Krisis Ekonomi, Jokowi Tak Mungkin Turunkan Harga BBM

Ilustrasi/Net
Belum pulihnya ekonomi AS, ditambah Rusia yang sudah mengumumkan krisis ekonominya yang sudah merambah ke negara Eropa lainnya seperti Jerman, dan negara-negara penghasil minyak juga mengalami kotraksi fiskal akibat menurunnya penerimaan setelah harga minyak dunia anjlok hingga di bawah 60 dolar AS per barel.

“Fakta-fakta itu sudah menyatakan bahwa dunia sudah masuk kategori krisis ekonomi. Salah satu imbasnya bagi Indonesia adalah melemahnya rupiah, akibat semua negara ‘menarik’ dolarnya masuk untuk memperkuat ekonominya, sehingga rupiah akan terus melemah. Dengan harga kurs dolar yang terlalu tinggi, Presiden Jokowi akan sulit untuk menurunkan kembali harga BBM subsidi yang sudah terlanjut dinaikkan, meski harga minyak dunia turun,” demikian analis ekonomi bank pelat merah di Jakarta, Sabtu 13 Desember 2014.

Negara-negara teluk yang penghasilan besarnya dari minyak mengalami penurunan pendapatan akibat anjloknya harga minyak dunia. Guna menghindari krisis, negara-negara pengekspor minyak ‘bertahan’ dengan kurs dolar AS yang meninggi. Sehingga rupiah akan terus tertekan, dan pemerintah sangat sulit menurunkan kembali BBM subsidi. Meski harga minyak dunia turun, pemerintah sulit memutuskan BBM subsidi turun akibat harga kurs yang semakin tinggi.

Pemerintah sulit menurunkan kembali harga BBM, karena tren melemahnya rupiah semakin sulit tertahan, karena sebenarnya sudah krisis ekonomi. Sebagai perbandingan, ujar analis tersebut, harga minyak dunia USD80 per barel kurs 9.000 sama dengan  Rp720.000 per barel, USD60 per barel kurs 13.000 sama dengan Rp780.000 per barel.

Sementara rilis International Monetary Fund (IMF) terkait masuknya Yuan ke dalam urutan mata uang yang dapat digunakan sebagai cadangan devisa selain Dollar AS dan Euro tak memberikan efek yang signifikan, meski ada sentimen positif pada laju Yuan. Dengan penilaian tersebut, pelaku pasar berasumsi permintaan akan Yuan dapat meningkat.  "Meski laju penguatan Yuan berimbas positif pada pergerakan laju Rupiah, tetapi masih tertahan dengan berbalik naiknya laju Dollar AS seiring perbaikan ekonomi AS. Pekan depan, Rupiah diprediksi berada di kisaran Rp 12.345-Rp 12.488 per Dollar AS. (kurs tengah BI)," imbuh Head of Research Woori Korindo Securities Indonesia (WKSI) Reza Priyambada.

Juga diberitakan, Rusia ternyata mengalami krisis ekonomi lebih cepat. Rusia mengaku siap menghadapi krisis ekonomi yang diproyeksi terjadi pada tahun depan. Kementerian Ekonomi Rusia memperkirakan akan terjadi kontraksi ekonomi hingga 0,8 persen pada 2015, dengan prediksi pertumbuhan dipangkas hingga sebesar 1,2 persen.

Ekspor minyak Rusia turun sampai 70 persen, dan terus merosotnya harga minyak dunia akan menjadi bencana besar bagi perekonomian Rusia. Penurunan harga minyak yang terjadi sejak Juli diprediksi akan memangkas volume ekspor tahunan Rusia sampai US$ 100 miliar.

Mata uang rubel juga turun 6,5 persen terhadap dolar AS, dan menjadi yang terbesar sejak krisis 1988 yang menghancurkan Uni Soviet. Bank Sentral Rusia dikabarkan telah melakukan intervensi di pasar uang, dan mengingkari kebijakan mengambang, untuk menyelamatkan rubel dari kejatuhan parah. Pendapatan disposable rumah tangga Rusia juga diproyeksi akan turun 2,8 persen pada 2015. "Saya berpikir ekonomi Rusia rentan terhadap tiga krisis; struktural, spekulasi, dan geopolitik," ujar Wakil Menteri Ekonomi Rusia, Alexi Vedev belum lama ini. [fastnews]

Subscribe to receive free email updates: