Diam-Diam Pemerintah Jual Pertamina ke Asing

Menteri ESDM, Menteri BUMN dan Dirut Pertamina - Foto : ANTARA
Pemerintah mengatakan tak akan mengalihkan kepemilikan perusahaan milik Nenara menjadi milik swasta (privatisasi) perusahaan minyak milik negara, Pertamina. Namun di sisi lain, ternyata pemerintah menjual obligasi milik Pertamina kepada publik yang masuk ke dalam daftar Bursa Efek Indonesia. Hal ini dinilai sebagai upaya memprivatisasi Pertamina dengan cara sembunyi-sembunyi namun legal.

Peneliti kebijakan publik dari Mubyarto Institut, Tarli Nugroho, mengatakan pemerintah tak akan secara terbuka melepas saham Pertamina melalui cara privatisasi langsung. Pemerintah pasti menggunakan skema Initial Public Offering (IPO/penawaran umum perdana) untuk penjualan kepada publik agar dinilai wajar.

“Agar dianggap legal, maka dengan cara menjual obligasi yang terdaftar di bursa saham telah sesuai prosedur. Namun pada akhirnya korporasi swasta besarlah yang akan masuk dengan membeli saham perdana pertamina melaui obligasi itu,” kata Tarli, 10 Desember 2014 kemarin.

Menurut Tarli, skema ini merupakan cara pemerintah melepas saham perusahaan negara untuk mendatangkan investor secara legal. Dengan penjualan obligasi ini tentunya Pertamina akan mendapat tambahan modal. Pemerintah mengklaim dengan tambahan modal itu, Pertamina akan lebih berkembang.

“Pertamina tentu akan butuh modal besar untuk mengembangkan usahanya. Terlebih digadang-gadang akan mengelola Blok Mahakam yang kontraknya akan segera habis. Karenanya, dengan melepas sebagian saham Pertamina ini seolah-olah dianggap menjadi pembenaran,” ujarnya.

Namun celakanya, kata Tarli, masuknya investor tersebut menjadikan negara tak punya kuasa penuh atas Pertamina. Artinya, Pertamina tidak lagi 100 persen dalam kendali pemerintah. Akibatnya pemerintah tak mampu mengontrol kinerja Pertamina ke depan agar benar-benar mendatangkan manfaat bagi masyarakat.

Jika investor masuk, apalagi itu korporasi swasta, orientasinya tentu akan berubah, yakni Pertamina bukan lagi mengedepankan profit atau pelayanan kepada masyarakat, melainkan semata-mata hanya mencari benefit atau keuntungan yang sebesar-besarnya. Jadi, ukurannya hanya sebatas untung dan rugi. Tak ada ruang untuk melayani publik.

“Kasus ini mirip seperti PGN (Perusahaan Gas Negara) yang dilepas sahamnya kepada publik. Namun, faktanya yang terjadi korporasi swasta yang membeli, bukan publik. Akibatnya, saat ini saham yang dimiliki pemerintah hanya sebesar 57%, sementara sisanya sebanyak 43% dimiliki swasta,” tutur Tarli.

Sebelumnya, dugaan privatisasi Pertamina semakin menguat setelah menteri Negara BUMN Rini Soemarno menunjuk Dwi Soetjipto sebagai Dirut Pertamina. Alasannya sesuai rekam jejak, Dwi sukses besar memprivatisasi PT Semen Indonesia (Persero) saat yang bersangkutan menjadi direktur utamanya. Hal ini disampaikan Ketua Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamudin Daeng saat menanggapi berbagaia indikasi memprivatisasi Pertamina.

”Dwi adalah sosok yang tidak tepat memimpin perusahaan BUMN sekelas Pertamina. Karena justru akan  membahayakan masa depan BUMN Pertamina, karena 100 persen sahamnya akan di-privatisasi. Penilaian kami ini berdasarkan track record Dwi selama menjabat Direktur PT Semen Indonesia,” terang Salamudin dalam diskusi publik bertema ’Pertamina di Bawah Ancaman Privatisasi dan Hutang Luar Negeri’ di Tebet Jakarta Selatan, Minggu, 7 Desember 2014.

Menurut Salamudin, sosok Dwi adalah sosok yang sangat berpengalaman dalam melakukan privatisasi PT Semen Indonesia (PT SI). Hingga 49 persen saham perusahaan tersebut dikuasai swasta, dan sebagian besar dimiliki asing.

”Jadi jelas ini peringatan dari kami untuk kesekian kalinya. Cara-cara seperti ini sangat membahayakan BUMN kita.Sekarang bisa melalui hutang luar negeri dan pasar keuangan,” paparnya.

Ia menambahkan, saat itu Dwi bukan hanya menjadikan PT SI sebagai ”korban privatisasi Dwi”,  tetapi juga yang bersangkutan yang membuat utang PT SI melonjak drastis.

”Setelah dia meninggalkan Semen Indonesia, dalam catatan kami utang dan kewajiban PT SI sebesar Rp 11,476 triliun,” ungkap Salamuddin.

Ditegaskannya pula, keahlian Dwi dalam hal privatisasi atau divestasi sama sekali berlawanan dengan visi dan misi Kabinet Kerja Jokowi.

”Apalagi rencana dan minat privatisasi sudah disampaikan secara gamblang oleh Menteri BUMN Rini Soemarno. Karena sesaat setelah pengangkatan Dwi, Menteri Rini langsung memerintahkan Pertamina untuk melakukan listing terhadap utang-utang Pertamina dengan menerbitkan obligasi rupiah serta tercatat di pasar modal, itu maksudnya privatisasi Pertamina,” tutupnya. [*]

Subscribe to receive free email updates: