuntabilitas dan kapabilitas (KAK).

Semakin lama Presiden Joko Widodo berkuasa, kualitas KAK semakin merosot. Kemerosotan ini yang harus dijawab. Selama masyarakat tidak bisa diyakinkan, apapun yang dikerjakan pemerintah tak akan dinilai secara positif. Setiap tahun dilakukan perombakan kabinet, kalau KAK sudah merosot, pergantian Menteri tak akan menolong.

Persoalan yang dikeluhkan rakyat pada hakekatnya tidak muluk-muluk. Sebab persoalan itu, bukan hal yang baru.

Pada intinya rakyat berharap agar semua kebijakan pemerintah bisa dipahami oleh logika sederhana. Semua kebijakan diyakini bertujuan untuk kepentingan umum, bukan orang per orang ataupun kelompok dan partai.

Jangan bilang Tax Amnesty ditujukan untuk orang-orang kaya yang menyimpan uang mereka di luar negeri. Tapi kenyataannya petugas pajak mulai menakut-nakuti para wajib pajak di dalam negeri yang setia pada UU.

Sementara target pemasukan pajak dari mereka yang menyimpan uang di luar negeri tidak tercapai, kegagalan itu mau ditutupi dengan mau menaikan cukai rokok di dalam negeri.

Rezim Widodo dan Kalla mulai berbicara dengan standar ganda. Lain yang diucapkan lain pula yang dilaksanakan.

Kehadiran SMI dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo bukan karena ideologi kepartaian. SMI tidak sekedar mau menolong rezim Joko Widodo – Jusuf Kalla. Tapi mau menolong Indonesia.

Sekalipun yang memanggilnya pulang dari Washington, Amerika Serikat seorang Presiden RI tetapi kesediaannya menuruti panggilan tersebut, lebih dikarenakan alasan nasionalisme, kebangsaan dan kenegarawanan.

Artinya, SMI sangat sadar bahwa tugas yang diembannya bukan untuk “ABJWS”- Asal Bapak Joko Wdodo Senang”.

Itu sebabnya kehadirannya lebih dilihat sebagai seorang dokter ahli ketimbang teknokrat apalagi politisi.

Dari kacamatanya sebagai seorang dokter ahli itulah SMI mencoba menyembuhkan penyakit kritis yang mendera pasien bernama Indonesia Raya.

Sebagai dokter ahli, SMI tidak perlu menggunakan waktu yang lama memilih obat dan terapi mana yang paling tepat. Dia juga tidak perlu berbasa-basi dengan sesama anggota kabinet.

Sebab SMI juga mungkin sadar bahwa kehadirannya dalam kabinet Joko Widodo tidak sepenuhnya disambut dengan hati yang tulus oleh sesama menteri apalagi mereka yang berada di luar pemerintahan.

Hal mana tercermin dari berbagai julukan ataupun reaksi serta label yang disematkan pada dirinya.

Namun SMI tidak peduli. Bagi SMI, tudingan itu tak harus digubris atau direspons. Tapi cukup dijawab dengan komitmen kerja.

SMI tidak sedang bersyukur dipilih atau dipercaya menduduki pos Menkeu/Bendahara Negara.

Dia tidak sekedar menjadi pembantu Presiden. Dimana kalau tidak diperintah majikan (Presiden), maka dia tak akan bergerak apalagi mengambil inisiatif.

Dia sedang memperlihatkan kemampuannya bahwa ia memang kapabel dengan posisinya itu.

Kalau di Bank Dunia, organisasi yang biasa menangani persoalan ratusan negara, lalu apa sulitnya menangani persoalan sebuah negara - Indonesia Raya ?

Pernyataan atau penilaiannya tentang Indonesia sebagai negara yang tengah menghadapi “the perfect storm” menyiratkan kesan dia cukup paham krisis Indonesia sekaligus dia tahu solusinya.

Jika disederhanakan krisis Indonesia sudah seperti “benang kusut”. Kekusutan itu sudah bermetamorfosa dalam bentuk “lingkaran setan”

Karena tidak ingin sekedar menjadi pembantu presiden, maka langkah pertama yang dilakukannya adalah mereview APBN. Hasil inisiatifnya menyimpulkan bahwa angka APBN tidak sesuai dengan kemampuan.

Solusinya, anggaran sejumlah kementerian mengalami pemangkasan.

Secara politik APBN 2016 bertujuan untuk meningkatkan kegiatan pembangunan dan mensejahterahkan rakyat.

Tetapi dalam kenyataannya, APBN disepakati oleh para politisi Senayan dan teknokrat di Lapangan Banteng (Kementerian Keuangan) dan Taman Suropati (Bappenas) hanya untuk menunjukkan bahwa rezim sekarang bekerja lebih progresif.

Secara matematika politik, dengan APBN seperti itu pemerintah bersama parlemen sudah melakukan “pembohongan” kepada publik.

Uang untuk membangun dan mensejahterakan rakyat tidak tersedia bahkan dicari sampai ke dasar samudera saja belum tentu ketemu. Tapi dalam pembukuan di Bendahara Negara seolah semua pemasukan itu akan sangat mudah diperoleh. Sama dengan memetik daun kangkung. Tidak perlu memanjat. Begitu mudah proyeksi APBN disegel dengan Undang-Undang.

Sadar atas kemampuan mendapatkan uang yang dibutuhkan APBN tidak mudah, akhirnya SMI sebagai Bendahara Negara mengambil keputusan revolusioner. Pemangkasan!

Kalau persoalan anggaran ini disejajarkan dengan persoalan rumah tangga, apa yang dilakukan oleh SMI adalah ajakan untuk hidup secara realistis. Jangan hidup dengan khayalan tanpa mempedulikan kemampuan.

Ibarat tukang cari duit, SMI tidak mau memberi janji muluk-muluk kepada anggota keluarga. Baginya tahun 2016 atau beberapa tahun ke depan, sang tukang cari duit belum bisa memberi kenyamaman kepada anggota keluarganya. Belum mampu membelikan mobil baru, tamasya ke luar negeri, shopping ke Singapura atau berleha-leha di mall-mall papan atas.

Maunya SMI atau Mbak Ani, anggota keluarga yang selama ini terbiasa makan di restoran kelas satu, bila perlu makan di Warteg (Warung Tegal) atau penjaja makanan di resto AMIGOS (Agak MInggir Got Sedikit).

Yang cukup menarik, sekalipun kebijakannya sebagai Bendahara Negara jelas-jelas seperti megoreksi bahkan cukup menampar muka para individu yang “sudah membohongi” Presiden Joko Widodo, kali ini tak ada atau belum ada yang berani berreaksi.

Sepinya reaksi atas keberanian SMI melaksanakan kebijakan di bidang anggaran ini, tentu saja cukup positif. Artinya kabinet Joko Widodo dan Jusuf Kalla ini, sudah mengalami reformasi mental. Bukan Revolusi Mental.

Mereka, para anggota kabinet, termasuk Presiden dan Wakil Presiden mungkin sadar bahwa SMI memang sosok yang punya kapabilitas.

Sejak dilantik 27 Juli 2016, dalam waktu kurang dari satu bulan menjabat sebagai Menkeu, SMI telah menunjukkan identitas dan karakternya.

Dia tidak segan-segan menjawab soal kabar kenaikan harga rokok per bungkus menjadi Rp. 50.000,-.

Memang pernyataan SMI soal kenaikan harga rokok itu belum final. Tetapi paling tidak penegasannya beberapa hari lalu bahwa kementerian keuangan sedang mengkaji hal tersebut, untuk sementara sudah cukup menetralkan dan menetramkan suasana.

Tapi yang tak kalah menetramkan penegasannya agar BUMN jangan jadi bancakan. BUMN jangan selalu minta suntikan dana apabila diminta untuk menjadi agen pembangunan (agent of development). Artinya ada harapan misalnya tiga bank BUMN yang dijadikan “agunan” kepada pemerintah RRT, untuk sebuah proyek bernilai Rp. 75,- triliun, bakal ditinjau.

Pemahaman saya, semoga tidak keliru, pernyataan SMI tentang BUMN kali ini, sedang mengingatkan bahwa selama ini BUMN seakan-akan terpisah dari Kementerian Keuangan, tidak berdasar.

Semua pengeluaran dan pemasukan keuangan negara harus diketahui dan disetujui Menkeu.

SMI menghendaki – sekali lagi semoga tidak salah tafsir, agar Menteri BUMN Rini Soemarno jangan lagi membuat kebijakan tanpa melibatkan Kementerian Keuangan, sepanjang hal itu berkaitan dengan masalah uang dan keuangan.

Sinyal yang cukup jelas dari SMI adalah dengan memotong anggaran Proyek Kereta Api Cepat Jakarta – Bandung. Padahal selama ini proyek itu dikenal sebuah proyek eksklusif Menteri Rini Soemarno (Rinsoe).
Dalam proyek ini, Presiden Widodo terkesan sangat membela Rinsoe.

Jadi yang menjadi ujian sekarang, sejauh mana sikap Presiden Widodo. Apakah akan bersikap netral atau memilih berpihak pada SMI atau Rinsoe.

Sikap SMI terhadap proyek kereta api cepat ini, tak boleh dianggap seperti sebuah lemparan batu dari orang yang bersembunyi di semak-semak.

Sebeb seperti postingan di time line Saafroedin Bahar, seorang mantan pejabat teras Sekretariat Negara, Presiden Widodo perlu memperhatikan laporan kantor berita Reuters (Inggris) bahwa dalam proyek kereta api cepat ini ada uang sebanyak US$ 5,- juta yang diperkirakan sebagai gratifikasi yang jatuh ke salah seorang anak buah Presiden Joko Widodo.

Bahkan KPK pun diminta untuk pro aktif melakukan penyelidikan.

Kini semuanya terpulang kepada Presiden Joko Widodo sebagai “user”. Apakah sang “user” akan melakukan keberpihakan atau bersikap sebagai negarawan.

Situasi ini tentu saja ringan-ringan berat dan gampang-gampang susah.

Tapi pernyataan SMI sendiri seperti sinyal yang bisa ditafsirkan bahwa dia seorang yang “nothing to lose”.

Dia ingin berada dalam lingkaran pemerintahan yang akuntabel. Setidaknya mengikuti budaya akuntabelitas yang dterapkan di Bank Dunia, lembaga internasional dimana SMI pernah berkarir selama 6 tahun.

Secara implisit SMI sudah menegaskan jangan lagi ada perampokan atas uang rakyat.*

*dari fb penulis




Subscribe to receive free email updates: