Untuk Bukit Duri, Rawajati dan Luar Batang.. Dan Pelajaran dari Gontor


Oleh: Maulana Mustofa

Perjuangan memelihara manusia tetap menjadi manusia telah gagal. Apa yang menimpa para penduduk soal tanah adalah indikator ketergusuran kemanusiaan dari diri manusia sendiri...
Kemanusiaan digusur dari ribuan hingga jutaan orang kecil, serta tergusur pula dari diri sekelompok kecil pemilik kekuasaan dan modal yang merasa bahwa mereka adalah manusia.

Jika Anda tidak dimanusiakan oleh lain – baik dalam pergaulan, perpolitikan, maupun perniagaan – maka sesungguhnya yang lebih tidak manusia adalah pihak yang tidak memanusiakan anda.

Hampir 50 tahun lalu pesantren Gontor bermaksud memperluas pondoknya. Namun, pak Kiyai mengerti sepenuhnya bahwa orang orang kampunh itu berhak utk tidak bergeser satu tapak pun dari tanah dan rumahnya, meskipun perluasan pondok jelas membawa kemashlahatan yang lebih luas.

Pak Kyai menghargai hak yang merupakan amanah Tuhan itu. Maka yang beliau lakukan adalah pendekatan manusiawi, ditambah doa-doa khusus memohon kepada Tuhan bukan agar penduduk mau pindah, melainkan agar Tuhan membimbing semua pihak menuju keadaan terbaik dan diridhai-Nya.

Setahun lebih setelah doa itu dipanjatkan, para penduduk dengan sadar memindahkan dirinya sendiri, tentu saja dengan jaminan yang pantas dari Pesantren.

Kenapa penggusuran-penggusuran di kota-kota besar tidak dikaitkan dengan doa dan kehendak Allah? Karena yang akan dibangun di atas tanah gusuran itu juga tidak dijamin punya kepentingan terhadap nilai Tuhan. Karena bagian-bagian tertentu dari pembangunan kita ini melenceng dari petunjuk Tuhan.

Karena penguasa dan cukong yang menggenggam modal tidak punya urusan dengan Tuhan, tetapi dengan profitisme, keuntungan pribadi dan perusahaan dalam arti yang paling material, serta dengan bonus, persentase, dan bratu.

Dan itulah potret dunia modern yang dipamer-pamerkan secara palsu ke telinga orang-orang kecil.

Para penguasa yang dzalim tidak pernah mengucapkan ‘Dengan menyebut nama Allah yang Pengasih dan Penyayang’, karena yang mereka sodorkan kepada orang kecil bukanlah kasih dan sayang.

Para cukong dan taipan itu juga tidak pernah mengucapkan ‘Bismillah’ kecuali dalam kepalsuan mulut, karena yang mereka atas namakan hanyalah keuntungan materi yang akan menghancurkan diri mereka sendiri di akhir nafasnya....




Subscribe to receive free email updates: