Demonstrasi: Sunnah atau Bid'ah?
Memaknai Demo
Ternyata, ada beraneka ragam makna yang disematkan kepada sebuah kegiatan yang bernama demo, ada pemaknaan politik dan ada pula pemaknaan agama. Maksudnya, ada yang memandang demo dan memaknainya dengan sudut pandang politik. Namun, ada juga yang memandang dan memaknai demo dengan sudut pandang agama.
Yang terasa seru dan rada-rada memanas, adalah yang memandang dan memaknai demo dengan sudut pandang agama.
Ada yang hanya mempergunakan satu kaca mata saja, yaitu: adakah demo itu sunnah? Kalau tidak terbukti ke-sunnah-annya, berarti bid’ah!!?? Dan bid’ah itu sesat!!?? Dan sesat itu neraka!!??
Ada juga yang mempergunakan kaca mata hukum. Yang ini, opsinya lebih banyak. Sebab diskusi di sini bisa mengarah ke: haram, makruh, mubah, sunnat dan wajib atau fardhu. Lumayan, ada peluang opsi hukum lebih banyak.
Demo dalam Arti Muzhaharah
Muzhaharah dari kata dasar zhuhur. Ia adalah lawan kata bathin. Bathin berarti berada di dalam, tidak muncul, karenanya tidak tampak dan tidak kelihatan. Kalau berada di dalam, ngumpet, sembunyi, tidak muncuk muncul, tidak tampak dan tidak kelihatan, maka pasti pihak lain akan kesulitan dalam membaca, memahami, memberikan penilaian dan bersikap. Maklum, tidak kelihatan.
Sedang zhuhur atau zhahir (Melayu, Indonesia: lahir) berarti muncul, tampak, kelihatan, tidak bersembunyi, tidak ngumpet, apalagi nyungsep. Karenanya, pihak lain akan dapat melihat, menyaksikan, lalu membaca, memahami, memberikan penilaian, bahkan memberikan bobot dan akhirnya mengambil sikap.
Dalam arti ini, hadits nabi: “Siapa saja diantara kamu yang melihat suatu kemunkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, kalau tidak mampu, dengan lisannya, kalau tidak mampu, dengan hatinya”, dapat dipahami bahwa, mensikapi kemunkaran, pada asalnya haruslah tampak dan kelihatan, bahkan harus menonjol. Sikap pem-bathin-an terhadap suatu kemunkaran yang tidak tampak, bukanlah pensikapan yang asal, tetapi, pensikapan alternatif dari asal karena situasi dan kondisi tertentu. “jika tidak mampu, sikapilah kemunkaran yang terlihat itu dengan hati”. Buktinya, hadits ini menjelaskan bahwa pensikapan dengan hati merupakan keimanan yang paling lemah. “yang demikian itu merupakan selemah-lemah iman.
Jadi, muzhaharah, berasal dari kata zhuhur, zhahir, lahir yang berarti tampak dan kelihatan, karena tidak di-bathin.
Muzhaharah artinya: memberikan sokongan, dukungan, penguatan, kepada sesuatu yang zhuhur, zhahir dan lahir, atau terhadap sesuatu yang tampak, kelihatan dan muncul. Baik dari sisi kuantitatif (jumlah) maupun kualitatif (mutu) baik dalam bentuk kemunculan tokoh ternama, tokoh publik, dukungan media, dukungan dana dan logistik, mempergunakan pengeras suara yang memadai dan sebagainya).
Kalau mengingkari suatu kemunkaran pada asalnya bersifat zhuhur, zhahir dan lahiriah (tampak, muncul dan kelihatan), lalu seseorang memberikan sokongan, dukungan dan penguatan, maka hal ini disebut muzhaharah.
Dengan demikian, muzhaharah dalam arti memberikan sokongan, dukungan dan penguatan terhadap suatu upaya mengingkari suatu kemunkaran yang dilakukan secara terbuka, bukan dengan cara di-bathin saja, adalah bagian dari pengamalan terhadap prinsip pokok inkarul munkar.
Menariknya, hadits mengingkari kemunkaran yang pada asalnya bersifat zhuhur, zhahir dan lahiriah ini, dikaitkan dengan lemah dan kuatnya keimanan, dan semakin urusan mengingkari kemunkaran ini dibathin, disembunyikan dan tidak dizhahirkan, semakin lemah keimanan seseorang. Wallahu a’lam.
Jadi, … jangan hanya dibatin saja. Ayo dizhahirkan (dilahirkan), khususnya bagi mereka-mereka yang kemunculannya, ke-zhahir-annya, menjadi nilai tambah bagi acara inkarul munkar yang dizhahirkan.
Demo dalam Arti Memperbanyak Barisan
Suatu kali, di negeri ini pernah ada rencana demo satu juta ummat terkait undang-undang sisdiknas.
Seorang syekh (alim ulama’) didapati ada dalam barisan para demonstran itu. Lalu ada yang iseng nanya kepadanya: “Syekh… kenapa engkau ikut-ikutan demo ini?”.
Jawabannya sangat menarik. “Dalam rangka memperbanyak barisan kaum muslimin. Sebab saya dapat informasi , katanya demo ini disebut sejuta umat, saya khawatir, kalau jumlah para demonstrannya satu juta kurang satu orang, kan tidak jadi satu juta umat nantinya, semoga keikutsertaan saya, menggenapi angka satu juta umat itu”!!!???
Si penanya berseloroh: “Syekh, sudah dicek dan dihitung, tanpa syekh, sudah genap satu juta umat!!”.
Syekh: “yaaa.. kan jadi satu juta satu umat, enak juga kan kedengarannya”!!
Rupa-rupanya, logika syekh itu ada dasarnya, yaitu: taktsir sawadil muslimin, dalam arti, memperbanyak jumlah kuantitatif kaum muslimin.
Dan ternyata, kalau ditelusur-telusur, logika ini pun ada dalilnya. Bukankah Rasulullah SAW menjelaskan bahwa shalat berjamaahnya tiga orang, lebih suci dan lebih dicintai Allah daripada shalat berjamaah nya dua orang. Dan semakin banyak jumlah orang yang melakukan shalat berjama’ah, semakin suci lah jamaah itu, dan lebih pentingnya lagi, shalat berjamaah yang ini lebih dicintai oleh Allah, dan lebih dijauhi oleh syetan.
Jadi, demo bisa bermakna: memperbanyak jumlah dan barisan kaum muslimin. Istilahnya, taktsir sawadil muslimin.
Demo dalam Arti Ekspresi Protes
Seringkali, demonstrasi dimaknai sebagai satu bentuk protes, dan para pelakunya disebut protester. Atau lebih tepatnya, satu bentuk protes diekspresikan dan didramatisir sedemikian rupa, baik dari sisi kuantitas (jumlah) maupun kualitas.
Rupa-rupanya, suatu bentuk protes yang diekspresikan dan bahkan didramatisasi sedemikian rupa, pernah juga diajarkan oleh Rasulullah SAW. Jadi bukan bid’ah, bukan sesat dan bukan neraka.
Simaklah hadits berikut ini:
Abu Hurairah bercerita bahwa ada seseorang datang kepada Rasulullah SAW mengadukan tentang tetangganya yang berperilaku sangat buruk. Maka Rasulullah SAW menasehatinya agar si pengadu bersabar.
Rupanya, tingkat keburukan si tetangga tidak juga berhenti. Maka orang itu mendatangi Rasulullah SAW lagi dan mengadukan perihal perilaku tetangganya yang sangat buruk.
Dua atau tiga kali lelaki itu mengadukan tetangganya kepada Rasulullah SAW. (istilahnya: menempuh jalur hukum, prosedural dan normal. Dan arahan Rasulullah SAW pun juga normal-normal saja: “Bersabarlah”.
Rupanya, kelakuan tetangga laki-laki itu tetap tidak berubah. Maka sekali lagi lelaki itu mengadukannya kepada Rasulullah SAW.
Maka Rasulullah SAW bersabda: “Pulanglah kamu, buang semua barang-barang miliknya ke tengah jalan”.
Perhatikan, dalam arahan Rasulullah SAW, ada ekspresi unik dan dramatisasi yang sangat menarik di sini: “barang-barangmu di tengah jalan”.
Perhatikan juga, kata-kata: “di tengah jalan”. Ada kosa kata “jalan”-an di sini.
Maka, lelaki itu pun melaksanakan arahan Rasulullah SAW. Ia buang barang-barang miliknya di tengah jalan.
Dan mulai lah orang ramai bertanya-tanya: ada apa gerangan? Apa yang terjadi?
Sungguh, suatu bentuk protes yang unik, bentuk ekspresi yang tidak lazim, dan ada dramatisasi yang sukses di sini, di mana banyak orang mulai ramai dan bertanya-tanya. Dan inilah inti dari demo: ramai orang datang, ramai orang bertanya-tanya, dan tersebar atau terpublikasilah berita itu.
Maka, lelaki itu pun menjelaskan duduk urusannya dengan tetangganya.
Demi mendengar penjelasan si lelaki itu, publik pun mulai mencela, dan bahkan melaknat si tetangga itu.
Menariknya lagi, publik pun mulai tahu detail kelakuan si tetangga.
Sekali lagi, inilah inti dari demo: publik mulai mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Mereka pun menjadi mengerti inti permasalahan. Lalu mereka bersikap: mencela dan bahkan melaknat kelakuan si tetangga.
Dan akhirnya…
Dan akhirnya…
Si tetangga pun menemui si lelaki korban keburukan kelakuan si tetangga itu, meminta maaf, dan berkomitmen: tidak akan menyakitinya selamanya.
Inilah ujung dan ending dari bentuk protes yang unik, ekspresi yang tidak lazim dan dramatisasi yang tepat guna.
Dan ternyata, bentuk protes yang sangat unik itu, bentuk ekspresi yang tidak lazim tersebut, serta dramatisasi yang sedemikian rupa ini, adalah berdasarkan arahan Rasulullah SAW.
Lebih jelasnya, bisa disimak di sunan Abi Daud, hadits no. 5153.
Jadi, kegiatan semacam ini, adalah kegiatan yang nyunnah, dan bukan bid'ah..
(KH. Musyafa' Abdur Rahim)