[portalpiyungan.com] Demo besar yang direncanakan 4 November 2016, tidak perlu ada jika negara menegakkan hukum dengan keadilan dan kepastian. Rencana demo dipicu oleh ucapan Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama, yang dianggap umat Islam dan dikuatkan MUI sebagai penistaan terhadap Islam. Karena aparat penegak hukum kurang sigap, bahkan dianggap cenderung melindungi Ahok, maka timbullah tekanan agar Ahok segera diperiksa, bahkan ditangkap.
Tapi yang terjadi, Ahok malah datang ke Bareskrim bukan karena dipanggil untuk diperiksa, tetapi atas inisiatifnya sendiri untuk memberi klarifikasi. Inisiatif seperti itu tak dikenal dalam hukum acara.
Penistaan agama yang diduga dilakukan Ahok, dilakukan menjelang kampanye Pilkada DKI. Ini semua menjadi akumulasi ketersinggungan dan kemarahan sebagian umat Islam yang karena ucapan-ucapan Ahok sebelumnya yang juga sering menyinggung agama secara tidak pada tempatnya. Namun, akumulasi kejengkelan ini dapat pula dimanfaatkan untuk beragam kepentingan politik sesaat yang berada di luar agenda kepentingan umat Islam.
Ahok memang sudah minta maaf. Tapi dengan gaya bahasa Ahok yang khas, permohonan maafnya dinilai kurang tulus. Ahok tidak merasa bersalah, apalagi menyesal atas ucapannya. Seperti dikatakannya, Ahok minta maaf karena ucapannya menimbulkan kegaduhan, bukan mengaku salah dan menyesal atas ucapannya. Permintaan maaf seperti itu tidak meredakan kejengkelan. Eskalasi kejengkelan malah makin besar.
Demonstrasi menuntut sesuatu adalah hak setiap orang. Sepanjang demontrasi dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum yang berlaku, demo adalah sah. Namun untuk menghadapi seorang Ahok, haruskah ada demo mengerahkan sejuta umat? Mungkin jika Ahok hanya sendirian, dia tidak ada apa-apanya. Tetapi, diduga ada kekuatan besar dibalik Ahok, yang tidak dapat ditembus dengan himbauan dan permintaan, melainkan harus melalui tekanan unjuk rasa besar-besaran dengan segala risiko yang mungkin terjadi.
Demo Besar 4 November kini tak dapat dihindari lagi. Maka saya mengajak, marilah kita sama-sama menjaga demo ini agar tidak berubah menjadi kerusuhan dan tindak kekerasan yang pasti akan merugikan kepentingan bangsa kita seluruhnya. Aparat keamanan juga harus bersikap ekstra hati-hati. Jangan sampai ada korban tertembak dalam demo ini. Ingat peristiwa 1966 dan 1998.
Demo besar ini tentu akan membuang banyak tenaga, waktu, dan biaya. Umat Islam seperti telah kehilangan kekuatan politik yang efektif untuk mendesakkan tuntutan, kecuali dengan unjuk rasa. Energi terbuang begitu besar hanya karena menuntut agar Ahok diperiksa, ditangkap, dan diadili. Jika saja Presiden menggunakan kewibawaan yang ada pada dirinya, dia mengemukakan komitmen untuk menuntaskan masalah hukum terkait dengan dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok.
Tentu presiden dapat mempertimbangkan secara bijak untuk mencegah agar pemeriksaan Ahok tidak dimanfaatkan untuk menguntungkan dua pasang pesaingnya dalam Pilkada. Pilkada tetap harus dilaksanakan secara jujur dan adil bagi semua kontestan.
Pada sisi lain, bagi Ahok sendiri, masih ada waktu bagi dirinya untuk meminta maaf dengan tulus kepada umat Islam dengan cara mengakui kesalahan atas ucapannya terkait dengan Alquran Surah Al Maidah ayat 51. Ahok harus berjanji akan mempelajari Islam dengan sungguh-sungguh agar dapat memamahi pikiran dan perasaan umat Islam, karena dia hidup di tengah-tengah mayoritas umat Islam di negara ini.
Jika Ahok bersedia mempelajari Islam dengan sungguh-sungguh bukan mustahil dia akan tertarik memeluk Islam dengan kesadarannya sendiri. Ahok bisa saja seperti Arnoud van Doorn, politisi Partai Kebebasan di Belanda, yang ikut membuat Film "Fitna" yang menghebohkan karena menista Islam, akhirnya sukarela memeluk Islam setelah mempelajari Islam dengan seksama.
Islam adalah agama besar dunia, agama rahmatan lil 'alamin, agama rahmat bagi alam semesta, yang sudah 15 abad menyinari peradaban dunia. Islam yang besar ini takkan goyah hanya karena nistaan yang dianggap dilakukan seorang Ahok. Ahok terlalu kecil untuk merendahkan kebesaran Islam.
Akhirnya hukum memang harus ditegakkan. Tetapi jika Ahok memohon maaf dengan tulus, umat Islam, pada hemat saya, tentu akan membukakan pintu maaf. Bukankah Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Maka kita manusia hendaknya akan membuka pintu maaf kepada siapa saja yang memintanya dengan tulus.
Penulis: Yusril Ihza Mahendra