Saat ini, kita hidup di masa dengan nuansa humanis. Dan banyak orang-orang yang mengatakan bahwa Al-Quran itu sudah ketinggalan zaman, karena masih menggunakan pemaksaan atas aturan tertentu yang Allah inginkan. Selain itu, banyaknya penggunaan kata 'jangan' dalam Al-Quran juga dianggap sebagai salah satu bentuk pemaksaan untuk menjalankan aturan-aturan itu.
Sedangkan kita saat ini hidup di masa modern dan banyak orang menganggap bahwa itu adalah hak mereka untuk menjalankan hidupnya sesuai keinginannya tanpa harus terpasung dalam aturan-aturan itu.
Para ilmuwan mengatakan bahwa memberi motivasi itu jauh lebih baik daripada memerintah atau melarang, sedangkan Al-Quran masih suka melarang dan memerintah. Dan seakan-akan, mereka menganggap Tuhan itu tidak paham bahwa penggunaan kata negasi yang kasar itu dapat memicu agresivitas dan mental anak.
Namun jangan heran, karena itulah sejatinya watak humanisme yang liberal yang juga tidak mau tunduk pada aturan Tuhan. Saat ini, sejak bergesernya teori psikoanalisa, kemudian disusul behaviorisme, serta isu humanisme dalam mendidik anak terus disuarakan.
Mereka membuang kata 'jangan' dalam mendidik anak-anak kita dengan alasan itu melukai sisi kemanusiaan. Kata 'jangan' memang terkesan mengarahkan, mengatur, membimbing bahkan membatasi. Tetapi sebenarnya tidak perlu ada yang di takutkan dalam penggunaan kata jangan ini terhadap anak.
Karena ruang dan waktu tidak bisa mengelak dari arahan, aturan, bimbingan bahkan pembatasan. Bukan rahasia lagi jika parenting sudah menjadi sebuah dagangan yang laris manis dijual disana-sini.
Banyak lembaga-lembaga psikologi baik yang profesional maupun yang amatiran yang mengajarkan kita agar bisa mendidik anak dengan benar dan agar bisa sesuai dengan harapan kita, yang salah satunya adalah dengan membuang kata 'jangan' ketika berinteraksi dengan anak-anak.
Bahkan tidak sedikit pula para pendidik muslim yang terpengaruh dan ikut melakukan hal ini, sehingga pertanyaan besar layak dilontarkan kepada para pendidik muslim, apalagi mereka yang terlibat dalam dakwah dan perjuangan syariat Islam. Pertanyaan itu adalah,
"Adakah engkau telah melupakan kitabmu yang di dalamnya berisi aturan-aturan tegas? Adakah engkau lupa bahwa lebih dari 500 kalimat dalam ayat Al-Qur'an menggunakan kata 'jangan'?"
Salah satu contoh terbaik dan bisa kita ambil pelajaran adalah tentang kisah Luqman Al-Hakim, kisah Luqman ini bahkan terdapat dalam kitab suci Al-Quran. Kisah ini dibuka dengan penekanan Allah bahwa Luqman itu orang yang Dia beri hikmah, orang arif yang secara tersirat kita diperintahkan untuk meneladaninya.
Kisah tersebut bisa kita temukan dalam QS. Luqman ayat 12 s/d 19. Dalam QS. Luqman ayat 12 Allah SWT berfirman:
"Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji"." [QS. Luqman ayat 12]
Dalam ayat 13, dengan tegas Al-Quran menceritakan ketika Luqman berkata pada anaknya:
"Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar"." [QS. Luqman ayat 13]
Kemudian pada ayat 14 Allah memerintahkan agar kita selalu menghormati dan patuh kepada orangtua kita, sebagaimana firman-Nya:
"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu." [QS. Luqman ayat 14]
Pada ayat 15, Allah memerintahkan bahwa kita hanya wajib mematuhi perintah kedua orangtua kita selama itu merupakan sesuatu yang benar dan tidak melanggar apa yang dilarang Allah SWT.
"Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." [QS. Luqman ayat 15]
Sampai pada ayat 19, ada 4 kata "laa" (jangan) yang dilontarkan oleh Luqman kepada anaknya, yaitu "laa tusyrik billah" (Janganlah menyekutukan Allah), "fa laa tuthi'humaa" (Janganlah kamu mentaati keduanya), "Wa laa tusha'ir khaddaka linnaasi" (Janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia karena sombong), dan "wa laa tamsyi fil ardli maraha" (dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh).
Dari kisah di atas, kita bisa melihat bahwa Luqman tidak perlu mengganti kata "jangan menyekutukan Allah” dengan (misalnya) "esakanlah Allah". Begitu juga pada kalimat 'jangan' yang lainnya, Luqman tidak mengganti kata tersebut dengan kata-kata kebalikan yang bersifat anjuran seperti yang sedang trend saat ini.
Adakah pribadi psikolog atau pakar patenting pencetus aneka teori 'modern' yang melebihi kemuliaan dan senioritas Luqman? sudah jelas tidak akan ada. Luqman bukanlah seorang nabi, tetapi namanya diabadikan oleh Allah dalam Kitab suci karena ketinggian ilmunya. Dan tidak satupun ada nama psikolog kita temukan dalam kitab suci itu.
Membuang kata 'jangan' justru menjadikan anak hanya dimanja oleh pilihan yang serba benar. Ia tidak memukul teman bukan karena mengerti bahwa memukul itu terlarang, tetapi karena lebih memilih berdamai. Ia tidak sombong bukan karena kesombongan itu dosa, melainkan hanya karena menganggap rendah hati itu lebih aman baginya. Dan, kelak, ia tidak berzina bukan karena takut dosa, tetapi karena menganggap bahwa menahan nafsu itu pilihan yang dianjurkan orang tuanya.
Anak-anak hasil didikan tanpa 'jangan' berisiko tidak punya 'rasa ketertarikan dengan syariah' dan keterikatan hukum. Mereka akan sangat tidak peduli melihat kemaksiyatan bertebaran karena dalam hatinya berkata 'itu pilihan mereka, saya tidak demikian'. Mereka bungkam melihat penistaan agama karena otaknya berbunyi 'mereka memang begitu, yang penting saya tidak melakukannya'.
Itulah sebenar-benar paham liberal, yang 'humanis', toleran, dan menghargai pilihan-pilihan. Jadi, alangkah lebih baik jika kita menggunakan kata 'jangan' kepada anak. Bukan berarti melarang atau membatasi dan mengekangnya dalam bereksplorasi, akan tetapi lebih kepada mengarahkan agar ia bisa hidup sesuai dengan norma yang sepantasnya ia kenal sejak kecil.
Jadi jangan ragu untuk menggunakan kata 'jangan' kepada anak, saat kita melarang anak kita, jangan pula lupa untuk menjelaskan kenapa ia tidak boleh melakukan itu. Sehingga ia akan memahami kenapa ia dilarang melakukannya.
Baca Juga: Ketahuilah 6 Fitnah Dajjal di Akhir Zaman